close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Suasana kepadatan kendaraan saat pemberlakuan sistem satu arah di Jalan Raya Puncak Bogor Jawa Barat, Sabtu (5/10/2019)/Istimewa
icon caption
Suasana kepadatan kendaraan saat pemberlakuan sistem satu arah di Jalan Raya Puncak Bogor Jawa Barat, Sabtu (5/10/2019)/Istimewa
Sosial dan Gaya Hidup - Wisata
Minggu, 22 September 2024 06:11

Kereta gantung di Puncak Bogor bukan solusi utama mengurai kemacetan

Kereta gantung dinilai bisa jadi alternatif transportasi ramah lingkungan.
swipe

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mengatakan, bakal mengebut pembangunan kereta gantung (cable car) untuk mengatasi kemacetan parah di kawasan Puncak Bogor, Jawa Barat. Hal itu diungkapkan, usai melihat minat orang berwisata di Puncak Bogor, yang menimbulkan kemacetan parah saat akhir pekan yang panjang pada Minggu (15/9).

Saat itu, antrean kendaraan mencapai 16 kilometer dari perbatasan Cianjur-Bogor hingga Desa Cibeureum, Kecamatan Cugenang, Cianjur. Kemacetan itu bahkan berlangsung selama 24 jam di Puncak, dan berakhir pada Senin (16/9) siang.

Rencana itu sudah dilontarkan Sandiaga pada 2022 lalu. Menurutnya, kereta gantung bisa menjadi alternatif transportasi ramah lingkungan, terutama di Puncak Bogor yang kerap mengalami kemacetan.

Ketika itu, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek disebut sudah melakukan kajian awal dan memberikan rekomendasi anggaran kereta otomatis dan kereta gantung itu sebesar Rp7,3 triliun. Namun, Pemda Bogor masih menilai dan mengkaji anggaran itu. Sandiaga menyebut, investor dari Arab Saudi tertarik menanamkan investasi dalam pengembangan kereta gantung di Puncak Bogor.

Menurut pemerhati masalah transportasi dan hukum, Budiyanto menilai, rencana Sandiaga membangun kereta gantung untuk mengatasi kemacetan di Puncak Bogor perlu diapresiasi. Sebab, pembangunannya tidak terlalu banyak membebaskan lahan.

“Namun, saya menilai, itu baru cara penyelesaian yang parsial, yang kemungkinan dalam jangka tidak lama bisa dilakukan,” kata Budiyanto kepada Alinea.id, Jumat (20/9).

“Pembangunan tol atau memaksimalkan akses Puncak 2 dibutuhkan proses waktu lama dan biaya yang cukup besar. Pembebasan lahan perlu waktu dan biaya besar.”

Budiyanto mengatakan, untuk mengatasi kemacetan di kawasan Puncak Bogor bukan hanya membangun akses transportasi, tetapi juga perlu penataan ulang destinasi wisata yang bertujuan memperkecil dampak rentetan kemacetan. Konsekuensinya, peningkatan kapasitas jalan juga suatu keniscayaan yang harus diwujudkan untuk mengimbangi populasi jumlah manusia dan kendaraan.

“Perkembangan jumlah kendaraan tidak terkendali dengan penambahan panjang jalan, sehingga masalah kemacetan tidak dapat dihindari, terutama di kota-kota besar, termasuk akses yang menuju lokasi wisata, seperti Puncak dan sebagainya,” ucap Budiyanto.

Selain itu, Budiyanto menuturkan, rekayasa lalu lintas seperti ganjil-genap dan buka-tutup jalan masih perlu diterapkan. Walau itu bukan solusi yang utama. Perlu pula dibuka banyak jalan alternatif yang dapat diakses, dengan dukungan perilaku pengendara yang tertib.

“Pemangku kepentingan yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan pada long weekend wajib mempersiapkan rekayasa secara tepat,” ujar Budiyanto.

Ilustrasi lalu lintas Puncak. Foto Ntmcpolri

“Manfaatkan RTMC (road traffic management corporation) dan TMC (traffic management center) secara maksimal untuk mengetahui situasi lalu lintas secara real time dan memberikan solusi yang tepat dan cepat.”

Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno mengatakan, wacana pembangunan kereta gantung untuk mengatasi kemacetan di Puncak Bogor sudah pernah diusulkan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek pada 2021.

“Menurut saya, itu mungkin dilakukan, dengan menggandeng pihak swasta dan tidak banyak butuh pembebasan lahan,” ucap Djoko, Jumat (20/9).

Akan tetapi, Djoko menyebut, kereta gantung tetap harus dilengkapi angkutan umum yang murah berupa bus pengangkut agar lebih banyak alternatif bagi pengunjung kawasan Puncak Bogor.

“Hal ini bisa dikerjasamakan dengan perusahaan organisasi angkutan darat (organda) dan semua setuju,” ujar dia.

Sayangnya, saat itu, ide menggunakan angkutan transportasi seperti Trans Pasundan yang ada di Bandung Raya mendapat pertentangan dari Pemkab Bogor waktu itu yang dipimpin Bupati Ade Munawaroh Yasin.

“Mereka kurang setuju. Padahal banyak perusahaan organda yang mau kerja sama untuk akses transportasi umum ke Puncak. Akhirnya tidak jalan,” kata dia.

Djoko mengakui, tempat wisata di Indonesia pada dasarnya luput mempersiapkan transportasi publik pendukung yang memadai sebagai akses ke destinasi wisata. Karena itu, wajar di banyak tempat wisata lebih dominan kendaraan pribadi, yang akhirnya mengakibatkan kemacetan.

“Saya sudah ke Bali, Lombok, dan Danau Toba. Semua tidak ada transportasi publik yang baik di sana. Akhirnya macet karena (banyak wisatawan yang) pakai kendaraan pribadi,” ujar Djoko.

“Oleh karena itu, kawasan wisata, apalagi kawasan Puncak, sudah seharusnya ada transportasi publik yang baik.”

Di sisi lain, menurut Djoko, untuk mengatasi kemacetan di Puncak Bogor, juga harus didukung dengan inisiatif Pemprov DKI Jakarta, yang harus menciptakan destinasi wisata murah dan nyaman. Tujuannya, supaya warga dari Jakarta tidak harus secara berbondong-bondong berwisata ke kawasan Puncak Bogor setiap hari libur.

“Daerah seperti Kepulauan Seribu perlu didorong, dengan menyiapkan akses kapal penyeberangan yang bagus dan bukan kapal kayu,” tutur Djoko.

“Tarifnya juga perlu terjangkau. Jadi warga Jakarta bisa berlibur ke pulau-pulau di Kepulauan Seribu.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan