close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Penggunaan alat-alat semacam jimat sebagai bentuk budaya populer di masyarakat. Hal itu merupakan sebuah cara untuk menutupi rasa minder atau lemahnya iman seseorang kepada kekuatan Tuhan./Shutterstocks
icon caption
Penggunaan alat-alat semacam jimat sebagai bentuk budaya populer di masyarakat. Hal itu merupakan sebuah cara untuk menutupi rasa minder atau lemahnya iman seseorang kepada kekuatan Tuhan./Shutterstocks
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 12 November 2019 15:18

Komodifikasi jimat dianggap sumber pertolongan

Penjualan jimat di lapak kawasan Jatinegara patut diwaspadai sebagai bentuk komodifikasi.
swipe

Profesi Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih menjadi primadona warga Indonesia. Menjadi PNS dianggap memberikan jaminan untuk masa depan.

Benefit yang diterima PNS seperti: gaji setiap bulan, jenjang karir, jaminan saat masa tua dan tunjangan lain, dinilai menarik perhatian masyarakat. 

Walhasil, persaingan PNS terbilang ketat. Segala usaha pun dilakukan calon PNS agar lolos ujian, mulai dari berbuat curang hingga menggunakan jimat yang diyakini membawa keberuntungan bagi pemiliknya. 

Menjelang penyelenggaraan tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2019, tak sedikit anggota masyarakat calon peserta merasa waswas. Sejumlah sarana yang dipercaya memberi pertolongan kembali marak di pasaran. 

Sebagian kalangan masyarakat masih memiliki keyakinan pada sejumlah sarana atau alat dan perkakas yang bisa membantu memberi keberuntungan.

Dalam keyakinan penganut Islam tradisional, benda-benda yang bersifat memberi tuah dipercaya menjadi manifestasi kehadiran Tuhan atau Allah. 

Padahal hal tersebut dinilai pemuka agama bertentangan dengan kepercayaan agama. Pengurus Lembaga Seni dan Budaya Muslimin (Lesbumi) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasan Basri mencermati, ada konsep tajalli sebagai landasan keberadaan jimat yang dipercayai oleh sebagian penganut Islam tradisional.

“Bagi para tokoh yang mencapai tingkat spiritual tinggi, benda-benda tertentu itu dialami sebagai tanda atau manifestasi bahwa Allah ada di dalam segala sesuatu. Segala sesuatu ada di dalam Allah,” ujar Hasan kepada Alinea.id.

Menurut Hasan, penggunaan sarana bantu seperti: jimat berakar pula dari ajaran tasawuf. Hal ini juga diterapkan dalam taktik pengobatan alternatif yang belakangan juga menjadi tren. 

Namun, bagi penganut muslim modern, hal itu justru dipandang bertentangan dengan kebenaran ajaran agama.

“Bagi penganut Islam belakangan atau kanan, itu dianggap bid’ah, syirik, karena bertentangan dengan iman,” kata Hasan.

Sebagaimana hal-hal penting yang berkenaan dengan kebutuhan mendasar manusia, seperti: kesehatan, peruntungan, atau jodoh, peluang memiliki karier yang baik menjadi alasan sebagian pihak menggunakan jimat. Tak ayal, sejumlah lapak atau kios makin banyak menjajakan jimat.

Maraknya penjualan jimat di beberapa lapak kecil seperti di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur dinilai menjadi wujud dari pemanfaatan bisnis dari komodifikasi agama. Hal ini tak ubahnya dengan praktik pesugihan, bantuan kemudahan mendapatkan jodoh, hingga bantuan mistik untuk mengatasi kesulitan ekonomi.

Menurut Hasan, hal tersebut patut diwaspadai dampaknya sebagai salah satu bentuk komodifikasi.

“Mungkin lowongan CPNS ini jadi harapan banyak orang, maka ada pergeseran penggunaan jimat sebagai komodifikasi. Ini tak lepas dari kebutuhan masyarakat urban yang ingin cepat atau instan dalam memperoleh sesuatu,” ucapnya.

Hasan yang juga kiai di Pesantren Kali Opak, Piyungan, Bantul, Yogyakarta ini menegaskan, jual-beli terkait penggunaan jimat ini sulit dibatasi praktiknya di masyarakat. Sebab, menurutnya, kepercayaan setiap orang terhadap penggunaan jimat bersifat sangat pribadi. Maka, baik-buruknya pun tak bisa hanya diukur dari pertimbangan rasionalitas.

“Ini tak ada kaitannya dengan rasionalitas masyarakat. Tapi penggunaan jimat itu tergantung pada orientasinya,” katanya.

Hasan mengingatkan, praktik serupa itu sudah meluas di kota-kota besar dengan pelanggan utama dari kalangan kelas menengah. Masyarakat diharapkan tidak menggantungkan kepercayaan pada sarana tersebut.

“Cara seperti itu dianggap lebih instan dan lebih cepat daripada teknologi digital. Jangan dikira cara ini dipakai oleh orang di pedesaan, karena kelas menengah urban malah terdorong ingin instan,” kata dia.

Dia menyarankan pentingnya kembali memahami ajaran agama dengan benar agar terhindar dari dampak buruk penipuan.

“Belajarlah kembali tradisi Islam yang benar, sehingga tidak salah masuk kamar dukun. Jangan sampai tertipu lalu membayar sekian juta rupiah,” katanya.
 

Profesi Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih menjadi primadona warga Indonesia. Menjadi PNS dianggap memberikan jaminan untuk masa depan.

Benefit yang diterima PNS seperti: gaji setiap bulan, jenjang karir, jaminan saat masa tua dan tunjangan lain, dinilai menarik perhatian masyarakat. 

Walhasil, persaingan PNS terbilang ketat. Segala usaha pun dilakukan calon PNS agar lolos ujian, mulai dari berbuat curang hingga menggunakan jimat yang diyakini membawa keberuntungan bagi pemiliknya. 

Menjelang penyelenggaraan tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2019, tak sedikit anggota masyarakat calon peserta merasa waswas. Sejumlah sarana yang dipercaya memberi pertolongan kembali marak di pasaran. 

Sebagian kalangan masyarakat masih memiliki keyakinan pada sejumlah sarana atau alat dan perkakas yang bisa membantu memberi keberuntungan.

Dalam keyakinan penganut Islam tradisional, benda-benda yang bersifat memberi tuah dipercaya menjadi manifestasi kehadiran Tuhan atau Allah. 

Padahal hal tersebut dinilai pemuka agama bertentangan dengan kepercayaan agama. Pengurus Lembaga Seni dan Budaya Muslimin (Lesbumi) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasan Basri mencermati, ada konsep tajalli sebagai landasan keberadaan jimat yang dipercayai oleh sebagian penganut Islam tradisional.

“Bagi para tokoh yang mencapai tingkat spiritual tinggi, benda-benda tertentu itu dialami sebagai tanda atau manifestasi bahwa Allah ada di dalam segala sesuatu. Segala sesuatu ada di dalam Allah,” ujar Hasan kepada Alinea.id.

Menurut Hasan, penggunaan sarana bantu seperti: jimat berakar pula dari ajaran tasawuf. Hal ini juga diterapkan dalam taktik pengobatan alternatif yang belakangan juga menjadi tren. 

Namun, bagi penganut muslim modern, hal itu justru dipandang bertentangan dengan kebenaran ajaran agama.

“Bagi penganut Islam belakangan atau kanan, itu dianggap bid’ah, syirik, karena bertentangan dengan iman,” kata Hasan.

Sebagaimana hal-hal penting yang berkenaan dengan kebutuhan mendasar manusia, seperti: kesehatan, peruntungan, atau jodoh, peluang memiliki karier yang baik menjadi alasan sebagian pihak menggunakan jimat. Tak ayal, sejumlah lapak atau kios makin banyak menjajakan jimat.

Maraknya penjualan jimat di beberapa lapak kecil seperti di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur dinilai menjadi wujud dari pemanfaatan bisnis dari komodifikasi agama. Hal ini tak ubahnya dengan praktik pesugihan, bantuan kemudahan mendapatkan jodoh, hingga bantuan mistik untuk mengatasi kesulitan ekonomi.

Menurut Hasan, hal tersebut patut diwaspadai dampaknya sebagai salah satu bentuk komodifikasi.

“Mungkin lowongan CPNS ini jadi harapan banyak orang, maka ada pergeseran penggunaan jimat sebagai komodifikasi. Ini tak lepas dari kebutuhan masyarakat urban yang ingin cepat atau instan dalam memperoleh sesuatu,” ucapnya.

Hasan yang juga kiai di Pesantren Kali Opak, Piyungan, Bantul, Yogyakarta ini menegaskan, jual-beli terkait penggunaan jimat ini sulit dibatasi praktiknya di masyarakat. Sebab, menurutnya, kepercayaan setiap orang terhadap penggunaan jimat bersifat sangat pribadi. Maka, baik-buruknya pun tak bisa hanya diukur dari pertimbangan rasionalitas.

“Ini tak ada kaitannya dengan rasionalitas masyarakat. Tapi penggunaan jimat itu tergantung pada orientasinya,” katanya.

Hasan mengingatkan, praktik serupa itu sudah meluas di kota-kota besar dengan pelanggan utama dari kalangan kelas menengah. Masyarakat diharapkan tidak menggantungkan kepercayaan pada sarana tersebut.

“Cara seperti itu dianggap lebih instan dan lebih cepat daripada teknologi digital. Jangan dikira cara ini dipakai oleh orang di pedesaan, karena kelas menengah urban malah terdorong ingin instan,” kata dia.

Dia menyarankan pentingnya kembali memahami ajaran agama dengan benar agar terhindar dari dampak buruk penipuan.

“Belajarlah kembali tradisi Islam yang benar, sehingga tidak salah masuk kamar dukun. Jangan sampai tertipu lalu membayar sekian juta rupiah,” katanya.
 

Bantuan Terapi Psikologis

Senada dengan itu, rohaniwan Katolik Josafat Kokoh Prihatanto memandang penggunaan alat-alat semacam jimat sebagai bentuk budaya populer di masyarakat. Hal itu merupakan sebuah cara untuk menutupi rasa minder atau lemahnya iman seseorang kepada kekuatan Tuhan.

“Masyarakat yang begitu (menggunakan jimat) harus diberitahu pelan-pelan. Misalnya dia nggak pede, cobalah konsultasi ke psikolog untuk terapi psikologis. Apakah dia punya luka batin?” ucap Josafat. 

Josafat menyebut ancaman bahaya dari pengaruh dari penggunaan jimat. Hal ini khususnya bila manfaat jimat tidak memberikan hasil yang nyata bagi orang yang memakainya. Dia berpendapat jimat dapat mengundang hadirnya kekuatan jahat.

“Kalau pengaruh jimat malah membuat keadaan buruk bagi pemakainya, itu semestinya bisa dicegah. Hanya Tuhan satu-satunya sumber pertolongan yang mahakuasa,” katanya

img
Robertus Rony Setiawan
Reporter
img
Mona Tobing
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan