Kisah mereka yang memilih studi ke luar negeri
Pada 2020, Johanderson Tan Kurniawan memulai studinya di Faculty of Counselling di Morling College, Sydney, Australia. Ia memilih kuliah di Australia karena arahan dari orang tuanya. Ia melanjutkan studi ke Australia berkat bantuan agen untuk mengurus administrasi kampus.
Menurut Johanderson, perbedaan berkuliah di luar negeri ada di kulturnya dan relasi yang luas. “Di sini kita berteman dengan banyak orang dari negara lain, seperti teman dekat saya itu berasal dari Vietnam dan Jepang,” kata Johanderson kepada Alinea.id, Selasa (21/5).
Selain itu, ia melihat, pola belajarnya lebih santai dibandingkan dengan di Indonesia. Durasi studinya pun terbilang lebih singkat ketimbang di Indonesia yang bisa memakan waktu 3,5 tahun hingga 4 tahun.
“Ini pengalaman sekali seumur hidup, bisa belajar di luar (negeri) dan benar-benar belajar mengandalkan diri sendiri,” tutur dia.
Johanderson mengungkapkan, untuk mengejar pendidikan ke luar negeri harus menyiapkan mental yang kuat. “Karena di sini itu, apa-apa harus bisa sendiri,” ujar Johanderson.
Lalu, harus terbuka dengan orang baru. “Karena kalau kita tidak terbuka dan tidak punya teman lah istilahnya, itu pasti bakal susah apa-apanya di sini,” tutur dia.
Selain itu, tentu saja harus menyediakan biaya yang tak murah. Johanderson mengatakan, orang tuanya merogoh biaya sekitar 3.100 dollar Australia atau setara Rp32,95 juta untuk uang kuliah per semester. Pengeluaran per bulan untuk kebutuhan sehari-hari dan sewa apartemen Rp2.000 dollar AS atau setara sekitar Rp21,26 juta.
“Sebagian besar itu (biaya) ke tempat tinggal sih, apartemen saya sewa itu yang paling mahal,” ujar Johanderson.
Demi memenuhi segala biaya kebutuhan hidupnya sehari-hari, Johanderson bekerja di sebuah restoran Indonesia di Sydney sebagai chef helper. Ia dibayar per jam sebesar 6 dollar Australia atau setara Rp63.791.
“(Pekerjaan saya) cuma kayak bantu-bantu (chef) masak nasi atau mi gitu,” ucap Johanderson.
Di samping itu, ia terkadang bekerja sebagai jasa pengantar makanan, UberFoods. Dari pekerjaan itu, sehari ia bisa membawa 100 hingga 150 dollar Australia atau setara Rp106.000 hingga Rp159.000.
“Tapi, ini jarang saya lakukan. Kalau lagi senggang aja dan penghasilannya enggak pasti,” ujar dia.
Setelah lulus nanti, belum ada rencana Johanderson untuk kembali dan bekerja di Indonesia. Alasannya, gaji di Indonesia kecil. Ia juga punya rencana menetap di Australia.
“Orang tua saya juga inginnya saya menetap saja di sini,” kata Johanderson.
“Mereka merasa kalau hidup di luar (negeri) itu lebih enak, kesehatan terjamin, keamanan terjamin, makanya mereka mengirim saya ke sini.”
Menurut data United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), warga negara Indonesia yang memilih kuliah di luar negeri pada 2021 sebanyak 59.224 orang.
Data dari situs web Statista menyebut, per April 2024, Australia menjadi negara tujuan mahasiswa asal Indonesia paling tinggi, yakni sebanyak 11.520 orang. Diikuti Malaysia sebanyak 9.860 orang, Amerika Serikat 7.450 orang, Jepang 5.090 orang, dan Inggris 3.680 orang.
Di Asia Tenggara, mahasiswa asal Indonesia yang belajar di luar negeri paling tinggi kedua, di bawah Vietnam yang berjumlah 137.022 orang. Di bawah Indonesia ada Malaysia sebanyak 48.810 orang.
Situs Education Fair menyebut, sejak 2014 jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri telah tumbuh sebesar 21%. Selain negara-negara teratas yang menjadi tujuan studi, seperti Australia, Amerika Serikat, dan Jepang, kini mahasiswa Indonesia mempertimbangkan destinasi belajar di luar negeri yang lebih luas.
Misalnya Claudia Amerta, yang memilih melanjutkan studinya di Leuphana University of Lüneburg, Jerman. Di universitas itu, ia memilih jurusan cultural studies. Catatan Statista, di Jerman ada 2.890 orang Indonesia yang berkuliah. Ia tak memakai beasiswa untuk belajar di sana. Alasan Claudia memilih Jerman karena kakaknya sudah terlebih dahulu tinggal di sana.
“Tapi beda kota. Saya tinggal di Winsen karena dekat dengan Lüneburg. Sedangkan kakak saya di Berlin,” ujar Claudia saat dihubungi, Rabu (22/5).
Alasan lainnya, orang tuanya berharap agar Claudia bisa kuliah dan bekerja di Jerman, sehingga saat kembali ke Indonesia memiliki modal yang banyak. Banyak hal yang harus dipersiapkan Claudia sebelum berangkat ke Jerman. Mula-mula, ia mencari tahu terlebih dahulu segala sesuatu tentang kampus tujuannya. Lalu, ia juga belajar bahasa Jerman.
“Saya les bahasa (Jerman) dulu,” ucap Claudia.
Sebab, kata dia, Jerman merupakan salah satu negara yang cukup “kaku” urusan bahasa. Jadi, sebelum berangkat, ia memilih kursus bahasa Jerman, yang biayanya cukup mahal.
Selain itu, ia harus menyiapkan asuransi dan bank. “Itu wajib di sini untuk kita orang dari luar negeri karena kan kita enggak di-cover negara kalau sakit,” kata Claudia.
“Paling gampang si pakai agen karena memang memudahkan kita yang enggak ngerti sama sistem negara orang. Saya sendiri enggak pakai (agen) karena kakak saya sudah tahu sistemnya gimana.”
Seperti Johanderson, ia menilai, kuliah di luar negeri bisa mendapatkan relasi dan koneksi yang lebih luas. Di samping itu, menurut orang tuanya, biaya kuliah di universitas swasta di Indonesia dan Jerman, tak berbeda jauh.
“Hanya biaya (kebutuhan) hidup yang berbeda,” ujar dia.
“Harga-harga bahan makanan lumayan mahal. Makanya kalau di sini, harus pintar-pintar muterin uang.”
Biaya kuliah per semester di kampusnya, kata dia, 350 euro atau sekitar Rp6 juta. Sedangkan biaya pengeluaran per bulan untuk hidup sehari-hari sekitar 2.000 euro atau sekitar Rp34,82 juta.
“Menurut saya untuk pendidikan di Jerman cukup murah, tetapi biaya hidup yang mahal,” tutur dia.
“Karena kita banyak bayaran, seperti televisi, listrik, bahkan saya punya scooter elektrik itu juga ada pajak yang harus saya bayar.”
Untuk memenuhi biaya kuliah dan kebutuhan hidup sehari-hari, Claudia tidak bekerja. Ia masih dibantu orang tuanya. Usai lulus nanti, Claudia belum berpikir untuk kembali ke Indonesia. Ia masih ingin mengikuti arahan orang tuanya untuk bekerja di Jerman dan menabung.
“Dan nanti buka bisnis di Indonesia aja,” kata Claudia.
Ia pun belum berpikir untuk tinggal lebih lama di Jerman, jika sudah selesai studi. Sebab, katanya, sebagai ekspatriat, mengurus visa lumayan sulit kalau hanya sebagai pekerja.
“Kecuali saya mendapat sponsor dari perusahaan atau pasangan saya mungkin mau (menjamin),” ujar Claudia.
“Karena kalau misalkan kita menjadi warga negara di sini (Jerman) itu enak, benefit-nya juga banyak, kesehatan gratis, pendidikan gratis. Jadi, saya mau.”
Sementara itu, Wakil Direktur Festival Luar Negeri Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia, Aldo Sanchia mengatakan, mahasiswa dari keluarga menengah ke bawah yang melanjutkan studi ke luar negeri banyak yang mencari pengalaman di negara lain.
“Beberapa teman saya banyak yang pergi ke Australia atau Taiwan, walaupun sudah lulus S1 di Indonesia supaya bisa mendapatkan pengalaman belajar di luar (negeri),” kata Aldo, Kamis (23/5).
“Bisa juga menjadi upgrade diri mereka karena lulusan luar negeri.”
Selain mengeluarkan biaya mandiri, Aldo mengatakan, ada juga lulusan S1 di Indonesia yang melanjutkan S2 di luar negeri karena mendapatkan beasiswa. Aldo mengingatkan, agar berhati-hati terhadap beasiswa palsu ke luar negeri.
“Itu biasanya karena mereka tidak memakai agen. Mereka masih berpikir bahwa agen itu hanya mau mencari untung saja dan sebagainya,” tutur dia.
“Padahal sebenarnya agen ini bisa membantu mereka nantinya untuk negara yang akan dituju, sehingga tidak tertipu.”