close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi bayi dan orang tua./Foto PublicDomainPictures/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi bayi dan orang tua./Foto PublicDomainPictures/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 30 Januari 2025 16:07

Covid Hidayat hingga Benteng Republika, kenapa orang tua memberi nama unik?

Nama-nama unik makin populer sejak generasi milenial menjadi orang tua.
swipe

Unggahan di akun Instagram Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto @bimaaryasugiarto pada Senin (27/1) tentang nama-nama unik di Indonesia menyita perhatian warganet. Ada nama Ni Ketut Citra Covida Karantina, Covid Hidayat, Dinas Komunikasi Informatika Statistik, hingga Benteng Republika. Unggahan itu dibagikan ulang Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) @dukcapilkemendagri pada Selasa (28/1).

Dalam keterangan unggahan itu, @dukcapilkemendagri menyebut, nama-nama tersebut diberikan ada yang karena lahir pada masa pandemi Covid-19, ada yang terinspirasi dari tempat kerja orang tua, dan ada yang super nasionalis dengan nuansa Indonesia.

Profesor psikologi di Universitas San Diego State, Jean M. Twenge dalam Psychology Today menilai, memberi nama bayi adalah keputusan besar yang membuat banyak orang tua gelisah. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan, termasuk agar nama yang diberikan tak menjadi bahan ejekan.

Pendiri Namerology.com dan penulis The Baby Name Wizard, Laura Wattenberg, dikutip dari BBC mengatakan, pada abad-abad yang lalu, pemberian nama berdasarkan tradisi merupakan dorongan yang utama. Orang tua hanya melakukan apa yang sudah biasa dilakukan.

Di Inggris misalnya, nama John dan William adalah nama anak laki-laki paling populer dari tahun 1200-an hingga 1930-an. Hal ini karena konvensi penamaan didasarkan pada ikatan agama dan leluhur. Semisal, nama-nama yang diambil dari kitab suci. Umat Muslim di negara-negara Arab dan Asia Selatan, dikutip dari BBC, kerap mengambil nama dari tokoh-tokoh sejarah terkemuka dalam Islam, misalnya Muhammad.

Terutama di Barat, menurut Wattenberg, melemahnya ikatan budaya dan populasi yang lebih dinamis di masa revolusi industri, membuat pilihan orang tua muda tidak lagi ditentukan oleh keluarga besar dan budaya setempat.

“Nama semakin menjadi cara mengekspresikan diri, seluruh budaya bergerak menuju perayaan kebebasan pribadi dan individualitas yang lebih besar,” ujar Wattenberg.

Sebuah penelitian yang dimuat di jurnal Linguistic Society of America (2020), yang menganalisis 348 juta nama bayi di Amerika Serikat selama 137 tahun, dari 1880 hingga 2017 menemukan generasi baby boomer—kelahiran 1946-1964—meningkatkan jumlah nama baru per seribu orang sebanyak empat kali lipat untuk anak laki-laki dan 2,75 kali lipat untuk anak perempuan.

“Generasi baby boomer adalah orang tua pertama yang ingin menjadi keren, dan ingin anak-anak mereka juga menjadi keren,” kata penulis buku Beyond Jennifer & Jason, Pamela Redmond—yang meneliti generasi tersebut sebagai generasi pertama yang menolak banyak konvensi penamaan etnis dan agama—dikutip dari BBC.

Untuk kasus di Indonesia, peneliti dari Universitas Diponegoro (Undip) Nurhayati dalam studinya yang terbit di jurnal Humanika, dengan mengambil sampel masyarakat di Desa Gotputuk (Blora, Jawa Tengah) sebagai objek penelitian, menemukan pemberian nama untuk anak berubah dari yang sifatnya lokal ke global. Secara garis besar, perubahan itu dikelompokkan ke dalam tiga periode.

Pada 1920-an hingga 1950-an, menurut Nurhayati, masyarakat memberi nama anaknya dengan cara yang sederhana, yakni terdiri atas dua atau tiga suku kata asli bahasa Jawa dan mengikuti pola pemberian nama yang berlaku saat itu. Nama-nama saat itu identik dengan nama kaum petani, yang jauh dari keturunan bangsawan. Nama dari bahasa Arab masih jarang dipakai.

Lalu, tahun 1960-an hingga akhir 1980-an, pemberian nama menjadi lebih variatif, terutama nama-nama dari bahasa Arab dan Jawa. Masyarakat mulai memadukan kata-kata dari bahasa Arab, Jawa, dan Indonesia. Pada tahun 2000-an, nama dari unsur-unsur bahasa Arab dan urban menjadi lebih dominan.

Pemberian nama bayi di Indonesia juga diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraaan.

Selain itu, diatur juga dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencatatan Nama pada Dokumen Kependudukan, yang mengatur nama anak harus minimal dua kata; tidak boleh disingkat kecuali jika tidak diartikan lain; tidak boleh menggunakan angka dan tanda baca; tidak boleh mengandung makna negatif, multitafsir, atau merendahkan diri; harus mudah dibaca; dan tidak boleh mencantumkan gelar pendidikan atau keagamaan pada akta pencatatan sipil.

Terlepas dari itu, dalam penelitian yang diterbitkan di junal Social Psychological and Personality Science (2010) Twenge dan koleganya menemukan, di Amerika Serikat penggunanaan nama yang “biasa” sudah turun drastis dari tahun 1950-an hingga 2007. Tahun 1950-an, kata dia, 25% bayi laki-laki yang baru lahir di Amerika Serikat, diberi salah satu dari 10 nama paling populer. Lantas pada 2007, hanya 10% yang melakukannya.

Selanjutnya, selama resesi hebat tahun 2008-2010, menurut Twenge, terjadi tren memberi nama-nama unik, terutama pada anak laki-laki. Namun, hal itu bukan karena indikator ekonomi siklis, seperti pengangguran. Twenge menduga karena orang tua bayi-bayi yang lahir saat resesi berasal dari generasi milenial—kelahiran 1980-an dan awal 1990-an.

Milenial, ujar Twenge, tumbuh dengan pesan budaya bahwa menjadi berbeda lebih baik daripada menyesuaikan diri. Maka, milenial tertarik membuat anak-anak mereka menonjol. Salah satunya dengan memberikan nama-nama yang kurang umum, sehingga lebih kecil kemungkinan anak-anak mereka sama dengan nama teman sekelasnya.

Wattenberg mengatakan, munculnya internet pada 1990-an membuat generasi milenial melangkah lebih jauh. “(Orang tua dari generasi milenial) terbiasa dengan model nama unik dalam sistem sosial,” kata Wattenberg dalam BBC.

“Orang tua akan mengetik nama lengkap yang mereka pertimbangkan ke dalam mesin pencari dan khawatir kalau nama itu sudah dipakai.”

Disebutkan BBC, meningkatnya popularitas nama-nama bayi yang unik mencerminkan peralihan dari masyarakat kolektivisme ke individualistis, serta memberikan petunjuk kontekstual yang penting tentang seperti apa orang tua menginginkan anak-anak mereka.

Menurut peneliti dari Institut Seni dan Sains Universitas Sains Tokyo, Yuji Ogihara, dalam BBC, bukti empiris menunjukkan nama-nama umum lebih jarang diberikan kepada bayi di negara-negara yang lebih individualistis, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Selandia Baru.

Kepada Livescience, Twenge mengatakan, sisi positif individualisme adalah berkurangnya prasangka dan meningkatnya toleransi terhadap kelompok minoritas. Namun, dia mengingatkan, jika individualisme dipegang terlalu jauh, maka akan menimbulkan narsisme.

“Masih harus dilihat apakah memiliki nama yang unik pasti akan mengarah pada narsisme di kemudian hari,” kata Twenge.

“Jika nama yang unik itu merupakan bagian dari filosofi orang tua kalau anak mereka istimewa dan perlu menonjol, serta menyesuaikan diri adalah hal yang buruk, maka itu dapat mengarah pada sifat-sifat kepribadian tersebut.”

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan