Kritik menggelitik ala komedi "pinggir jurang"
Materi “pinggir jurang” alias bahan komedi yang menyinggung situasi politik terkini, beberapa waktu lalu menjadi sajian program komedi kriminal Lapor Pak yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta. Misalnya, saat Ahmad Jalaluddin Rumi alias El Rumi menjadi bintang tamu pada Selasa (17/9).
Ketika itu, dikisahkan El Rumi menjadi komandan magang di kantor Lapor Pak, yang dibawa komandan Andre Taulany. Namun, hal ini mendapatkan protes dari Andhika Pratama, Wendy Cagur, dan Ayu Ting Ting karena dianggap terlalu muda.
“Gen Z itu zaman sekarang harus memimpin, banyak contohnya udah,” kata El.
“Yang kemarin terpilih, kan?” tutur Andika.
Tentu penonton paham siapa yang dimaksud mereka. Lalu, Ayu menanyakan kepada Andre, apakah ada hubungan saudara dengan El. Andre menyambarnya, “keponakan,” kata dia.
Kemudian, El menanyakan lagi ke Andre kalau usianya 25 tahun. Sedangkan batas usia menjadi komandan 26 tahun. Andre pun menanggapinya.
“Nanti bisa saya atur. Nanti bisa saya ubah,” ujar Andre.
“Umur kan hanya sebuah angka. Tapi kalau pemikiran dan visi kamu ke depan bagus, tinggal kita ubah.”
Penonton juga bakal paham ketika Surya Insomnia memberi tahu ke Andhika dan Wendy, “kayaknya dia (El) yang megang akun huhuhaha, deh.” Surya memplesetkan akun fufufafa yang viral di media sosial dan diduga milik salah seorang politikus.
Menurut analis politik dari Universitas Meda Area, Sumatera Utara, Khairunnisa Lubis, komedi pinggir jurang yang ditampilkan pelawak di layar kaca, seperti program Lapor Pak, sudah lebih dahulu dilakukan komika dalam stand up comedy. Belakangan terakhir, kata dia, semakin banyak pelawak sketsa yang turut menyampaikan kritik melalui humor.
“Semakin ke sini semakin banyak pelawak melakukan hal demikian karena pelawak juga berhak menyampaikan kritik sosial, yang mereka kemas dengan bahasa harmonis dan kesan santai, juga menggelitik,” ucap Khairunnisa kepada Alinea.id, Selasa (24/9).
“Dan tentunya, secara umum masyarakat lebih mudah memahami kritik sosial yang dilontarkan komedian.”
Komika yang kerap menyampaikan kritik isu politik dan sosial, di antaranya Bintang Emon. Selain di panggung stand up comedy, dia juga kerap mengunggah video singkat tentang keresahannya terhadap isu politik di akun media sosial pribadinya. Selain Emon, ada pula Pandji Pragiwaksono yang kerap menyinggung isu sosial-politik.
Di program Main Hakim Sendiri yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta, juga ada penyanyi dan pelawak Vincentia Rizky Inggar Lukitavati atau Rizky Inggar yang tipis-tipis membawakan tema komedi pinggir jurang.
Menurut Yuangga Kurnia Yahya dalam artikel “Kedewasaan dalam Berislam: Stand up Comedy dan Penodaan Agama” di buku Pemikiran Islam Norcholish Madjid (2022), tahun 1973 Prambors mengadakan siaran radio yang sarat humor dengan kritik terhadap pemerintah. Namun, kritik itu diarahkan kepada instansi, bukan personal. Program siaran tersebut adalah "Obrolan Santai di Warung Kopi". Dari siaran ini, muncul grup komedi Warkop Prambors—yang kemudian dikenal sebagai Warkop DKI, terdiri dari Dono, Kasino, Indro.
Bahkan, Yuangga menyebut, mantan presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di masa Orde Baru dikenal sebagai tokoh yang aktif memberikan komentar terkait politik dan kehidupan beragama, dengan perspektif humor.
Yuangga menulis, daya reflektif dan kualitas humor Gus Dur membuatnya lihai menyusun kata-kata dan menyampaikannya di depan publik. Kemunculannya saat Orde Baru, memberi warna tersendiri pada cara penyampaian humor berisi kritik sosial.
“Darinya, dikenal semboyan melawan dengan lelucon. Dia pun pernah mengatakan, ketika kebenaran dibungkam, humor harus berbicara,” tulis Yuangga.
Korelasi antara politik dengan industri hiburan menciptakan istilah politic entertainment atau politainment, yang sudah ditelaah beberapa ahli politik dan komunikasi, seperti David Schultz dan Justus Nieland.
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Asep Suryana menilai, ada dua kemungkinan mengapa materi pinggir jurang kerap ditampilkan pelawak. Pertama, karena pelawak melihat masyarakat mulai muak dengan tabiat Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan anak-anaknya. Kedua, pelawak semakin berani melontarkan kritik lewat materi pinggir jurang karena Jokowi sebentar lagi akan purnatugas.
“Model kritik semacam ini pernah terjadi di akhir-akhir Orde Baru. Kritik itu nanti akan terakumulasi. Kalau ada pemicunya yang signifikan, itu akan berubah dan menjelma menjadi gerakan,” ujar Asep, Selasa (24/9).
“Ini ibarat ada rumput kering, tinggal nunggu orang buang puntung rokok. (Seperti) dulu pada saat Soeharto lengser, setelah itu masyarakat mencibir keluarga Soeharto di bus kota dan setiap ruang publik.”
Di samping itu, Asep menilai, para pelawak sketsa semakin berani melontarkan kritik lantaran yakin akan mendapat “perlindungan” dari publik, bila ada tekanan dari rezim yang berkuasa.
“Kalau salah kelola, maka kritik ini bisa terakumulasi menjadi gerakan lebih besar,” kata Asep.