Kian cekak pendapatan kampus swasta
Problem menimpa Universitas Bandung, Jawa Barat, mulai dari gaji pegawai—termasuk dosen—yang belum dibayarkan selama tujuh bulan, kesulitan menutup biaya operasional perkuliahan, hingga ratusan ijazah yang tertahan karena habisnya akreditasi.
Menurut staf operator akademik, Riki Hardiansyah, seperti dikutip dari Kompas.com, problem bermula sejak 2023. Ketika itu, Politeknik Kesehatan YBA Bandung dan Sekolah Tinggil Ilmu Administrasi (STIA) Bandung melakukan merger menjadi Universitas Bandung di bawah Yayasan Bina Administrasi (YBA).
Akan tetapi, sebulan kemudian tim inspektorat, disusul tim Evaluasi Kinerja Perguruan Tinggi (EKPT) Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) memeriksa STIA Bandung terkait kasus Program Indonesia Pintar (PIP).
“Kami kena pembinaan, terus ditetapkan tiga prodi yang bermasalah itu ditutup,” ujar Riki di Bandung, Senin (6/1), seperti dilansir dari Kompas.com.
Prodi yang ditutup, antara lain S1 Administrasi Bisnis, serta S1 dan S2 Administrasi Publik. Alasannya, pihak universitas tak dapat memberi bukti kalau akademi pembelajaran sesuai standar Dikti. Bahkan sebelumnya, Kejari Kota Bandung menetapkan mantan Rektor Universitas Bandung berinisal BR sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi dana PIP.
Kondisi itu akhirnya berdampak pada pendapatan yayasan, membebani satu-satunya fakultas yang masih berjalan.
Tata kelola keuangan pun sempat membelit Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT). Pada Selasa (24/12/2024), beberapa dosen dan karyawan UMT mengirim karangan bunga yang merupakan wujud protes pembayaran hak mereka yang tertunda 13 bulan.
Dikutip dari Jawapos, humas UMT Agus Kristian mengungkap, total tunggakan tunjangan kinerja (tukin) mencapai Rp7,2 miliar, sebanyak Rp6,2 miliar di antaranya untuk dosen. Alasan keterlambatan pembayaran tukin adalah dampak pandemi, yang mengurangi jumlah mahasiswa aktif membayar. Namun, pihak UMT menyebut, tukin itu mulai dicairkan pada Kamis (9/1).
Akar masalah dan solusi
Menanggapi persoalan ini, pengamat pendidikan sekaligus pendiri Ikatan Guru Indonesia (IGI) Satria Dharma menilai, masalah keuangan yang dialami perguruan tinggi swasta (PTS) sudah lama terjadi. Sebab, banyak kampus swasta yang kesulitan mencari mahasiswa lantaran perguruan tinggi negeri (PTN) kerap memperbesar kuota mahasiswa baru. Kondisi serupa juga dialami sekolah dasar dan sekolah menengah swasta, yang berguguran karean tidak mendapat siswa.
“Pada tahun perkuliahan 2023 dan 2024, PTN tampak memperbesar daya tampungnya secara signifikan, bahkan ada yang merekrut mahasiswa baru dua hingga tiga kali lipat dari jumlah tahun-tahun sebelumnya,” tutur Satria kepada Alinea.id, Senin (13/1).
“Dengan semakin besarnya daya tampung PTN, jumlah mahasiswa baru yang dapat direkrut oleh PTS menjadi berkurang.”
Jika tren ini terus dibiarkan, menurut Satria, kampus-kampus swasta berisiko kehilangan pendapatan. Imbasnya, kalau biaya operasional perkuliahan masih di bawah total pendapatan, maka PTS akan mengalami kerugian, bahkan terancam tutup.
“Untuk itu, pemerintah perlu membatasi secara ketat jumlah mahasiswa baru yang boleh direkrut oleh PTN, agar PTS tetap dapat tumbuh dan berkembang,” kata Satria.
Selama kampus swasta dianaktirikan karena dianggap bukan urusan pemerintah, Satria mengatakan, PTS akan selalu menjadi korban dari kebijakan yang berpihak pada kampus negeri. Padahal, pola kolaborasi antara kampus swasta dengan negara bisa dilakukan.
“Seharusnya PTS diberi ruang yang sama serta persaingan sehat untuk maju dan berkembang. Bukannya justru dimatikan dengan ditambahnya kuota PTN yang ugal-ugalan,” tutur Satria.
Terpisah, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, tak elok kampus swasta dibiarkan merana karena kesulitan mencari sumber keuangan. Sebab, kampus swasta punya jasa menghadirkan perguruan tinggi di daerah yang belum tentu ada PTN.
“Keberadaan kampus swasta ini tidak bisa dilempar menjadi tanggung jawab pihak swasta sepenuhnya. Pihak swasta ini membantu negara untuk menyediakan perguruan tinggi di berbagai wilayah,” ujar Ubaid, Minggu (12/1).
“Kalau kita tahu, jumlah komposisi perguruan tinggi di Indonesia sekitar 90% kampus swasta. Artinya, kampus yang disediakan pemerintah itu sangat sedikit.”
Merujuk data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek), ada 4.540 kampus PTS di Indonesia. Jumlah ini cukup banyak dibandingkan perguruan tinggi akademik (PTA) 1.574 kampus, perguruan tinggi kedinasan/keagamaan (PTK) 241 kampus, dan PTN 127 kampus.
Keberlanjutan nasib kampus-kampus swasta yang “sekarat”, kata Ubaid, mesti menjadi perhatian pemerintah untuk mendapat bantuan atau pendampingan agar tidak tutup karena persaingan pasar.
Karena itu, Ubaid mendorong pemerintah untuk melakukan pemetaan kampus-kampus yang sekarat, sehingga telah mengorbankan dosen dan mahasiswanya untuk tetap eksis, serta menampung mahasiswa yang tak mampu masuk kampus negeri.
“Saya berharap, pemerintah bisa lebih konsen dan fokus untuk mengembangkan pendidikan tinggi di Indonesia, dalam konteks ini meningkatkan kualitas,” kata Ubaid.
“Tidak boleh negara membeda-bedakan antara anak yang kuliah PTN dan PTS. Mereka punya hak yang sama, harus dilayani dengan baik.”