Kopi rasa alkohol, strategi bertahan bisnis kedai kopi
Hidup bersosial di perkotaan tidak lepas dengan nongkrong di kedai kopi. Kebiasaan minum kopi pun menjadi gaya hidup penduduk dengan kalangan milenial sebagai konsumen utamanya.
Sejak matahari terbit sampai malam datang, kedai kopi seakan tidak pernah istirahat. Selalu ada kesibukan di dalamnya yang berasal dari barista, pegawai kedai hingga para pengunjung yang ingin ngopi.
Misalnya saja di sebuah kedai kopi di kawasan Granad Square, Serpong, Tangerang Selatan. Kerumunan terlihat dari sekumpulan pemuda yang duduk mengitari satu meja.
Satu-dua cangkir kopi terhidang di hadapan mereka, sesuai pesanan masing-masing. Di antara barisan cangkir kopi ada pula satu papan catur dan bidak-bidaknya turut tergelar di situ.
Yan Dikara, pemilik kedai kopi itu bercerita awal mulanya terjun di bisnis kopi. Ia mendirikan kedai yang dinamai Kararopi pada tahun 2015.
Kafe tersebut dikemas sebagai tempat nongkrong yang bersisian dengan kios-kios lain di sekitarnya. Pengunjung mulai memadati kedai itu pada malam hari.
“Kami buka dari jam 3 sore. Mulai ramai waktu malam. Tutup jam 11 malam, tapi kadang jam 12 malam baru tutup. Ya, namanya pengunjung nongkrong ‘kan susah dipastikan waktunya,” kata Yan Dikara.
Yan mengatakan, bisnis kedai kopi dia jalankan lewat pembelajaran secara semi-otodidak. Dia mula-mula mengikuti kursus barista singkat selama lima hari pada awal 2015 yang diadakan oleh Università del caffè, sebuah divisi pendidikan barista dari salah satu kedai kopi di Jakarta.
Setelah itu, pengetahuan, teknik, dan keterampilan mengolah minuman kopi dia kembangkan secara mandiri. Nama Kararopi dipilih Yan dengan meminjam tuturan khas masyarakat Sunda di sekitar Bogor saat menjajakan panganan.
“Kalau perjalanan ke Bogor, di bis gue sering dengar penjual tahu, ‘Tararahu, tararahu’, atau ‘Kararacang, kararacang’. Gue milih kararopi, kararopi,” ucap lelaki keturunan Jawa-Sunda ini.
Hingga kini, Kararopi menjadi bisnis kedai kopi yang menawarkan beragam menu kopi. Penikmatnya dari beragam kalangan, sebagian besar mahasiswa dan pekerja kantoran.
Kedai kopi yang melayani pesanan kopi secara take away juga tidak kalah ramainya. Kedai kopi yang berlokasi sekitar 200 meter ke arah selatan dari gedung DPR-MPR RI, Senayan, Jakarta terlihat ramai dengan ruangan berukuran sempit berukuran 3 x 4 meter.
Dua pelayan kedai Kopi Soe melayani konsumen yang umumnya memesan via layanan daring. Satu demi satu pengemudi ojek daring datang membeli menu minuman kopi yang dipesan oleh pelanggannya.
Gambaran ini berbeda dari Kararopi yang menyediakan ruang jembar untuk pengunjung nongkrong sambil menikmati kopi. Memang, Kopi Soe cabang Palmerah ditujukan untuk melayani pesanan secara daring, tapi tingkat keramaiannya juga tidak kalah dengan kedai kopi lain.
“Kita memang melayani buat pemesanan take away,” kata Arif, seorang pelayan kedai Kopi Soe cabang Palmerah, Selasa lalu (16/7). Kopi Soe Palmerah beroperasi pukul 07.00–19.00 WIB.
Arif mengatakan, dalam sehari ketika akhir pekan atau hari libur, pemesan menu Kopi Soe via layanan daring dapat mencapai 500 cup. Sementara di hari biasa, separuhnya, sekitar 250 cangkir dalam sehari.
Kedai Kopi Soe berdiri pada akhir 2017 dengan dua gerai pertama di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan dan Menteng, Jakarta Pusat. Kini, Kopi Soe memiliki puluhan cabang di kota lain, seperti Bogor, Bekasi, Tangerang, hingga Palembang, Surabaya, Banjarmasin, Bandung, dan Batam.
Dalam catatan lembaga riset pasar Euromonitor, pada 2012–2016, terdapat 1.083 gerai kedai kopi di Indonesia. Sebagian besar kedai, baik yang artisan ataupun jejaring, terkonsentrasi di Jakarta.
Hidup bersosial di perkotaan tidak lepas dengan nongkrong di kedai kopi. Kebiasaan minum kopi pun menjadi gaya hidup penduduk dengan kalangan milenial sebagai konsumen utamanya.
Sejak matahari terbit sampai malam datang, kedai kopi seakan tidak pernah istirahat. Selalu ada kesibukan di dalamnya yang berasal dari barista, pegawai kedai hingga para pengunjung yang ingin ngopi.
Misalnya saja di sebuah kedai kopi di kawasan Granad Square, Serpong, Tangerang Selatan. Kerumunan terlihat dari sekumpulan pemuda yang duduk mengitari satu meja.
Satu-dua cangkir kopi terhidang di hadapan mereka, sesuai pesanan masing-masing. Di antara barisan cangkir kopi ada pula satu papan catur dan bidak-bidaknya turut tergelar di situ.
Yan Dikara, pemilik kedai kopi itu bercerita awal mulanya terjun di bisnis kopi. Ia mendirikan kedai yang dinamai Kararopi pada tahun 2015.
Kafe tersebut dikemas sebagai tempat nongkrong yang bersisian dengan kios-kios lain di sekitarnya. Pengunjung mulai memadati kedai itu pada malam hari.
“Kami buka dari jam 3 sore. Mulai ramai waktu malam. Tutup jam 11 malam, tapi kadang jam 12 malam baru tutup. Ya, namanya pengunjung nongkrong ‘kan susah dipastikan waktunya,” kata Yan Dikara.
Yan mengatakan, bisnis kedai kopi dia jalankan lewat pembelajaran secara semi-otodidak. Dia mula-mula mengikuti kursus barista singkat selama lima hari pada awal 2015 yang diadakan oleh Università del caffè, sebuah divisi pendidikan barista dari salah satu kedai kopi di Jakarta.
Setelah itu, pengetahuan, teknik, dan keterampilan mengolah minuman kopi dia kembangkan secara mandiri. Nama Kararopi dipilih Yan dengan meminjam tuturan khas masyarakat Sunda di sekitar Bogor saat menjajakan panganan.
“Kalau perjalanan ke Bogor, di bis gue sering dengar penjual tahu, ‘Tararahu, tararahu’, atau ‘Kararacang, kararacang’. Gue milih kararopi, kararopi,” ucap lelaki keturunan Jawa-Sunda ini.
Hingga kini, Kararopi menjadi bisnis kedai kopi yang menawarkan beragam menu kopi. Penikmatnya dari beragam kalangan, sebagian besar mahasiswa dan pekerja kantoran.
Kedai kopi yang melayani pesanan kopi secara take away juga tidak kalah ramainya. Kedai kopi yang berlokasi sekitar 200 meter ke arah selatan dari gedung DPR-MPR RI, Senayan, Jakarta terlihat ramai dengan ruangan berukuran sempit berukuran 3 x 4 meter.
Dua pelayan kedai Kopi Soe melayani konsumen yang umumnya memesan via layanan daring. Satu demi satu pengemudi ojek daring datang membeli menu minuman kopi yang dipesan oleh pelanggannya.
Gambaran ini berbeda dari Kararopi yang menyediakan ruang jembar untuk pengunjung nongkrong sambil menikmati kopi. Memang, Kopi Soe cabang Palmerah ditujukan untuk melayani pesanan secara daring, tapi tingkat keramaiannya juga tidak kalah dengan kedai kopi lain.
“Kita memang melayani buat pemesanan take away,” kata Arif, seorang pelayan kedai Kopi Soe cabang Palmerah, Selasa lalu (16/7). Kopi Soe Palmerah beroperasi pukul 07.00–19.00 WIB.
Arif mengatakan, dalam sehari ketika akhir pekan atau hari libur, pemesan menu Kopi Soe via layanan daring dapat mencapai 500 cup. Sementara di hari biasa, separuhnya, sekitar 250 cangkir dalam sehari.
Kedai Kopi Soe berdiri pada akhir 2017 dengan dua gerai pertama di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan dan Menteng, Jakarta Pusat. Kini, Kopi Soe memiliki puluhan cabang di kota lain, seperti Bogor, Bekasi, Tangerang, hingga Palembang, Surabaya, Banjarmasin, Bandung, dan Batam.
Dalam catatan lembaga riset pasar Euromonitor, pada 2012–2016, terdapat 1.083 gerai kedai kopi di Indonesia. Sebagian besar kedai, baik yang artisan ataupun jejaring, terkonsentrasi di Jakarta.
Campuran rum
Seiring waktu, Yan mengungkapkan pertumbuhan pesat bisnis kedai kopi harus disiasati oleh pelaku bisnis kopi. Cara Yan adalah dengan mengembangkan strategi pemasaran dan produksi menu pilihan dan khas di kedai kopinya. Ada beberapa menu minuman kopi unggulan yang dia tawarkan. Dua di antaranya adalah Kopi Anti Peluru dan El Capitano.
Menurut Yan, sebagai barista dia secara ajek mencipta menu-menu kopi kreasi baru. Selain menjadi bagian dari kesenangannya dalam menciptakan kekhasan kafenya dari kedai kopi lain, mencipta menu adalah filosofi dasar bagi seorang barista.
“Barista itu bukan pelayan. Dia membuat sesuatu, berkreasi dan membuat menu. Kalau cuma kerja di kedai dan bikin kopi itu namanya cuma tukang seduh,” ucap Yan.
Penamaan menu unggulan Kararopi, kata Yan, diadaptasi dari menu kopi luar. Kopi Anti Peluru, misalnya, terinspirasi dari Bulletproof Coffee di negara-negara Eropa. Selain kopi robusta, Kopi Anti Peluru juga memiliki tambahan mentega cair, santan, dan gula aren.
Dalam sejarahnya, Bulletproof coffee itu diciptakan, untuk anak2 pesepeda Fixie.
“Jadi sebelum mereka sepedaan, minum itu supaya ada energi lebih buat mereka gowes,” ucapnya.
Bagi peminumnya, kata Yan, Kopi Anti Peluru memberikan tambahan energi. Dengan rasa dan komposisi bahan serupa Bulletproof Coffee, menu ini cocok untuk konsumen yang membutuhkan tambahan tenaga.
Adapun El Capitano yang menjadi menu favorit dan paling diminati pelanggan Kararopi mengandung jamaican rum dengan kadar alkohol yang cukup tinggi. Dalam segelas kopi El Capitano 250 ml, terdapat kandungan kopi robusta, coklat cair, jamaican rum, susu kental manis, sedikit krimer, dan sedikit gula pasir. El Capitano juga tersaji dalam kondisi dingin beserta tambahan es batu di dalamnya.
Yan mengakui jamaican rum yang dipakainya memiliki kandungan alkohol yang sedikit lebih tinggi dibandingkan rum perisa biasa.
Kalau rum perisa itu kadar alkoholnya tidak setinggi jamaican rum. Meski demikian, setelah diolah menjadi minuman El Capitano, jamaican rum tak memabukkan peminumnya.
“Pelanggan menilai rasa El Capitano ini unik, tapi nggak bikin mabuk. Efeknya cuma euforia sesaat, setelah minum jadi lebih semangat pas ngobrol,” katanya.
Sambil berbincang dengan Yan, Alinea.id sempat mencoba segelas El Capitano. Setelah tiga teguk, kurang dari setengah jam badan terasa menghangat.
Selain berbasis pengetahuan, pengalaman, serta kepekaan rasa dan selera, Yan mengatakan dia kerap mencoba-coba membuat menu dengan beragam komposisi. Sebelumnya, dia membaca buku atau melihat contoh cara membuat menu kreasi lewat video-video di Youtube.
“Kalau lu belum ciptain menu kreasi, lu belum sah jadi barista,” tutur dia.
Sebelum berlaku seperti sekarang, El Capitano menggunakan campuran minuman Tequila dan dengan gula aren. Dengan alkohol yang tinggi dan harga yang lebih mahal, Yan beralasan menggantinya dengan jamaican rum.
“Kalau pakai Tequila itu bahaya, minum dua gelas bisa mabuk. Mahal juga, belinya sulit,” ujarnya.
Cukup merogoh kocek Rp30 ribu, pelanggan sudah dapat menikmati segelas El Capitano. Pengembangan kopi kreasi dengan penamaan menu yang unik, kata Yan, merupakan bagian dari strategi menarik minat konsumen.
“Ketika nama menu unik, ada filosofi di baliknya, ada sesuatu hal yang menarik orang dan menimbulkan komunikasi dengan pengunjung,” tuturnya.
Lalu, mengapa dinamai El Capitano? Yan mengatakan El Capitano bisa menimbulkan perasaan sedikit mabuk, terutama bagi orang tertentu yang cukup sensitif dengan minuman beralkohol.
“Kalau sudah mulai mabuk, biasanya kita bilang, ‘Kapal oleng, Kapten’,” kata Yan mengungkapkan.
Yan kemudian tertawa, mengingat ungkapan itu cukup populer di kalangan masyarakat. Dengan menyentil keingintahuan calon pelanggan lewat menu dan penamaan menu kopi-kopi kreasi yang unik, Yan optimis kedainya mampu menggaet konsumen tetap.
“Ketika sudah tercipta komunikasi, ketika orang (pengunjung) sudah nyaman, ada kemungkinan mereka akan balik lagi,” katanya.