close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Juru parkir perempuan, Sinta, tengah memandu pengendara mobil yang keluar dari halaman parkir sebuah kantor koperasi di Jalan Raya Ragunan, Jakarta Selatan , Kamis (12/10/2023). Alinea.id/Ummu Hafifah
icon caption
Juru parkir perempuan, Sinta, tengah memandu pengendara mobil yang keluar dari halaman parkir sebuah kantor koperasi di Jalan Raya Ragunan, Jakarta Selatan , Kamis (12/10/2023). Alinea.id/Ummu Hafifah
Sosial dan Gaya Hidup
Minggu, 15 Oktober 2023 06:09

Kisah juru parkir perempuan di Jakarta

Tak jarang, ada perempuan yang menggeluti profesi juru parkir karena tuntutan hidup.
swipe

Malam itu, di depan sebuah kafe yang selalu ramai pengunjung di bilangan Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, tangan Ega Patricia Erlanda, 22 tahun, cekatan memegang setang sepeda motor yang terparkir. Ia tengah sibuk merapikan sepeda motor yang terparkir di halaman kafe tersebut.

Sekilas, penampilannya tak seperti juru parkir. Perempuan muda berambut panjang itu bekerja dengan tampilan kasual, mengenakan kaus dan celana jin. Alasannya menjadi juru parkir sangat sederhana.

Ngikutin suami, nemenin biar enggak bete (bosan),” ujar perempuan yang pernah bekerja sebagai penyebar brosur di pinggir jalan itu kepada Alinea.id, Rabu (11/10).

Suami Ega juga juru parkir. Setiap hari, mereka bekerja bergantian, memarkir kendaraan di kafe yang sama. Kafe tersebut punya dua cabang. Selain di Duri Kepa, ada pula di bilangan Tanjung Duren, Jakarta Barat. Ega bekerja dari pukul 15.30 WIB hingga 23.00 WIB.

Penghasilan Ega dan suaminya cukup fantastis. Mereka bisa mendapatkan Rp250.000 per hari, tanpa menyetor kepada siapa pun. Biaya parkir di dua kafe itu antara Rp2.000 hingga Rp3.000 per satu kendaraan.

Ega sudah menggeluti pekerjaan sebagai juru parkir selama tiga tahun. Ia belum punya anak. Bersama suaminya, Ega mengontrak rumah di daerah Jatipulo, Palmerah, Jakarta Barat seharga Rp1,3 juta per bulan. Walau ada beban biaya pendidikan anak, pengeluaran setiap bulan bisa lebih dari Rp2 juta.

“Buat makan sehari bisa habis Rp70.000-an. Sama jajan-jajannya,” tutur Ega.

 Juru parkir perempuan, Ega Patricia Erlanda, sedang merapikan sepeda motor yang terparkir di depan sebuah kafe di bilangan Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Rabu (11/10/2023). Alinea.id/Rizkia Salsabila

Beda nasib

Melihat penghasilan Ega, tentu profesi juru parkir terkesan menggiurkan. Apalagi menyoroti pertumbuhan kendaraan bermotor di Jakarta yang naik setiap tahun.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2020 jumlah sepeda motor di Jakarta 16.141.380 unit. Angka itu naik signifikan pada 2022, menjadi 17.304.447 unit. Sedangkan jumlah mobil pada 2020 sebanyak 3.365.467 unit. Angka tersebut bertambah menjadi 3.766.059 unit pada 2022.

Namun, nasib Ega lebih beruntung ketimbang Sinta, 36 tahun. Juru parkir perempuan yang sehari-hari bekerja di halaman parkir Kantor Koperasi Sejati Mulia, Jalan Raya Ragunan, Jakarta Selatan itu terpaksa menjalani profesi tersebut.

“Karena tuntutan hidup. Susah cari pekerjaan,” ujarnya kepada Alinea.id, Kamis (12/10).

Sebelumnya, ia pernah menjadi sales promotion girl (SPG) di pusat perbelanjaan Pejaten Village, Jakarta Selatan, tak jauh dari tempatnya kini mencari rupiah. Sinta “mewarisi” pekerjaan sebagai juru parkir dari suaminya yang meninggal dunia pada 2018. Sejak 2005, suaminya menjadi juru parkir di tempat yang sama.

“Pas beliau (suami) meninggal, ya saya masuk aja kerja di tempat ini sebagai juru parkir, gantiin suami,” ujar Sinta.

Tak lama, sebuah mobil berwarna putih hendak keluar dari halaman parkir koperasi. Dengan sigap, ia membunyikan peluit untuk memberi tanda sang sopir di mobil itu. Tak seperti Ega, Sinta mengenakan seragam khas petugas parkir berwarna biru.

Juru parkir perempuan, Sinta, tengah memandu pengendara mobil yang keluar dari halaman parkir sebuah kantor koperasi di Jalan Raya Ragunan, Jakarta Selatan , Kamis (12/10/2023). Alinea.id/Ummu Hafifah

Di sela waktu memarkir kendaraan, Sinta pun kerap membantu orang-orang yang hendak menyeberang jalan. Ia mengatakan, saat tubuhnya sudah terasa lelah, ia pergi sebentar menyeberang jalan untuk membeli makanan ringan dan minuman. Lantas, duduk sejenak di sebuah warung kecil.

Sinta punya tiga anak. Sepeninggal suaminya, ia harus banting tulang memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan anak-anaknya. Anaknya yang bungsu masih duduk di kelas lima sebuah madrasah. Dua anak yang lainnya, sudah lulus dari SMK. Akan tetapi, dua anaknya itu belum cukup bisa menopang perekomian keluarganya.

“Anak laki-laki (saya yang) pertama sudah kerja, tapi masih freelance gitu. Bersih-bersih rumah orang kalau sedang gantiin temannya libur,” ucapnya.

“Kalau anak laki-laki yang kedua baru lulus bulan Juni kemarin, jadi belum ada pekerjaan.”

Setiap hari, Sinta bekerja mulai pukul 14.30 WIB hingga 20.30 WIB. “Tanpa libur. Kecuali saya sakit atau libur Idulfitri,” kata dia.

Ia mengakui, penghasilannya sebagai juru parkir tak menentu. Jika sedang ramai, ia bisa meraup Rp60.000 hingga Rp70.000. “Kalau lagi pahit (sepi), ya kadang nombok. Paling bersih-bersihnya (dapat) Rp30.000, alhamdulillah,” ujar Sinta.

Sinta tak mengambil semua uang hasil jerih payahnya. Ia harus menyetor 70%. “30% untuk saya,” kata Sinta. Namun, ia enggan memberi tahu kepada siapa setoran parkir tersebut diberikan.

Bersama tiga anaknya, Sinta tinggal di rumah kontrakan berukuran empat kali empat meter. Setiap bulan, ia harus mengeluarkan uang Rp1,1 juta atau Rp1,2 juta untuk biaya kontrak rumah. “Tergantung penggunaan listrik dan air,” katanya.

Menurutnya, pengeluaran terbesarnya mengalir ke biaya kontrakan dan pendidikan anak-anaknya. Ia berperan ganda, sebagai pencari nafkah dan mengasuh anak pula. Tak jarang, sebagai seorang perempuan yang bekerja menjadi juru parkir, Sinta mendapatkan perlakuan negatif.

“Suka digoda (laki-laki). Bahkan, dihina. Cuma ya tetap saja, harus semangat,” tuturnya.

Ia bersyukur, dari sekian banyak kesulitan yang dialami, ada program bantuan sosial dari pemerintah yang sedikit membuatnya lega. Ia mendapat bantuan Program Keluarga Harapan (PKH). PKH merupakan bantuan yang diterima keluarga miskin agar punya akses dan memanfaatkan pelayanan sosial dasar kesehatan, pendidikan, pangan dan gizi, serta pendampingan. Anak-anaknya juga tercatat mendapatkan manfaat dari program Kartu Jakarta Pintar (KJP).

Namun, ia menyadari, dari pekerjaannya itu, tak pernah cukup memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari. “Tapi kalau ada rezeki, ya gimana yang di atas (Tuhan) ngatur ajalah,” ucap Sinta pasrah.

img
Ummu Hafifah
Reporter
img
Rizkia Salsabila
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan