Mata bisa mengungkapkan banyak hal tentang kesehatan otak manusia. Salah satunya terkait dengan tanda awal penurunan kognitif.
Penelitian yang dilakukan para periset dari Universitas Otago, Universitas Duke, dan Universitas Virginia, terbit di Journal of Alzheimer’s Disease (Maret, 2025) mengungkap, pembuluh darah di bagian belakang mata—yang disebut mikrovaskulatur retina—dapat menunjukkan tanda-tanda awal seseorang berisiko terkena demensia.
Para peneliti menggunakan data dari pemindaian mata penilaian usia 45 tahun dari Studi Dunedin—sebuah studi longitudinal terlama di Selandia Baru dan dianggap sebagai studi paling rinci di dunia tentang kesehatan dan perkembangan manusia.
Pemindaian tersebut mengungkapkan, arteriol yang lebih sempit—pembuluh darah kecil yang membawa darah menjauh dari jantung, venula yang lebih besar—pembuluh darah kecil yang menerima darah dari kapiler, dan lapisan serabut saraf retina yang lebih tipis—yang membawa sinyal visual dari retina ke otak, dikaitkan dengan risiko demensia yang lebih besar.
“Dalam studi kami, kami melihat retina yang secara langsung terhubung ke otak,” kata salah seorang peneliti yang berasal dari Departemen Psikologi Universitas Otago, Ashleigh Barrett-Young dalam situs University of Otago.
“Diperkirakan banyak proses penyakit pada Alzheimer tercermin di retina, menjadikannya target yang baik sebagai biomarker yang mengidentifikasi orang yang berisiko mengembangkan demensia.”
Pada penelitian sebelumnya yang terbit di jurnal Scientific Reports (2024) para peneliti mengungkap, hilangnya kepekaan visual dapat memprediksi demensia 12 tahun sebelum didiagnosis.
Menurut para peneliti dari Universitas Loughborough, yakni Eef Hogervorst, Ahmet Begde, dan Thom Wilcockson dalam The Conversation, penelitian mereka didasarkan pada 8.623 orang sehat di Norfolk, Inggris, yang dipantau selama bertahun-tahun. Pada akhir penelitian, 537 peserta mengalami demensia, sehingga mereka bisa melihat faktor-faktor apa saja yang mungkin mendahului diagnosis itu.
Di awal penelitian, mereka meminta peserta untuk mengikuti tes kepekaan visual. Untuk tes ini, peserta harus menekan tombol segera setelah melihat segitiga terbentuk di bidang titik-titik yang bergerak. Orang yang mengalami demensia jauh lebih lambat melihat segitiga ini di layar.
“Masalah penglihatan mungkin merupakan indikator awal penurunan kognitif karena plak amiloid toksik yang terkait dengan penyakit Alzheimer mungkin pertama-tama memengaruhi area otak yang terkait dengan penglihatan, sementara bagian otak yang terkait dengan memori menjadi rusak seiring perkembangan penyakit,” tulis para peneliti.
Ada beberapa aspek lain, kata para peneliti, dari pemrosesan visual yang terpengaruh pada penyakit Alzheimer, seperti kemampuan untuk melihat garis luar suatu objek (sensitivitas kontras) dan untuk membedakan warna-warna tertentu (kemampuan untuk melihat spektrum biru-hijau terpengaruh apda tahap awal demensia), dan ini bsia memengaruhi kehidupan seseorang tanpa mereka sadari secara langsung.
Tanda awal Alzheimer lainnya adalah defisit dalam kontrol penghambatan gerakan mata, di mana rangsangan yang mengganggu tampaknya lebih mudah menarik perhatian. Orang dengan Alzheimer memiliki masalah dalam mengabaikan rangsangan yang mengganggu, yang mungkin muncul sebagai masalah kontrol gerakan mata.
Para peneliti punya beberapa bukti yang menunjukkan penderita demensia cenderung memproses wajah orang baru secara tidak efisien. Dengan kata lain, mereka tidak mengikuti pola yang biasa dilakukan, yakni memindai wajah orang yang mereka ajak bicara.
Pada orang sehat, tulis para peneliti, gerakan ini dilakukan dari mata ke hidung hingga ke mulut. Beberapa dokter yang menangani penderita demensia akan mengenali kalau seseorang menderita demensia saat mereka bertemu dengan mereka.
Penderita demensia terkadang tampak kebingungna karena mereka tidak sengaja mengerakkan mata untuk mengamati lingkungan sekitar, termasuk wajah orang-orang yang baru saja mereka temui. Akibatnya, mereka nanti akan kurang mampu mengenali orang lain karena belum mengenali ciri-cirinya.
“Jadi, masalah awal dalam tidak mengenali orang yang baru ditemui bisa jadi terkait dengan gerakan mata yang tidak efektif untuk wajah baru, bukan sekadar gangguan memori,” tulis para peneliti.