close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Muchlis, salah satu orang utan penghuni Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Hewan ini terancam punah, karena kehilangan habitat dan perburuan liar. /Alinea.id/Laila Ramdhini.
icon caption
Muchlis, salah satu orang utan penghuni Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Hewan ini terancam punah, karena kehilangan habitat dan perburuan liar. /Alinea.id/Laila Ramdhini.
Sosial dan Gaya Hidup - Satwa
Sabtu, 24 Agustus 2024 06:01

Kolaborasi peneliti dan petugas karantina satwa demi cegah penyelundupan

Pengetahuan soal satwa liar langka dan endemik perlu ditambah demi cegah penyelundupan ke luar negeri.
swipe

Beberapa waktu belakangan, penyelundupan satwa liar langka dan endemik asal Indonesia ke luar negeri kembali muncul. Misalnya, pada 4 Juli 2024 Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten bekerja sama dengan Aviation Security (Avsec) Bandara dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jakarta menggagalkan penyelundupan ekspor dua ekor burung cenderawasih dan satu ekor berang-berang dalam barang bawaan penumpang tujuan India.

Lalu, pada 29 Juli dan 1 Agustus 2024 Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta kembali menggagalkan upaya penyelundupan 56 ekor satwa langka ke India. Satwa yang berusaha diselundupkan itu terdiri dari 50 burung endemik, lima primata, dan satu marsupial.

Dikutip dari Antara, Kepala Kantor Bea Cukai Soekarno-Hatta, Gatot Sugeng Wibowo dalam jumpa pers di Tangerang, Banten, Rabu (7/8) mengatakan, para tersangka berjumlah 10 orang yang semuanya warga negara India diperintah seorang pengendali di India untuk membawa koper berisi puluhan satwa langka. Mereka diiming-imingi untuk liburan ke Indonesia dengan diberikan upah sebesar 10.000 Rupee atau sekitar Rp2 juta. Gatot menjelaskan, India adalah salah satu negara perdagangan satwa langka yang tinggi.

“Di sana satwa kita ini sangat laku, jadi mereka tertarik sekali terhadap satwa-satwa langka Indonesia dan Asia Tenggara,” ujar Gatot, dilansir dari Antara.

Menanggapi hal itu, Profesor Riset Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ibnu Maryanto mengungkapkan, persoalan penyelundupan satwa liar langka dan endemik Indonesia ke luar negeri lebih buruk dari rentetan kasus yang terungkap di Bandara Soekarno-Hatta.

Dia mengatakan, penyelundupan tersebut terjadi nyaris setiap waktu, melalui jalur “setengah resmi” pada Badan Karantina Indonesia di banyak bandar udara. Ibnu menuturkan, banyak satwa liar langka dan endemik Indonesia yang lolos diselundupkan ke luar negeri karena ketidaktahuan petugas karantina soal jenis hewan langka.

“Sebab keanekaragaman fauna kita itu spesies tertentu bedanya tipis dan sulit diketahui oleh orang awam yang tidak memiliki kepakaran,” ujar Ibnu kepada Alinea.id, Kamis (22/8).

“Tapi petugas karantina bisa tidak tahu kalau hewan yang nyaris sama dengan spesies lainnya, sebenarnya hewan endemik yang langka.”

Ibnu mengatakan, satwa langka dan endemik Indonesia sering diselundupkan ke luar negeri untuk kepentingan koleksi dan obat-obatan. Selain India, negara tujuan penyelundupan, seperti China dan Kamboja hanya tempat transit untuk disalurkan ke pasar dunia.

“Sebagai contoh, serangga kita sering dijual (di pasar) gelap China, digunakan sebagai bahan obat,” tutur dia.

“Banyak serangga kita yang dibawa ke sana karena banyak (orang) yang enggak memahami, tahunya itu sampah saja. Lalu, hewan-hewan langka Indonesia itu sebenarnya banyak yang mau (dibawa) ke Amerika atau Eropa, penyelundup itu melalui Kamboja.”

Ibnu bercerita, sewaktu masih di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dia banyak bersinggungan dengan masalah penyelundupan satwa langka dan endemik Indonesia. Ketika itu, dia membantu petugas karantina. Dari pengalamannya tersebut, dia melihat petugas karantina sangat membutuhkan bantuan kepakaran dari peneliti satwa dan biologi untuk mengidentifikasi satwa langka dan endemik.

“Semestinya mereka koordinasi dengan kami. Tapi, kondisi semenjak LIPI di BRIN itu kacau-balau,” ujar dia.

“Sebelum dilebur (LIPI ke BRIN), ada koordinasi dengan pihak karantina hewan. Kami sering diminta bantu kepakarannya, seperti saat di pengadilan. Semenjak BRIN, sudah tidak.”

Lebih lanjut, Ibnu menjelaskan, hubungan periset satwa dengan petugas karantina yang semakin berjarak pasca-peleburan lembaga riset menjadi BRIN, telah membuat pencegahan penyelundupan satwa terabaikan. Padahal, penyelundupan satwa sangat sering terjadi dan lolos dari jalur setengah resmi saat karantina.

“Biasanya kalau resmi melalui perizinan. Kalau (hewan) darat itu (perizinan ke) Kementerian (Lingkungan Hidup dan) Kehutanan, kalau hewan air itu ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kemudian ke karantina,” tutur dia.

“Umumnya, (penyelundupan) dimasukkan dalam kotak-kotak yang disamarkan untuk mengelabui petugas Bea Cukai dan petugas karantina di bandara.”

Maka dari itu, Ibnu menilai, perlu ada kerja sama penindakan aparat dan keilmuwan peneliti untuk mencegah penyelundupan satwa. Pelatihan dengan melibatkan peneliti juga perlu diberikan kepada petugas karantina.

“Karena secara morfologi, satwa itu sulit dibedakan bagi orang awam yang tidak punya kepakaran,” ujar dia.

Terlebih lagi, perkembangan keilmuwan di bidang satwa yang sangat cepat, bisa membuat orang awam atau petugas karantina keliru saat mengidentifikasi satwa langka dan endemik. Misalnya, nama latin satwa bisa berganti dan sering kali terjadi kekeliruan dianggap hewan yang boleh dibawa ke luar negeri. Padahal, biarpun wujud mirip, ternyata spesies satwa yang berbeda.

“Sering pengekspor menggunakan nama samaran atau sinonim. Pakai nama yang mirip, padahal itu jenis yang mirip, tapi langka,” kata Ibnu.

“Jadi, namanya sudah diubah. Tergantung dari satwa, rata-rata setahun bisa dua kali berubah. Jadi, cepat sekali.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan