Depresi adalah gangguan mental yang umum, dengan melibatkan suasana hati yang tertekan atau hilangnya kesenangan atau minat dalam beraktivitas untuk jangka waktu yang lama.
Gejala yang muncul, seperti konsentrasi buruk, perasaan bersalah yang berlebihan atau harga diri yang rendah, keputusasaan tentang masa depan, pikiran tentang kematian atau bunuh diri, tidur terganggu, perubahan nafsu makan atau berat badan, serta merasa sangat lelah atau kekurangan energi.
Menurut World Health Organization (WHO), diperkirakan 3,8% dari populasi mengalami depresi, termasuk 5% orang dewasa—4% di antara pria dan 6% di antara perempuan, dan 5,7% orang dewasa yang berusia lebih dari 60 tahun. WHO mencatat, depresi sekitar 50% lebih umum terjadi pada perempuan daripada pria.
Di sisi lain, Penelitian berjudul “Trajectories of depressive symptoms among young people in London, UK, and Tokyo, Japan: A longitudinal cross-cohort study” di jurnal The Lancet Child & Adolescent Health (April, 2025), yang dipimpin ilmuwan dari Institut Psikiatri, Prikologi, dan Ilmu Saraf di King’s College London mengungkap kesenjangan gender dalam depresi remaja dua kali lebih besar di London dibandingkan di Tokyo.
Penelitian ini melacak gejala depresi pada 7.100 remaja di Tokyo dan London, yang menunjukkan, anak perempuan memiliki gejala depresi lebih banyak daripada anak laki-laki di kedua kota tersebut. Dikutip dari situs King’s College London, penelitian ini bertujuan memberi wawasan yang kuat tentang kesehatan mental remaja dalam dua konteks budaya yang berbeda, dengan membandingkan sampel besar anak usia 11 hingga 16 tahun di London dan Tokyo dari waktu ke waktu.
Para peneliti mengambil data dari studi populasi Tokyo Teen Cohort (TTC) di Tokyo dan Resilience Ethnicity and Adolescent Mental Health (REACH) di London. Keduanya terdapat kumpulan data dalam periode 2014 hingga 2020, dan pada tiga titik waktu berbeda seiring bertambahnya usia remaja.
Para peneliti menggunakan short mood and feelings questionnaire (SMFQ) atau kuesioner suasana hati dan perasaan pendek untuk mengukur gejala depresi. Pada kedua kelompok tersebut, terdapat perbedaan antara remaja laki-laki dan perempuan dalam tingkat rata-rata gejala depresi dan perbedaan ini melebar dari tahun ke tahun.
Dalam sampel London, perbedaan gender dimulai sedikit lebih awal—pada usia 11-12 tahun—dibandingkan dengan sampel Tokyo yang muncul antara usia 11 dan 14 tahun. Dan tingkat rata-rata perubahan gejala depresi per tahun pada anak perempuan London sekitar empat kali lebih besar dibandingkan anak perempuan di Tokyo.
Pada usia 16 tahun, perbedaan gejala depresi antara anak laki-laki dan perempuan di London sekitar dua kali lebih besar dibandingkan di Tokyo. Tingkat rata-rata gejala depresi pada remaja laki-laki di Tokyo menurun antara usia 11 dan 16 tahun, sedangkan pada anak laki-laki di London, gejalanya sedikit meningkat seiring berjalannya waktu, mengikuti lintasan yang sama dengan remaja perempuan di Tokyo.
“Studi kami menunjukkan, sejak awal masa remaja, anak perempuan memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi daripada anak laki-laki di Tokyo dan London, tetapi kesenjangannya lebih besar, dimulai sedikit lebih awal, dan meningkat lebih cepat di London,” kata salah seorang peneliti yang menjadi dosen epidemiologi dan kesehatan mental remja di King’s College London, Gemma Knowles, dikutip dari situs King’s College London.
Saat ini Global Gender Gap Index (GGGI) atau Indeks Kesenjangan Gender Global—sebuah indeks yang dirancang untuk mengukur kesetaraan gender—menempatkan Inggris pada peringkat ke-15 dari 149 negara. Sedangkan Jepang berada pada peringkat ke-125.
Namun, wawasan dari para peneliti muda di kedua kota menunjukkan adanya pengaruh sosial yang tak tercakup dalam indeks ini. Misalnya, remaja perempuan di London mungkin mengambil peran dan tanggung jawab sebagai orang dewasa pada usia yang lebih muda, sedangkan tingkat kekerasan dan kejahatan lebih rendah di Tokyo.
Terdapat pula perbedaan tren sosial-ekonomi dan politik di kedua tempat tersebut yang dapat berkontribusi, seperti periode penghematan berkepanjangan di Inggris.
“Ini adalah area yang kompleks dengan banyak faktor yang mungkin berkontribusi pada perbedaan antara perempuan dan laki-laki, serta antara kedua tempat tersebut,” tutur Knowles.
“Kita perlu lebih memahami konteks sosial dan pengalaman yang melahirkan ketidaksetaraan gender dalam kesehatan mental, serta kondisi yang mendukung remaja perempuan untuk berkembang.”