Korelasi polusi dengan bunuh diri
World Health Organization (WHO) mencatat, setiap tahun sebanyak 703.000 orang melakukan tindakan bunuh diri. Di sisi lain, sebuah penelitian yang terbit di Nature Sustainability (Februari, 2024) menemukan, usaha mengurangi polusi udara di China ternyata dapat mencegah 13.000 hingga 79.000 kasus bunuh diri selama 2013 hingga 2017. Dalam arti, terjadi sekitar 10% penurunan angka bunuh diri yang diamati pada periode tersebut di negara dengan tingkat 16% kasus bunuh diri di dunia itu.
Penelitian yang dilakukan Peng Zhang (The Chinese University of Hong Kong), Tamma Carleton (University of California), Liguo Lin (Shanghai University of Finance and Economics), dan Maigeng Zhou (Chinese Center for Disease Control and Prevention) melengkapi riset sebelumnya soal korelasi polusi udara dan bunuh diri.
Misalnya, riset yang dilakukan Seulkee Heo dan rekan-rekannya di Yale University, terbit di International Journal of Environmental Research and Public Health pada 2021, yang meninjau 18 penelitian. Para peneliti menemukan korelasi signifikan peningkatan risiko bunuh diri karena partikel—bahan yang dikeluarkan pembakar kayu, kebakaran hutan, dan debu konstruksi—serta gas sulfur dioksida dan nitrogen dioksida yang dikeluarkan fasilitas industri dan pembakaran bahan bakar fosil.
Science menyebut, untuk mengisolasi partikel udara berukuran lebih kecil 2,5 mikron (PM2.5) dari faktor pemicu, seperti perbaikan kondisi sosial, ekonomi, dan kesehatan, Zhang dkk berhasil mengidentifikasi inversi termal, fenomena meteorologi di mana lapisan udara dingin berada dekat permukaan bumi dan udara hangat di atasnya.
Tujuannya memerangkap polutan udara di dekat permukaan tanah, sehingga meningkatkan paparan terhadap manusia. Bahkan ketika tak ada perubahan dalam aktivitas yang menghasilkan polusi.
“Hal ini memungkinkan kami untuk pertama kalinya, mengisolasi dampak penyebab polusi udara terhadap bunuh diri,” ujar salah seorang peneliti, Tamma Carleton kepada Science.
Melansir Air Quality News pencemaran udara, termasuk yang berasal dari lalu lintas jalan raya juga ikut terperangkap, sehingga lapisan udara yang paling dekat dengan permukaan tanah semakin tercemar. Hal ini berlanjut hingga kondisi meteorologi yang ada berubah.
Inversi itu hanya berlangsung dalam hitungan jam, tetapi para peneliti menemukan, kejadian tersebut menyebabkan peningkatan angka bunuh diri yang mencapai puncaknya dalam waktu seminggu. Setelah itu, jumlahnya menurun.
“Hal ini, kata mereka (para peneliti), konsisten dengan bukti neurobiologis bahwa PM2.5 memengaruhi keadaan emosional dan perilaku impulsif agresif,” tulis Air Quality News.
Data cuaca dikumpulkan dari seluruh China dan pengamatan dari 1.400 pemantau polusi udara menunjukkan, rata-rata suatu wilayah menghadapi empat hingga lima inversi termal per minggu. Masing-masing biasanya berlangsung dua hingga tiga jam, tetapi dapat meningkatkan rata-rata tingkat PM2.5 mingguan sebesar 1%.
“Menggabungkan data ini dengan hampir 140.000 laporan bunuh diri mingguan di daerah setingkat kabupaten, para peneliti menemukan inversi termal dikaitkan dengan peningkatan angka bunuh diri dalam waktu satu minggu,” tulis Science.
Singkatnya, menurut situs UC Santa Barbara, Zhang dkk, menggunakan kondisi cuaca untuk mengungkap faktor-faktor pemicu yang memengaruhi tingkat polusi dan bunuh diri. Dari sana, mereka menyimpulkan sebuah hubungan sebab-akibat. Hasilnya, mereka menemukan, kualitas udara sebagai faktor kunci yang memengaruhi kesehatan mental.
Dilansir dari Science, riset neurobiologis dan lingkungan skala kecil menunjukkan, lonjakan konsentrasi materi partikulat selebar 2,5 mikron atau kurang, dapat dengan cepat mengubah kimia otak, bisa menyebabkan agresi, hilangnya kendali emosi, serta ketidakmampuan mengatasi masalah krusial.
“Polusi udara juga dikaitkan dengan depresi, kecemasan, psikosis, dan gangguan neurokognitif seperti demensia,” tulis Science.
Sejumlah riset pernah dilakukan untuk menjelaskan hubungan antara polusi dengan kesehatan mental. Semisal, riset yang dilakukan para peneliti dari Inggris, yang terbit di Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology (2020) menemukan, peningkatan nitrogen dioksida—yang sebagian besar dihasilkan kendaraan diesel—meningkatkan risiko gangguan mental sebesar 39%. Sementara polusi partikel kecil, risikonya meningkat sebesar 18%.
Carleton mengatakan, angka kasus bunuh diri di China turun jauh lebih cepat dibandingkan penurunan di negara-negara lain. Di saat yang sama, tingkat polusi udara menurun drastis.
“Sangat jelas, perang terhadap polusi dalam tujuh hingga delapan tahun terakhir telah menyebabkan penurunan polusi yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan kecepatan yang belum pernah kita lihat di tempat lain,” kata Carleton, dikutip dari UC Santa Barbara.
Science menulis, China secara signifikan meningkatkan kualitas udaranya melalui rencana aksi pencegahan dan pengendalian udara pada 2013, yang mendorong penggantian batu bara dengan gas alam untuk pemanas perumahan dan komersial, mengatur emisi kendaraan, mempromosikan tenaga surya dan angin, serta menetapkan target untuk mengurangi polusi udara.
“(Setelah itu) konsentrasi rata-rata tahunan PM2.5 turun sebesar 33% dan karbon monoksida sebesar 28%-2% selama lima tahun,” tulis Air Quality News.
Tim peneliti menyimpulkan, selain tingkat bunuh diri meningkat ketika polusi udara meningkat, risiko yang sangat kuat juga terjadi pada kelompok lanjut usia. Terutama perempuan lanjut usia, 2,5 kali lebih rentan dibandingkan kelompok lainnya.
“Ini mengejutkan karena angka bunuh diri laki-laki melebihi angka bunuh diri perempuan di seluruh China dan sebagian besar negara di dunia,” kata Carleton dalam Science.
Walau demikian, nyatanya polusi bukan satu-satunya faktor lingkungan yang memengaruhi angka bunuh diri. Namun menurut Carleton, hal ini punya dampak yang besar.
“Pemanasan udara selama 30 tahun di India menyebabkan dampak bunuh diri yang sama besarnya dengan pengendalian polusi udara selama lima tahun di China,” ujar Carleton.
“Penting bagi pejabat kesehatan masyarakat untuk mengetahui hal ini seiring dengan semakin panasnya iklim kita dan meningkatnya polusi di banyak negara berkembang.”