Kisah nyai dan penularan budaya masa Hindia Belanda
Trailer film Bumi Manusia yang diunggah di situs video Youtube sejak 5 Juli 2019 sudah ditonton lebih dari empat juta orang hingga 15 Juli 2019. Film tersebut baru akan tayang di bioskop pada 15 Agustus 2019.
Film ini diangkat dari novel pertama Tetralogi Buru, Bumi Manusia karya sastrawan terkemuka Pramoedya Ananta Toer. Tiga novel lainnya, yang ditulis Pram kala ia dibuang di kamp kerja paksa Pulau Buru, Maluku, yakni Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Karakter utama di novel ini adalah seorang pemuda Jawa yang cerdas, anak bupati bernama Minke. Selain Minke, tokoh di dalam novel yang berlatar belakang Kota Surabaya di masa kolonial ini ialah Nyai Ontosoroh.
Ontosoroh bernama asli Sanikem. Di usia 14 tahun, ia dijual oleh ayahnya sebagai bentuk sogokan kenaikan pangkat kepada Herman Mellema seorang pengusaha Belanda di Wonokromo. Ontosoroh lalu mendapat label sebagai gundik.
Meski dicap negatif, Ontosoroh tak mau disebut gundik. Ia belajar membaca, menulis, dan tata niaga. Ia juga belajar bahasa Belanda dan Melayu, serta budaya dan hukum Belanda. Ontosoroh mampu mengelola perusahaan, dan dihormati berkat kekayaan yang dihasilkan dari kemampuannya. Tak bisa dimungkiri, melalui tokoh Nyai Ontosoroh, Pram sudah mengubah citra negatif “nyai”.
Praktik nyai
Menurut Reggie Baay di dalam bukunya Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda (2010), istilah nyai berasal dari bahasa Bali. Istilah itu dikenal ketika budak-budak perempuan dari Bali datang ke Batavia, pada abad ke-17, saat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Kongsi Dagang Hindia Timur berkuasa. Mereka pun dikenal dengan istilah gundik.
Istilah dalam bahasa Belanda untuk seorang gundik, menurut Tineke Hellwig di dalam bukunya Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda (2007) ialah hushoudster, bijzit, menagere, dan meid. Di tanah Melayu, gundik dikenal dengan sebutan munci.
Nyai pun kerap disebut meubel (perabot) atau inventarisstuk (barang inventaris), yang bisa dilelang maupun dikembalikan ke asalnya. Di sisi lain, nyai juga dianalogikan sebagai “boek” (buku) dan “woordenboek” (kamus), yang merujuk pada fungsi mereka sebagai penerjemah dan pengajar bahasa pribumi.
Di dalam surat kabar De Waarheid edisi 30 Oktober 1986, Anneke Teunissen menulis, kehadiran VOC berangsur-angsur mengukuhkan praktik pergundikan dalam kehidupan masyarakat Eropa di Hindia Belanda. Pria-pria Eropa butuh pelampiasan seksual di tanah yang jauh dari negaranya. Di dalam praktiknya, nyai bukan sekadar teman tidur, melainkan pula pengurus rumah tangga.
“Seorang nyai boleh dikatakan tak punya hak apa pun, tidak punya hak atas anaknya, pun tidak atas posisinya sendiri. Setiap saat ia dapat ditinggalkan majikannya tanpa bantuan dalam bentuk apa pun. Di kalangan ketentaraan, seorang nyai kadang-kadang diserahkan saja kepada lelaki Eropa lain,” tulis Tineke Hellwig.
Onghokham di dalam artikelnya berjudul “Kekuasaan dan Seksualitas: Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial”, yang terbit di Prisma edisi Juli 1991 menulis, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-4 dan ke-6 Jan Pieterszoon Coen membenci praktik pergundikan. Coen menganggap hal itu adalah praktik yang tak pantas.
Coen lantas memikirkan jalan keluar agar orang-orang Eropa dan Belanda tak memelihara nyai. Di dalam buku Persekutuan Aneh: Pemukiman Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC (2004), Leondard Blusse menulis, Coen lantas mengirim anak-anak gadis dan mengusulkan banyak keluarga Belanda untuk migrasi ke Batavia.
Bersama keluarga dan anak-anak mereka, diikutkan pula sekitar 400 hingga 500 anak laki-laki dan perempuan berusia 10 hingga 12 tahun yang diambil dari panti asuhan, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1. Coen pun mengeluarkan peraturan agar laki-laki Belanda dan Eropa tak menikahi perempuan pribumi, dalam Regering bij Plakaat pada 1625. Namun, usaha Coen itu tak efektif.
Menurut Baay, setelah 1870, praktik pergundikan meluas ke pegawai rendah, juru tulis, pengusaha, hakim, dan anggota Raad van Indie (Dewan Hindia), selain di tangsi-tangsi militer dan perkebunan.
Buku pedoman lengkap bagi pendatang baru di daerah jajahan, dari petunjuk berpakaian hingga tata cara berhubungan dengan nyai kemudian banyak terbit. Pekerjaan rumah tangga, yang terdiri dari djongos (pelayan laki-laki), wasbaboe (tukang cuci), kokkie (tukang masak), dan kebon (tukang kebun).
Namun, terkadang tanpa pembantu, cukup nyai saja bisa membereskan seluruh pekerjaan rumah tangga laki-laki Eropa.
Baay menganggap, motif ekonomi membuat keluarga pribumi menggadaikan perempuan untuk mengurus rumah tangga laki-laki Eropa. Di dalam pandangan masyarakat pribumi, nyai dianggap negatif.
“Di dalam norma masyarakat sendiri, kedudukan nyai hampir sama dengan pelacur. Lebih buruk lagi, mereka dianggap mengkhianati agama dengan hidup bersama orang kafir. Karena itulah mereka menempatkan diri di luar masyarakat pribumi dan menjadi orang yang dikucilkan,” tulis Reggie Baay.
Memasuki abad ke-20, citra nyai tetap buruk. Ia digambarkan sebagai gadis “gatal” yang pemalas, jahat, dan berjiwa pemberontak.
Baay menulis, praktik pergundikan berpengaruh terhadap komposisi demografi di negeri koloni. Sepanjang 1870 hingga 1880-an, 10.000 laki-laki Eropa lajang mengadu nasib menyeberang samudra, terakomodir praktik pergundikan. Jumlah laki-laki Eropa yang lebih banyak ketimbang perempuan Eropa ikut memantik praktik pergundikan di Hindia Belanda.
Akulturasi
Djoko Soekiman dalam buku Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi (2011) menulis, pelarangan menikah bagi lelaki Eropa pendatang baru, tidak berlaku untuk praktik pergundikan. Akibatnya, laki-laki Eropa lajang kerap menikahi perempuan pribumi, yang berimbas pada percampuran kebudayaan. Percampuran kebudayaan ini kemudian disebut sebagai kebudayaan Indis.
“Selain menjauhkan sang lelaki Eropa dari pusaran pelacuran dan perilaku hidup berantakan, nyai dalam pergundikan merupakan jembatan antara adat istiadat pribumi dan gaya hidup Eropa,” tulis Djoko.
Menurut Djoko, dalam buku yang sama, dari sisi bahasa dikenal bahasa pijin dan peetjoek. Djoko menulis, bahasa pijin merupakan perbendaharaan bahasa darurat, yang dituturkan orang-orang keturunan Belanda dari ibu Jawa, keturunan China, maupun Timur Asing. Sementara bahasa peetjoek (campuran) merupakan bahasa percakapan sehari-hari.
Bahasa peetjoek dianggap tak sopan dan rendahan karena dituturkan kaum papa, sehingga dilarang dituturkan di rumah keluarga Indo-Eropa ningrat. Bahasa ini cenderung dekat dengan pangkal bahasa Jawa. Anak-anak Indo-Eropa acap kali mendengar bahasa peetjoek dari ibunya yang nyai dan percakapan pembantu rumah tangga.
Selain itu, keberadaan praktik nyai ikut memengaruhi dunia boga. Nyai yang mengurus rumah tangga laki-laki Eropa ikut memengaruhi keberadaan berbagai peralatan rumah tangga khas pribumi.
“Masyarakat Indis menghidangkan makanan keluarga dengan perlengkapan dan menu campuran Eropa dan Jawa. Misalnya, beafstuk, resoulles, dan soep. Pengaturan susunan peralatan makan di meja makan pun tidak sama dengan di negeri Belanda,” tulis Djoko.
Fadly Rahman dalam buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016) menulis, Balai Pustaka pernah menerbitkan sebuah buku masak berbahasa Sunda karya Nyai Djamah berjudul Boekoe Batjaan Roepa-Roepa Kaolahan Aoseun Maroerangkalih Istri pada 1916. Terbilang unik, Nyai Djamah memaparkan resep dengan gaya mendongeng dan tebak-tebakan.
Dalam bukunya, Nyai Djamah tak mengelompokkan 29 olahan berdasarkan kriteria rasis, seperti “cara Belanda”, “cara pribumi”, atau “yang asing”, melainkan menghimpun semuanya sebagai rupa-rupa olahan yang patut dicoba orang Sunda.
“Mungkin cara itu bertujuan untuk menarik perhatian pembaca anak-anak perempuan Sunda agar ingin belajar memasak,” tulis Fadly.
Para nyai pun berperan mengenalkan nasi sebagai makanan pokok kepada tuannya. Menurut Fadly Rahman di dalam buku Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 (2011), para nyai menyajikan hidangan dengan gaya Eropa, seperti makanan pembuka, inti, dan penutup.
Nasi perlahan-lahan menggantikan roti sebagai makanan pokok orang Eropa. Kemudian, tulis Fadly, muncullah istilah rijsttafel, rijst artinya nasi yang sudah dimasak dan tafel yang artinya meja atau hidangan.
Bentuk akulturasi budaya lainnya terlihat dari gaya busana. Hayu Adi Darmarastri dalam bukunya Nyai Batavia (2006) menulis, nyai mengenakan kebaya khusus, yang berbeda dari sebelumnya. Mereka mengenakan kebaya putih berenda, yang biasa dikenakan perempuan Indo dan Eropa. Sebelumnya, mereka mengenakan kebaya yang berwarna atau indigo.
Menurut FX Domini BB Hera dan Daya Negri Wijaya dalam tulisannya “Terasing dalam Budaya Barat dan Timur: Potret Nyai Hindia Belanda, Abad XVII-XX” yang terbit di Jurnal Antropologi, Universitas Andalas, nyai juga berbeda dalam kain yang dikenakannya, berupa sarung sutra dengan pending dan tak mengenakan kemben.
“Kebaya yang dikenakan dengan sengaja berukuran besar kedombrongan, dilengkapi peniti. Rambut mereka disanggul dengan gaya ekor bebek atau ekor udang dengan tusuk konde serta mengenakan remong sutra,” tulis FX Domini dan Daya Negri.
Dengan demikian, secara tak langsung, segala hal tadi menunjukkan bahwa status mereka sudah berubah. Serupa dengan perempuan Eropa dan Indo. Akan tetapi, praktik pergundikan tetap dipandang negatif masyarakat. Praktik mengawini nyai terus terjadi hingga orang-orang Belanda dan Eropa angkat kaki pada 1942.