close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
logo Komunitas Salihara
icon caption
logo Komunitas Salihara
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 04 Oktober 2021 14:43

Ketika seni merespons spektrum berkelanjutan dari dunia nyata ke dunia maya

Berkat bantuan teknologi, kini kita hidup di dunia berupa spektrum berkelanjutan yang bergerak dari dunia nyata menuju realitas campuran.
swipe

Saat ini, persepsi indrawi manusia juga dibentuk oleh perkembangan teknologi yang pesat. Sebagai perpanjangan dari tubuh manusia, teknologi atau media baru telah mengubah cara kita merasakan dunia, terutama terkait arti waktu dan ruang, dan telah menawarkan akses baru terhadap dunia.

Untuk merespons lingkungan baru ini, di mana teknologi telah meningkatkan dan memperkaya pengalaman indrawi kita terhadap dunia, Galeri Salihara menggelar Pameran Seni Rupa bertajuk Medicape: Material, Senses and Beyond yang berlangsung selama sebulan penuh, mulai 11 September 2021.

Menampilkan enam seniman media baru dari Indonesia, Korea Selatan, dan Inggris, pameran ini menyoroti multiindrawi dan interaktivitas melalui berbagai pendekatan peraga atau scape, seperti peraga raba (tactile scape), peraga rasa (scape of flavor), peraga maya (digitalscape), peraga suara (soundscape), peraga baru (scape of scent), dan peraga ingatan (memory scape), di mana khalayak dapat menjelajahi dan memaknai kemampuan indrawi mereka secara mendalam.

Kurator Seni Rupa Komunitas Salihara Asikin Hasan menyebut, popularitas seni media baru dalam dekade terakhir telah memperluas kemungkinan seni dari medium visual satu-dimensi menjadi karya multi-sensori dan interaktif.

“Dalam beberapa tahun terakhir, media dan teknologi telah memberikan jalan bagi kolaborasi interdisiplin bebas batas,” ungkap Asikin Hasan dalam keterangan tertulis, Senin (4/10).

Pandemi Covid-19 telah menggeser pandangan terhadap dunia dan secara signifikan berimbas pada dunia seni. Melalui pertimbangan kebersihan dan keselamatan publik yang kini menjadi prioritas menuju era normal yang baru, pendekatan terhadap produksi, presentasi, dan pameran seni perlu dievaluasi kembali.

“Meski batasan-batasan bertambah, tidak ada waktu yang lebih baik dari sekarang untuk membuat seni yang dapat diakses secara luas dan bersifat inklusif,” tambahnya.

Berkat bantuan teknologi, kini kita hidup di dunia berupa spektrum berkelanjutan yang bergerak dari dunia nyata menuju realitas campuran dan alam maya. Sebuah ide yang kerap diadopsi, dielaborasi, dan didemonstrasikan oleh seni media baru.

Polarisasi seni media baru dalam dekade terakhir telah memperluas kemungkinan-kemungkinan seni dari medium visual berdimensi tunggal hingga karya-karya interaktif dan multi-sensori.

Pameran seni rupa Mediascape: Materials, Senses and Beyond adalah pameran yang berusaha menangkap dan merespons lingkungan baru dari pengalaman indrawi di masa kini, yaitu ruang realitas campuran di mana teknologi meningkatkan dan menambah pengalaman indrawi manusia di dunia.

Lebih lanjut, peraga raba (tactile scape), terdapat pada karya Boo Ji Hyun, perupa asal Korea Selatan. Boo Ji Hyun yang ahli dalam seni cahaya interaktif, menggabungkan prinsip seni, sains, dan manusia dengan mengajak khalayak mengalami periode meditatif dan ruang yang tercipta dari emisi cahaya dan kabut melalui karya-karyanya.

Selanjutnya, karya Elia Nurvista menyajikan peraga rasa (scape of flavor), di mana buah-buahan asli tidak hanya dihidangkan sebagai katalis untuk pengalaman multiindrawi, tetapi juga menghubungkan manusia pada dunia virtual.

Elia Nurvista memiliki ketertarikan khusus pada beragam medium seni melalui pendekatan interdisipliner yang berfokus pada diskursus makanan atau kuliner. Ia pun berencana menciptakan karya berbasis kemampuan indrawi atau multisensori.

Tromarama mengundang kita untuk menyelami peraga maya (digitalscape) yang diciptakan melalui suasana kontemplatif yang ditambahkan dengan data real-time dan suara yang diciptakan berbasis kecerdasan buatan (AI generated).

Tromarama adalah sebuah kolektif berbasis di Jakarta dan Bandung dengan pengalaman internasional. Mereka mengusung isu hiper-realitas dari dunia digital dan keterhubungan antara material dan kehidupan virtual.

Sementara seniman Korea Selatan, Park Seung Soon mengeksplorasi peraga suara (soundscape). Karyanya membuat penikmat lebih sadar terhadap daerah di sekeliling yang sudah menjadi kombinasi dari yang nyata dan yang maya.

Park Seung Soon memang seorang komposer musik elektronik yang kerap menciptakan proyek media inovatif dengan menggabungkan sejumlah tampilan dan instalasi menggunakan air, cahaya, suara, dan kecerdasan buatan (AI) untuk membuat pengalaman musikal bagi musisi dan publik. Ia juga seorang peneliti seni yang berfokus pada konvergensi seni media.

Eldwin Pradipta mengajak kita merasuki alam pikiran komputer yang distimulasi oleh peraga bau (scape of scent), di mana mesin akan terpicu oleh aroma dari gas yang mudah terbakar. Eldwin Pradipta adalah seniman multimedia yang memiliki spesialisasi video proyeksi dan instalasi digital.

Eldwin memang tertarik dengan eksplorasi batasan-batasan antara praktik artistik tinggi dan seni lowbrow, serta terbuka untuk komisi pengembangan konten kreatif yang berhubungan dengan pengalaman media realitas berimbuh (augmented reality).

Terakhir, sebagai peraga ingatan (memory scape), karya Notes on Blindness yang berupa video virtual 360 derajat mempersembahkan sekelumit pengalaman personal dari hilangnya penglihatan yang dialami oleh John Hull dan menuntun khalayak untuk melakukan refleksi terhadap pentingnya peran indra-indra selain mata.

John Hull adalah seorang profesor yang mengumpulkan diari audio tentang pengalamannya setelah kehilangan penglihatannya pada 1983. Diari ini telah diterbitkan menjadi buku pada 1990. Setelah wafat pada 2015, diari ini diadaptasi menjadi sebuah film dokumenter pendek pada 2016, kemudian menjadi instalasi realitas virtual (VR) berjudul Notes on Blindness.

Kurator tamu dalam kegiatan ini, Jeong Ok Jeon menambahkan pandangannya terhadap karya-karya yang dipamerkan.

“Meski tiap karya dalam pameran ini memiliki elemen sensori yag dominan dan unik antara satu sama lain, untuk memahami keseluruhan konteks setiap karya dengan lebih mendalam, sangat penting bagi kita untuk menyadari bahwa secara alami, beragam indra manusia saling menstimulasi dan mempengaruhi,” jelas Jeong Ok Jeon.

Hal ini secara khusus sangatlah relevan dengan realitas yang ada saat ini, sebuah pandemi yang telah menggeser sudut pandang kita terhadap dunia, dan mempengaruhi medan seni rupa secara signifikan.

Pameran Mediascape diselenggarakan oleh Salihara dan ARCOLABS, serta didukung oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Korean Cultural Center Indonesia, British Council Indonesia, dan Korean Institute for Advanced Study.

“Seiring dengan dunia seni yang semangat menjelajahi dan menerima media dan teknologi baru, kita perlu bersikap kritis pada seni media baru yang berfokus pada pengalaman sensori dan interaksi langsung. Walaupun ada banyak keterbatasan, inilah waktu terbaik untuk mengevaluasi cara dan praktik artistik kita terkait proses produksi, presentasi, dan pameran seni rupa dalam konteks pengalaman multiindrawi,” pungkas Asikin Hasan.

img
Silvia Ng
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan