Kisah para penyuka sesama di ibu kota
Sore itu, saya bertemu dengan seorang kawan, FZ, di kedai kopi waralaba asal Amerika Serikat di sebuah pusat perbelanjaan bilangan Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Di sini, dia mengenang lokasi di mana dia kerap berkumpul dengan kawan-kawan sukarelawan Q! Film Festival (Q Fest) dahulu.
Q Fest merupakan organisasi yang memiliki kegiatan memutar film bertema kelompok seksual minoritas setahun sekali di Jakarta, dan kota-kota besar lainnya. Pada 2015 hingga 2017, FZ aktif di organisasi ini.
Anggota aktif di Q Fest adalah kelompok LGBT—lesbian, gay, biseksual, transgender. Q Fest beraktivitas sejak 2002 lalu.
“Tapi, sekarang sudah enggak aktif. Q Fest juga sudah berhenti,” kata FZ.
Seketika, ingatan saya kembali ke tahun 2010, sewaktu masih berkuliah di Yogyakarta. Ketika itu, saya meliput aksi unjuk rasa salah satu organisasi masyarakat yang menolak pelaksanaan Q Fest.
FZ mengatakan, berhentinya kegiatan Q Fest bukan lantaran penolakan keras beberapa kali dari ormas, melainkan problem internal manajemen.
Komunitas queer
Obrolan kami lantas beralih ke masalah menyoal identitas. Tanpa risih, FZ terbuka tentang identitasnya, yang punya orientasi penyuka sesama jenis. Dia mengungkapkan, ketertarikan kepada sesama jenis itu sudah ada sejak usianya baru 5 tahun.
“Aku ingat, waktu itu aku tertarik sama anaknya teman mamaku,” kata dia.
Namun, dia baru paham istilah homoseksual, sekitar 2000. Ketika itu, dia masih duduk di bangku kelas 5 SD. Definisi itu dia peroleh dari Tabloid Cita Cinta milik kakak perempuannya.
Semasa kecil, FZ memang sering membaca majalah perempuan dewasa. Selain Cita Cinta, dia juga membaca Cosmopolitan.
Perlu waktu sekitar dua tahun bagi FZ untuk menerima keadaan diri sendiri. Untung saja, menurut FZ, keluarganya moderat perkara perbedaan orientasi seksual.
“Bisa dibilang, dari kecil aku sudah minoritas,” ujar FZ.
FZ berkisah, sewaktu masih sekolah, dia pun belajar keberagaman dari sekolahnya. Lingkungan belajar di sekolah itu membuat dia merasakan keharmonisan dan toleransi. Murid-murid di sekolahnya berlatar belakang macam-macam keyakinan.
Sejak 2016, dia dan kawan-kawannya sesama queer—istilah payung untuk minoritas seksual yang bukan heteroseksual, heteronormatif, atau biner gender—berkumpul dua kali seminggu. Mereka berhimpun dalam Queer Language Club (QLC).
Klub ini muncul karena kebutuhan seorang kawannya, yang berasal dari Australia, untuk mencari pertemanan sesama jenis. Tujuan lainnya, kelompok ini dimaksudkan agar anggotanya bisa memperlancar Bahasa Indonesia dan Inggris.
Setelah menyebar dari mulut ke mulut, anggota kelompok ini bertambah. Kawan FZ yang berasal dari Australia itu, kembali ke negaranya pada 2018. Meski kawannya itu sudah kembali ke Australia, QLC tetap berjalan. Anggota mereka ada juga yang berasal dari kalangan heteroseksual, pemerhati kelompok queer.
“Mereka heteroseksual, tetapi mendukung kelompok queer kami,” ujar FZ.
FZ mengungkapkan, komunitas QLC menjadi sistem pendukung keberadaan mereka untuk saling berbagi atau mendapatkan penerimaan. Sebab menurutnya, ada batasan bagi publik umum untuk menerima mereka yang minoritas dari segi orientasi seksual.
“Kecenderungannya, cewek lesbian sulit mendapatkan tempat untuk diterima. Umumnya gay yang relatif lebih terbuka atau terlihat. Nah, di sini (QLC), lebih beragam komposisi anggotanya. Ini menjadi supported system buatku,” katanya.
Peran sebagai supported system ini, menurut FZ juga untuk menguatkan perasaan dan status sosial mereka terhadap isu miring yang kerap dilekatkan masyarakat kepada mereka.
Setiap dua minggu sekali, mereka rutin berkumpul berkumpul di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Di sana, mereka terbagi-bagi ke dalam beberapa kelompok dengan setiap kelompok berjumlah 3 hingga 4 orang.
“Lalu, kami dalam 45 menit pertama ngobrol pakai Bahasa Indonesia, dan 45 menit lagi pakai Bahasa Inggris. Kalau belum lancar Bahasa Inggris enggak apa-apa, campur-campur sih,” kata dia.
Beragam hal juga menjadi obrolan mereka. Dari berbagi pengalaman hidup sehari-hari hingga musik atau film kegemaran. Usai ngobrol selama 45 menit, mereka lantas makan bersama.
Selain itu, mereka biasa nongkrong bareng, makan bersama, dan pergi karaoke sebulan sekali.
“Malam ini juga kita mau ngadain karaoke lagi,” kata FZ, sambil melirik pesan di grup WhatsApp di layar ponselnya.
Sebagian anggota kelompok ini suka musik. Oleh karenanya, sebulan sekali mereka karaoke bersama.
Sore itu, saya bertemu dengan seorang kawan, FZ, di kedai kopi waralaba asal Amerika Serikat di sebuah pusat perbelanjaan bilangan Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Di sini, dia mengenang lokasi di mana dia kerap berkumpul dengan kawan-kawan sukarelawan Q! Film Festival (Q Fest) dahulu.
Q Fest merupakan organisasi yang memiliki kegiatan memutar film bertema kelompok seksual minoritas setahun sekali di Jakarta, dan kota-kota besar lainnya. Pada 2015 hingga 2017, FZ aktif di organisasi ini.
Anggota aktif di Q Fest adalah kelompok LGBT—lesbian, gay, biseksual, transgender. Q Fest beraktivitas sejak 2002 lalu.
“Tapi, sekarang sudah enggak aktif. Q Fest juga sudah berhenti,” kata FZ.
Seketika, ingatan saya kembali ke tahun 2010, sewaktu masih berkuliah di Yogyakarta. Ketika itu, saya meliput aksi unjuk rasa salah satu organisasi masyarakat yang menolak pelaksanaan Q Fest.
FZ mengatakan, berhentinya kegiatan Q Fest bukan lantaran penolakan keras beberapa kali dari ormas, melainkan problem internal manajemen.
Komunitas queer
Obrolan kami lantas beralih ke masalah menyoal identitas. Tanpa risih, FZ terbuka tentang identitasnya, yang punya orientasi penyuka sesama jenis. Dia mengungkapkan, ketertarikan kepada sesama jenis itu sudah ada sejak usianya baru 5 tahun.
“Aku ingat, waktu itu aku tertarik sama anaknya teman mamaku,” kata dia.
Namun, dia baru paham istilah homoseksual, sekitar 2000. Ketika itu, dia masih duduk di bangku kelas 5 SD. Definisi itu dia peroleh dari Tabloid Cita Cinta milik kakak perempuannya.
Semasa kecil, FZ memang sering membaca majalah perempuan dewasa. Selain Cita Cinta, dia juga membaca Cosmopolitan.
Perlu waktu sekitar dua tahun bagi FZ untuk menerima keadaan diri sendiri. Untung saja, menurut FZ, keluarganya moderat perkara perbedaan orientasi seksual.
“Bisa dibilang, dari kecil aku sudah minoritas,” ujar FZ.
FZ berkisah, sewaktu masih sekolah, dia pun belajar keberagaman dari sekolahnya. Lingkungan belajar di sekolah itu membuat dia merasakan keharmonisan dan toleransi. Murid-murid di sekolahnya berlatar belakang macam-macam keyakinan.
Sejak 2016, dia dan kawan-kawannya sesama queer—istilah payung untuk minoritas seksual yang bukan heteroseksual, heteronormatif, atau biner gender—berkumpul dua kali seminggu. Mereka berhimpun dalam Queer Language Club (QLC).
Klub ini muncul karena kebutuhan seorang kawannya, yang berasal dari Australia, untuk mencari pertemanan sesama jenis. Tujuan lainnya, kelompok ini dimaksudkan agar anggotanya bisa memperlancar Bahasa Indonesia dan Inggris.
Setelah menyebar dari mulut ke mulut, anggota kelompok ini bertambah. Kawan FZ yang berasal dari Australia itu, kembali ke negaranya pada 2018. Meski kawannya itu sudah kembali ke Australia, QLC tetap berjalan. Anggota mereka ada juga yang berasal dari kalangan heteroseksual, pemerhati kelompok queer.
“Mereka heteroseksual, tetapi mendukung kelompok queer kami,” ujar FZ.
FZ mengungkapkan, komunitas QLC menjadi sistem pendukung keberadaan mereka untuk saling berbagi atau mendapatkan penerimaan. Sebab menurutnya, ada batasan bagi publik umum untuk menerima mereka yang minoritas dari segi orientasi seksual.
“Kecenderungannya, cewek lesbian sulit mendapatkan tempat untuk diterima. Umumnya gay yang relatif lebih terbuka atau terlihat. Nah, di sini (QLC), lebih beragam komposisi anggotanya. Ini menjadi supported system buatku,” katanya.
Peran sebagai supported system ini, menurut FZ juga untuk menguatkan perasaan dan status sosial mereka terhadap isu miring yang kerap dilekatkan masyarakat kepada mereka.
Setiap dua minggu sekali, mereka rutin berkumpul berkumpul di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Di sana, mereka terbagi-bagi ke dalam beberapa kelompok dengan setiap kelompok berjumlah 3 hingga 4 orang.
“Lalu, kami dalam 45 menit pertama ngobrol pakai Bahasa Indonesia, dan 45 menit lagi pakai Bahasa Inggris. Kalau belum lancar Bahasa Inggris enggak apa-apa, campur-campur sih,” kata dia.
Beragam hal juga menjadi obrolan mereka. Dari berbagi pengalaman hidup sehari-hari hingga musik atau film kegemaran. Usai ngobrol selama 45 menit, mereka lantas makan bersama.
Selain itu, mereka biasa nongkrong bareng, makan bersama, dan pergi karaoke sebulan sekali.
“Malam ini juga kita mau ngadain karaoke lagi,” kata FZ, sambil melirik pesan di grup WhatsApp di layar ponselnya.
Sebagian anggota kelompok ini suka musik. Oleh karenanya, sebulan sekali mereka karaoke bersama.
Jalin hubungan sesama jenis
Pukul 20.38 WIB, kami memasuki ruang nomor 15 di tempat karaoke di sebuah pusat perbelanjaan di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan.
“It’s a private room?” kata RZ, seorang kawan FZ.
RZ adalah seorang lesbian. Dia baru saja diputus oleh pacarnya. Enam orang dalam ruangan karaoke berukuran sekitar 3 x 3,2 meter terasa rapat baginya.
“Malam ini tema lagunya kemarahan,” kata FZ, disambut sorak kawan-kawannya.
Hey, hey, you, you, I don’t like your girlfriend
No way, no way, I think you need a new one
Hey, hey, you, you, I could be your girlfriend
Mikrofon berada di tangan RZ dan St. Dengan bersemangat, mereka bernyanyi seakan mewakili perasaan kesal, cemburu, dan kecewa mereka atas hubungan-hubungan mereka.
Sama dengan RZ, St pun seorang lesbian. Dia juga aktivis sebuah federasi yang mengadvokasi kaum LGBT. Dia berpacaran dengan Ip.
St punya kisah cinta dengan seorang lelaki, yang baginya tak memuaskan. Mantan kekasihnya itu sudah menikah beberapa tahun lalu. Mantan pacar berikutnya pun belum lama ini bertunangan. Dalam hubungannya dengan dua mantannya itu, St merasa hambar.
“Aku ngerasain hubungan sama laki-laki, ya udah gitu aja. Cuma ketika aku eksplorasi diri, dekat sama perempuan. Oh, (baru tahu) ini yang namanya jatuh cinta. Karena aku enggak pernah ngerasa kayak gini sebelumnya,” ujar St.
Menurut St, dirinya hanya ingin mendapat perlakuan yang spesial dan terbaik. Sewaktu berpacaran dengan laki-laki, St mengaku, dia kerap menjadi sosok yang selalu menerima.
“Aku orangnya suka banget memberi, apalagi kalau sudah sayang banget sama seseorang. Apapun yang bisa kulakukan untuk memudahkan atau menyenangkan dia, setidaknya aku akan lakuin, selama enggak berhalangan sama prioritas hidup aku lainnya, misal kerja atau keluarga,” kata St.
Penerimaan
Gambaran FZ dan kawan-kawannya, menyiratkan kehidupan mereka semakin terbuka dan leluasa. Hal ini disambut baik sosiolog dari Universitas Gadjah Mada Derajad S. Widhyharo.
Derajad mengatakan, kelompok LGBT bisa leluasa berkumpul di ruang publik lantaran warga kota sudah menyadari kedudukan, hak, dan kewajibannya. Namun, penerimaan untuk kelompok LGBT itu, menurut Derajad, baru terjadi dalam konteks perkotaan saja.
“Di perkotaan, kelompok LGBT lebih terbuka dan diterima karena pendidikan masyarakat sudah tinggi. Gaya hidup yang individual juga memungkinkan interaksi LGBT makin terbuka,” kata Derajad saat dihubungi, Selasa (29/1).
Oleh karena itu, Derajad mendorong agar desa atau kota yang sedang berkembang, tak lagi memarginalkan warganya. Termasuk kelompok LGBT.
Faktanya, kata dia, ada nilai dan norma sosial yang kerap menghambat pemenuhan hak kelompok-kelompok minoritas.
Sementara itu, Ketua Federasi Arus Pelangi Ryan Korbarri mengatakan, masih banyak sentimen negatif yang dilekatkan publik kepada kaum LGBT. Bahkan, dalam lingkup kecil keluarga, mereka menghadapi banyak risiko penolakan.
“Begitu juga di sekolah dan tempat kerja. Akibatnya, hak-hak LGBT sebagai warga negara belum dapat terpenuhi, seperti bekerja dan memperoleh pendidikan yang layak,” kata Ryan.