Kriminalisasi LGBT memperparah wabah HIV
Sejak 2016, politisi dan pejabat negara berbondong-bondong menyatakan penolakannya terkait Lesbian Gay Biseksual Transgender (LGBT). Tanpa disadari, serangkaian pernyataan publik tersebut justru berkembang menjadi ancaman dan kebencian pada kaum LGBT Indonesia.
Mengingatkan kembali, awal tahun 2016 Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir pernah mengatakan LGBT dilarang di kampus. Menteri Nasir beralasan standar nilai dan standar susila yang harus dijaga karena universitas adalah penjaga moral.
Sejak Nasir mengeluarkan pernyataannya tersebut, sentimen publik pada kelompok LGBT mulai tajam. Banyak pihak yang kemudian ambil panggung untuk menghakimi LGBT. Landasan mereka sama, moral.
Tidak berhenti sampai disitu, sejumlah stakeholder latah menyatakan alergi terhadap LGBT. Dalam sebuah seminar kesehatan ibu hamil, seorang walikota mengingatkan ibu-ibu untuk berhenti makan mie instan.
Menurutnya, para ibu mesti memberikan waktu dan perhatian untuk memasak makanan bergizi bagi anak-anak mereka, bukan memberi makanan instan. Karena menurut walikota tersebut, tak heran jika saat ini banyak LGBT.
Pernyataan lebih menggemparkan datang dari Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu. Ryamizard melabeli LGBT sebagai proxy war kepada Indonesia yang dipimpin orang asing dan lebih berbahaya dari bom nuklir.
“Itu berbahaya karena kita tidak tahu siapa musuh kita, tiba-tiba saja semua dicuci otak. Sekarang komunitas LGBT minta lebih bebas. Ini benar-benar sebuah ancaman,” kata Ryamizard.
Ketika negara-negara lain telah mengeluarkan LGBT dari daftar gangguan jiwa, Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek mengatakan LGBT adalah masalah kejiwaan.
American Psychiatric Association (APA, Asosiasi Psikiatri Amerika Serikat) pernah menyurati Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) pada 2016 mendorong perhimpunan tersebut agar mengeluarkan LGBT dari kategori masalah kejiwaan.
APA memang telah menghapus homoseksual dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) sejak tahun 1973. Sementara itu, World Health Organization (WHO) sejak tahun 1990 telah menghapus homoseksual dari International Classification of Disease dan menyatakan homoseksual bukanlah kondisi patologis, kelainan, atau penyakit.
Dari laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat tahun 2017 menganalisa jika stigma dan sesat pikir pada kaum LGBT mendapatkan ruang lebih banyak pada tahun 2016. LBH Masyarakat menemukan sebanyak 182 stigma pada kaum LGBT mulai dari LGBT proyeksi kaum Luth hingga proxy war.
Masih dalam laporan yang sama, beberapa media memberitakan LGBT dengan nuansa oposisi dan pertentangan. Sementara itu pelaku diskriminasi banyak berasal dari organisasi keagamaan, menyusul kemudian politisi dan anggota parlemen.
Selain stigma pada kelompok LGBT, stigma dan persekusi juga didapatkan bagi pembela kelompok LGBT. Contohnya adalah persekusi yang didapatkan oleh Dede Oetomo dan Cania Citta Irlanie setelah tampil dalam siaran TV Indonesia Lawyers Club. Caci maki dan hujatan warganet sontak membanjiri akun media sosial mereka.
Penyerbuan dan persekusi yang kian marak
Komentar publik yang memusuhi LGBT tersebut seolah mendorong aparat hukum dan kelompok-kelompok agama konservatif untuk melakukan perundungan dan penyerbuan pada kelompok LGBT. Human Right Watch (HRW) mencatat setidaknya terdapat 14 kasus penggerebekan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat (ormas) Islam dan apparat pada medio November 2016 hingga Maret 2018.
Laporan yang berjudul "Takut Tampil di Hadapan Publik dan Kini Kehilangan Privasi: Dampak Hak Asasi Manusia dan Kesehatan Masyarakat dari Kepanikan Moral Anti-LGBT" mencatat kenaikan tajam jumlah penyerangan, baik secara verbal maupun secara fisik kepada kelompok LGBT.
Sepanjang 2017, kepolisian Indonesia menggerebek sejumlah sauna, klub malam, kamar-kamar hotel, salon, dan kediaman pribadi atas dasar kecurigaan bahwa di dalamnya ada orang-orang LGBT. Pada tahun yang sama, polisi menangkap sekurangnya 300 orang hanya berdasarkan dugaan tentang orientasi seksual serta identitas gender mereka. Hal tersebut tak pelak menjadikannya sebagai rekor tertinggi di Indonesia.
Bulan Mei di tahun 2017 polisi menyerbu gym dan sauna atlantis yang sering dikunjungi oleh kaum gay di Jakarta. Polisi mengamankan 141 orang dan menetapkan 10 orang sebagai tersangka dengan tuduhan pelanggaran UU Pornografi.
Aparat kepolisian dengan sengaja mengambil foto mereka dalam kondisi telanjang dan menunjukkan mereka pada awak media sembari menginterograsi mereka dalam keadaan telanjang. Selain itu, foto mereka juga tersebar di sosial media. Kepolisian menolak tuduhan tersebut.
Masih pada bulan Mei, pihak berwenang di Aceh mencambuk dua orang lelaki sebanyak 85 kali di hadapan ribuan orang. Kedua lelaki tersebut ditangkap pada 28 Maret 2017 di Banda Aceh dan dipaksa mengaku sebagai gay oleh sejumlah orang. Pengadilan syariah menjatuhkan tuduhan sodomi pada mereka berdua pada 17 Mei 2017 dan memvonis mereka dengan 80 cambukan.
Kriminalisasi LGBT
Pemerintah pusat memang tak pernah mengkriminalisasi LGBT dan tak ada undang-undang nasional yang secara spesifik melindungi mereka dari diskriminasi. Namun, upaya pemidanaan terhadap kelompok LGBT umumnya dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta menggunakan pasal pemalsuan dokumen sebagaimana diatur pada Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Di beberapa daerah, aturan yang merugikan kelompok LGBT dituangkan dalam sejumlah Peraturan Daerah (Perda). Perda-perda tersebut adalah Perda Provinsi tentang Pemberantasan Maksiat di Provinsi Sumatra Selatan, Perda Kabupaten tentang Ketertiban Masyarakat di Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan.
Kemudian ada Perda Kota tentang Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Yang Berlandaskan Pada Ajaran Agama Islam dan Norma-Norma Sosial Masyarakat di Tasikmalaya, Jawa Barat, Perda Kota tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penindakan Penyakit Sosial di Padang Panjang, Sumatra Barat dan Qanun Jinayat tentang Liwath (perilaku homoseksual) dan Musahaqah (perilaku lesbian) di Provinsi Aceh.
Memperparah krisis kesehatan
Diskriminasi terhadap kelompok LGBT menurut HRW hanya akan memperparah wabah HIV.
"Kegagalan pemerintah Indonesia dalam menangani kepanikan moral anti-LGBT ini membawa konsekuensi amat buruk terhadap kesehatan masyarakat," kata Kyle Knight, peneliti hak-hak LGBT HRW dalam rilis yang diterima Alinea.id.
Kyle menambahkan pemerintah Indonesia semestinya menyadari perannya dalam kesewenangan terhadap kelompok LGBT benar-benar melemahkan upaya negara melawan HIV. Cara pemerintah menangani wabah HIV di Indonesia dalam beberapa dekade belakangan telah membantu memperlambat penularan baru.
Dari data UNAIDS, badan PBB yang berfokus pada masalah AIDS mencatat setidaknya terdapat 48.000 kasus infeksi baru HIV di Indonesia. Berdasarkan data tersebut, kelompok gay atau laki-laki yang melakukan seks dengan laki-laki (LSL) memiliki kelaziman terjangkit HIV 25,8%. Angka tersebut merupakan angka tertinggi kedua ditemukannya kasus HIV setelah pada pengguna narkoba.
Namun, meluasnya stigma dan diskriminasi terhadap populasi berisiko HIV dan Orang-orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) telah mendorong sebagian kelompok rentan HIV untuk menghindari layanan pencegahan dan penanganan HIV. Hasilnya, rerata HIV di kalangan laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) meningkat lima kali lipat.
Walaupun sebagian besar penularan HIV di Indonesia terjadi lewat hubungan heteroseksual, sepertiga dari keseluruhan jumlah penularan baru terjadi pada LSL.
Menurut HRW, kepanikan moral anti-LGBT dan penggerebekan polisi yang melanggar hukum benar-benar mempersulit penyuluhan kesehatan masyarakat kepada kelompok-kelompok warga yang paling berisiko. Bahkan memperbesar peluang penyebaran virus tersebut lebih jauh.
Tiga penggerebekan polisi pada 2017 menutup paksa tempat-tempat populer LSL. Padahal di tempat-tempat tersebut para penyuluh secara rutin dapat bertemu dan membimbing mereka, selain menyediakan kondom dan tes HIV sukarela.
Lain halnya, dengan dua penggerebekan di Surabaya dan Jawa Barat, kepolisian terang-terangan menggunakan kondom sebagai barang bukti untuk mengungkap serta mempermalukan para tahanan LSL di media.
"Penutupan klub itu sungguh merugikan hanya di tempat-tempat itulah kami dapat bertemu dengan kelompok LSL," ujar seorang penyuluh di Jakarta dari laporan HRW.
Selama ini, petugas penyuluh mengandalkan klub karena pada tempat tersebut orang-orang yang sangat merahasiakan seksualitas bisa merasa aman. Mengadakan tes HIV dan membagikan kondom disebut seorang penyeluh mengurangi rasa takut untuk berpartisipasi.
Apalagi, saat ini berdasarkan pengakuan penyuluh lain dari laporan HRW, semakin banyak LSL menunggu benar-benar sakit sebelum mencari pertolongan atau bahkan bertanya tentang HIV.