close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Gang Wayo menjadi terkenal setelah dipublikasikan sejumlah media sebagai kampung poligami pada 2017 lalu. Alinea.id/Manda Firmansyah.
icon caption
Gang Wayo menjadi terkenal setelah dipublikasikan sejumlah media sebagai kampung poligami pada 2017 lalu. Alinea.id/Manda Firmansyah.
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 10 Juni 2019 19:08

Kisah usang ‘kampung poligami’ di Sidoarjo

Diberitakan sejumlah media sebagai kampung poligami pada 2017, sebuah gang di Kabupaten Sidoarjo menjadi perbincangan.
swipe

Oh, Gang Wayo. Mas kebablasan jauh. Balik lagi hingga bertemu Masjid Al-Huda, warnanya biru,” tutur seorang lelaki paruh baya kepada reporter Alinea.id.

Sejatinya, tak ada plang Gang Wayo. Yang ada, Gang Masjid Al-Huda. Namun, orang-orang mengenalnya sebagai Gang Wayo. Gang ini ada di Desa Kedungbanteng, Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Setidaknya dua tahun belakangan, gang yang dilalui jalan alternatif Pasuruan dan Malang ini menjadi perbincangan lantaran beberapa media menyebutnya sebagai “kampung poligami”.

Perihal poligami

Di Indonesia, poligami—merujuk poligini, sistem pernikahan dengan seorang pria memiliki beberapa istri—menjadi perbincangan yang kontroversial.

Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah I (2014) menyebut, pada masa awal mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (lantas jadi Partai Nasional Indonesia/PNI), Sukarno berpihak pada Persatoean Poetri Indonesia yang menolak poligami. Meski pada akhirnya, sejarah mencatat, Bung Karno berubah sikapnya ketika menjadi presiden.

Pada 1920-an, muncul perbedaan pendapat masalah poligami antara Mohammad Natsir dari Jong Islamieten Bond dan Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dari Partai Sjarikat Islam, dengan Sukarno dari Perserikatan Nasional Indonesia.

“Perdebatan kemudian meluas menjadi acara debat antara organisasi wanita Sjarikat Perempoean Islam Indonesia (SPII) dengan Persatoean Poetri Indonesia serta Sarekat Madoera, terutama sekali mengenai poligami,” tulis Ahmad Mansur dalam bukunya.

Menurut Ahmad Mansur, HOS Tjokroaminoto menjelaskan, di dalam Islam poligami dibolehkan, tetapi tak mengharuskan berpoligami. Poligami, kata HOS Tjokroaminoto, merupakan salah satu upaya pencegahan pelacuran.

Sejarawan Merle Calvin Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern, 1200-2008 (2008) menulis, poligami tak pernah dipraktikkan secara luas di Indonesia dan tak disetujui pemerintah. Menurut Ricklefs, pemerintah menanggapi kasus poligami dengan menegaskan pelarangannya terhadap pegawai negeri sipil untuk beristri lebih dari satu.

Peraturan terkait poligami diatur negara dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut Nina Nurmila dan Linda Rae Bennett dalam tulisannya “Politik Seksual Poligami dalam Perkawinan di Indonesia” di buku Seksualitas di Indonesia: Politik Seksual, Kesehatan, Keragaman, dan Representasi (2015), undang-undang tersebut dibuat untuk membatasi praktik poligami bagi PNS, polisi, dan militer.

Pemerintah Orde Baru memandang poligami sebagai moralitas seksual yang menyimpang. Nina dan Linda menyebut, bagi PNS yang berani beristri lagi akan diganjar sanksi berupa pemecatan atau penurunan jabatan.

Kampung poligami hanya sebuah gang kecil dengan 15 kepala keluarga. Alinea.id/Manda Firmansyah.

Ganti nama

“Kampung poligami” yang dibicarakan di mana-mana, sesungguhnya sekadar gang kecil yang dihuni sekitar 15 kepala keluarga, yang tinggal di sekitar 10 rumah.

Cak No, seorang penjual es tebu di seberang gang mengatakan, plang gang tersebut sudah lama diganti. Sebelumnya tertulis Gang Wayo. Menurutnya, nama wayo berasal dari warga sekitar yang gemar berpoligami. Wayo sendiri diambil dari bahasa Jawa, wayuh, yang artinya beristri lebih dari satu.

Seorang pria paruh baya warga Gang Masjid Al-Huda, yang tak mau disebut namanya mengatakan, pelaku poligami sudah lama beranjak dari sini. Ia membenarkan, dahulu ada pelaku poligami yang kebetulan berkumpul di lingkungan tempat tinggalnya.

“Yang berpoligami ada yang orang sini, ada juga yang orang luar. Dan kebetulan berkumpul di sini. Tapi sekarang sudah tidak ada, ceritanya sudah habis,” tuturnya saat ditemui di Gang Masjid Al-Huda, Desa Kedungbanteng, Kabupaten Sidoarjo, Minggu (9/6).

Menurut dia, para pelaku poligami eksis sekitar tahun 1990-an. Nama Gang Wayo diganti menjadi Gang Masjid Al-Huda seiring dengan kepindahan warga yang berpoligami.

"Sebagian (orang) masih tahu dan sebagian tidak, akhirnya menyimpang (pemberitaannya)," ujarnya.

Situasi di Gang Masjid Al Huda, yang dahulu bernama Gang Wayo. Alinea.id/Manda Firmansyah.

Hanya bualan

Sri, seorang warga yang tinggal di ujung Gang Masjid Al-Huda menuturkan, istilah kampung poligami hanyalah rekayasa. Ia menyebut, istilah itu dibuat oleh orang yang ingin mengganggu kampungnya.

"Ini bukan kampung poligami. Begitulah, mereka buat nama sendiri," ujar Sri saat ditemui di Gang Masjid Al-Huda, Kabupaten Sidoarjo, Minggu (9/6).

Sri mengungkapkan, nama Gang Wayo yang dahulu terpampang dan dikaitkan dengan gemar berpoligami, sebenarnya hanya bualan ulah dari segelintir orang yang ingin membuat gaduh kampungnya. Menurut Sri, banyak orang di sekitar Gang Wayo dahulu gemar menggosipkan kampung poligami.

"Saya orang sini, setahu saya tidak ada yang poligami. Memang ada yang nikah dan ada yang tidak," tutur Sri.

Sri mengaku sebagai warga yang paling sepuh di lingkungannya. Ia menerangkan, sematan kampung poligami itu lantas tak sengaja mengundang media massa.

Bahkan, Sri membeberkan, ada narasumber palsu yang mengaku korban kekerasan dalam rumah tangga karena praktik poligami di Gang Wayo. Pengakuan narasumber itu kemudian dikutip banyak media. Ada pula narasumber yang mengaku-ngaku dipoligami dan masuk salah satu stasiun televisi.

Di dalam narasi di stasiun televisi itu disebutkan, di gang ini hampir semua warga memiliki pasangan hidup atau istri lebih dari satu. Bahkan, ada warga yang memiliki istri tujuh orang hingga dikenal sebagai kampung poligami di tahun 1980 hingga 1990-an.

Dikisahkan, narasumber itu menghidupi ketiga anaknya usai suaminya menikah lagi dengan perempuan tetangganya. Lalu, ia dikabarkan berprofesi sebagai penjual kopi dan mie instan selama sepuluh tahun, tak mau bercerai secara resmi melalui pengadulan agama, dan memilih mengikhlaskan diri meski bergelut dengan trauma.

"Makanya, saya tidak percaya. Itu syuting. Saya kasih tahu kamu agar tidak tertipu," ujar Sri.

Sri mengisahkan, tujuan semula menyematkan wayo di gang ini agar anak muda segera menikah. Sebab, kata dia, anak muda di lingkungannya banyak yang menghabiskan waktu mengembara mencari cinta.

"Gara-gara anak mudanya enggak nikah-nikah, geregetan, jadinya dinamakan Gang Wayo. Biar mereka sadar," ujar Sri.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan