close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi mikrofon stand up comedy./Foto Tumisu/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi mikrofon stand up comedy./Foto Tumisu/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 08 Januari 2024 18:00

Komedian dan batasan-batasan dalam lelucon

Beberapa komedian barangkali percaya, ada batasan mengenai apa yang layak dijadikan lelucon.
swipe

Komedian Jarwo Kwat menjadi sorotan usai videonya yang tengah memeluk streamer dan seleb TikTok Catherine Alicia alias Catheez di acara sketsa komedi sebuah kanal YouTube viral di media sosial. Dalam video itu, Jarwo dikisahkan berperan sebagai ayah yang sudah lama tak bertemu dengan anaknya, Catheez. Akibat lawakan itu, Instagram Jarwo diserbu hujatan warganet, yang menilai adegan itu tak pantas.

Jarwo bukan satu-satunya komedian yang pernah “bermasalah” karena lawakannya. Desember 2023 lalu, komika asal Lampung, Aulia Rakhman ditetapkan sebagai tersangka karena kasus dugaan penistaan agama. Ia “tersandung” materi stand up comedy-nya sendiri, yang menyinggung nama Muhammad dalam sebuah acara salah satu calon presiden (capres).

Beberapa komedian barangkali percaya, ada batasan mengenai apa yang layak dijadikan lelucon. Ada pula yang menganggap, menghargai kebebasan berpendapat menjadikan tidak ada topik lelucon yang dianggap tabu.

Menurut the Guilfordian, resistensi terhadap komedi ofensif—yang membicarakan politik, gender, ras, agama, atau seksualitas—terjadi seiring meningkatnya komunikasi melalui internet. The Guilfordian menulis, sering kali bukan orang-orang yang menonton acara komedi dan mendengar lelucon secara langsung yang membuat keributan terkait lelucon tersebut, melainkan orang-orang di internet yang menunggu sesuatu untuk diperdebatkan.

Padahal, sebut the Guilfordian, lelucon bertujuan membuat orang tertawa. Sedangkan komedian membuat lelucon karena itu tugas mereka.

“Dalam hal ini, audiens perlu memiliki pemahaman yang lebih baik tentang apa yang mereka hadapi. Jika Anda tidak ingin mendengar lelucon tertentu, jangan didengar,” tulis the Gulfordian.

“Komedi sebagian besar bergantung pada kebijaksanaan penontonnya karena untuk itulah komedi itu diciptakan.”

Meski demikian, tulis the Guilfordian, komedian harus menyadari ada batasan-batasan atau prinsip moral terhadap lelucon-lelucon itu. Lelucon tentang agama, ras, dan seksualitas memang sangat sensitif, tetapi tergantung pula pada tingkat “keparahan” lelucon dan sudut pandang penonton.

“Beberapa lelucon mungkin tampak tidak pantas dari satu sudut pandang, namun tidak dari sudut pandang lain,” tulis the Gulfordian.

Hal itu, disebut Odyssey sebagai standar ganda. Disebut Odyssey, jika kita menertawakan lelucon yang mungkin menyinggung perasaan orang lain, namun tersinggung pula karena lelucon yang berkaitan dengan kita atau pengalaman kita, maka keberatan kita tidak berlaku.

“Ini adalah semacam disonansi kognitif, di mana seseorang dapat memiliki gagasan yang berlawanan bahwa hal ini menyinggung perasaan saya, jadi tidak boleh dijadikan lelucon,” tulis Odyssey.

“Dan, hal ini mungkin menyinggung perasaan orang lain, namun tidak menyinggung perasaan saya, jadi tidak apa-apa.”

Dikutip dari Odyssey, kemungkinan faktor penentu boleh atau tidaknya suatu topik sensitif digunakan dalam komedi terkait dengan niatnya. Bila komedian tersebut bersikap menunukkan kebencian yang jelas terhadap korban tragedi tertentu atau pengalaman sensitif lainnya, maka jelas lelucon itu tak diperbolehkan.

“Dalam kasus seperti itu, maksud para komedian kemungkinan besar bukanlah untuk melucu, melainkan mengkritik sesuatu yang mereka rasa lebih rendah dari diri mereka sendiri,” tulis Odyssey.

Di sisi lain, peneliti di Centre for Comedy Studies Research University of Sydney dan Brunel University, Jessica Milner Davis mengatakan, humor mirip dengan tenaga nuklir. “Anda bisa menggunakannya untuk kebaikan atau secara agresif untuk menyakiti orang lain,” ujar Milner Davis, seperti dikutip dari ABC.

Milner Davis percaya, humor yang menyakiti hati orang sebenarnya dapat memberikan dampak positif. “Dalam kelompok kecil, bercanda tentang orang-orang di luar kelompok, sebenarnya mempunyai efek yang sangat mengikat,” katanya.

“Itu contoh humor yang digunakan untuk tujuan buruk, tapi di dalam tujuan buruk itu ada tujuan yang baik, ada keterikatan yang bisa bermanfaat.”

Ia menekankan, para komedian perlu bertanggung jawab atas dampak buruk yang ditimbulkan oleh humor mereka, terutama ketika ada kelompok rentan yang disinggung. “Saya tidak berpikir materi (humor) apa pun dilarang, namun materi tersebut harus didekati dengan tingkat keamanan budaya dan kecerdasan,” kata Milner Davis.

Sementara itu, komedian dan podcaster dari Los Angeles, James D. Creviston, dalam Comedypreneur mengatakan, hal utama yang perlu dipertimbangkan saat menulis lelucon adalah audiens kita. Menurutnya, penonton juga akan menentukan seberapa “bersih” komedi yang dibawakan.

“Meskipun topik sumpah serapah dan seksual jelas bukan hal yang tabu dalam komedi, seorang komedian yang cerdas tahu bagaimana memanfaatkannya untuk keuntungan mereka,” tulis Creviston.

Ia mengakui, penonton cenderung menyukai lelucon rasis. Namun, hal itu tergantung pada cara membawakan lelucon, penonton, dan komediannya. Creviston mengingatkan, seperti halnya unggahan di media sosial, lelucon tak akan pernah hilang. Komedian yang menceritakan lelucon dengan sembarangan, terkadang harus menanggung akibatnya, bahkan bertahun-tahun kemudian.

Terlepas dari itu, Odyssey menulis, jika kita tersinggung oleh sebuah lelucon, kita selalu bisa berhenti menontonnya. Jika menyangut komedi yang melampaui batas-batas atau kontroversial, pertimbangkan maksud komedian tersebut.

“Dan pahami, meskipun Anda mungkin merasa tidak bisa menikmati lelucon tersebut, bukan berarti lelucon tersebut pada dasarkan salah. Toleransi adalah kuncinya,” tulis Odyssey.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan