Kultur tuli Hindia Timur
Di dalam surat kabar De Koerier, 8 April 1939, seorang perempuan Belanda mencurahkan isi hatinya terhadap pelayan-pelayannya yang tiba-tiba “kehilangan pendengaran”. Misalnya, dia memanggil seorang pembantunya di rumah untuk membantunya di dapur, dengan suara yang keras.
Lalu, saat meminta seorang pelayannya yang lain bernama Sarimin untuk mengeluarkan lemari makan dan membersihkannya, pelayannya dari pagi hingga siang belum melakukan perintah sang nyonya.
Kemudian, ketika meminta seorang penjahit pakaian keluarganya untuk memperbaiki celana anak laki-lakinya malah rusak. Padahal, dia sudah memberikan arahan kepada penjahit itu, sebelum pergi meninggalkan rumah untuk beraktivitas sebentar. Penjahit itu pun baru mengerjakannya usai perempuan Belanda tersebut sampai di rumah dan beralasan tidak mendengar nasihat sang nyonya.
Dalam masalah agama, dia juga mengatakan, orang-orang pribumi tidak pernah mendengarkan nasihat yang tulus dari pendeta. Maka, dia menyimpulkan, penduduk asli Hindia Timur mayoritas oost-indisch doof.
“Nasihat dan teguran dari para petinggi (majikan) dan pendeta diabaikan, orang berpura-pura menjadi tuli di Hindia Timur,” tulis perempuan Belanda itu.
Di dalam bukunya Religiositas: Hal-Hal Sehari-Hari (1986), budayawan YB. Mangunwijaya menulis, dahulu di masa kolonial orang Belanda punya ungkapan yang bikin panas telinga orang pribumi, yakni oost-indisch doof atau tuli gaya Hindia Timur. Tentu saja, itu bukan ungkapan yang baik. Istilah ini cenderung terdengar rasis bagi orang-orang pribumi.
Menurut Mangunwijaya, secara harfiah tuli gaya Hindia Timur biasanya ditujukan kepada seseorang, biasanya pelayan atau jongos, yang menyadari dia dipanggil majikannya, tetapi karena tak mau ditambah pekerjaan atau tugas, maka pura-pura tidak mendengar.
Corn J.G. dalam artikel pendeknya di Algemeen Handelsblad, 16 Maret 1912, menyebut bahwa orang-orang di Hindia Timur—atau Hindia Belanda, sekarang Indonesia—memang sengaja tuli karena tidak mau mendengar. Bukan tuli sungguhan.
Sejarawan Belanda Annemieke Houben dalam artikel yang diterbitkan di Neerlandistiek menyebut, perilaku tuli gaya Hindia Timur itu dikatakan pakar bahasa abad ke-19 PJ. Harrobomee kemungkinan karena kelembapan terkait iklim di Hindia Belanda.
Historiek menyebut, orang-orang pribumi sering merasa cuaca terlalu panas untuk bekerja. Maka, mereka berpura-pura tidak mendengarkan dengan baik perintah dari atasan mereka yang orang Belanda.
Houben menulis, artikel di Arnhemsche Courant yang terbit pada 25 Juni 1835 sudah menyebut istilah tersebut. Namun, Houben menemukan sumber yang lebih tua, terkait tuli gaya Hindia Timur, seperti yang tercantum dalam artikel “Beschryvinge van eene blanke negerin uit de Papoesche eilanden” yang ditulis Josua van Iperen, termuat di buku Verhandelingen van het Bataviaasch genootschap, der konsten en weetenschappen (1784).
Istilah tersebut van Iperen tulis usai melakukan wawancara terhadap seorang perempuan muda Papua yang dibeli orang Belanda dan dikirim ke Ternate sebagai pekerja. Dari sana, pada 1779, dia dikirim ke Perkumpulan Seni dan Sains di Batavia untuk belajar.
“Dia sedikit tuli. Namun, ketulian tampaknya bagi kita tidak lebih dari sebuah musyawarah panjang untuk memahami sesuatu dengan baik dan cermat, sebelum dia dapat atau berani menjawab,” ujar van Iperen, seperti ditulis kembali Houben.
“Ini disebut tuli Hindia Timur, dan saya memahami bahwa masyarakat Jawa, China, dan negara-negara Timur lainnya terus-menerus menunjukkan sikap tuli yang sama.”
Van Iperen menduga, fenomena budaya tersebut kerap menyesatkan masyarakat Barat. Menurut Houben, van Iperen yang baru tinggal di Batavia kurang dari setahun saat menulis artikel, sudah mengetahui adanya “gangguan pendengaran” jenis ini.
“Tulisannya menunjukkan, ungkapan tersebut digunakan setidaknya pada 1780 untuk orang yang berpura-pura tidak mendengar sesuatu untuk menghemat waktu. Penjelasan lain mungkin orang yang mengabaikan perintah yang tidak mereka sukai,” kata Houben.
Lebih lanjut, Historiek mengemukakan, raja-raja di Hindia Belanda membenci penguasa Belanda. Oleh karena itu, sering kali mereka berpura-pura tidak memahami perintah. “Mereka sering kali menunda tugas yang tidak ingin mereka lakukan,” tulis Historiek.
Sementara itu, jurnalis Adi Ekopriyono dalam buku The Spirit of Pluralism: Menggali Nilai-nilai Kehidupan, Mencapai Kearifan (2005) menulis, secara implisit ungkapan itu menunjukkan orang-orang di Hindia Belanda, terutama Jawa, tidak mempunyai rasa malu, meski terhadap dirinya sendiri. Tak masalah dianggap tuli, demi kemalasannya bekerja.
Adi mengatakan, tuli—atau lebih tepatnya menulikan diri—dan malu merupakan dua hal yang sangat terkait dengan rasa dalam perspektif filosofis Jawa. Rasa dalam bahasa Jawa adalah perasaan batin. Filsuf Franz Magnis-Suseno dalam Etika Jawa (1988) mengatakan, makin halus perasaan, makin bisa seseorang menyadari dirinya sendiri, makin bersatu dengan kekuatan-kekuatan ilahi kosmos, dan makin betul arah hidupnya.
Akan tetapi, dalam konteks yang lebih luas, kata Adi, seseorang dapat berbuat seperti ungkapan tuli Hindia Timur untuk mencapai kepentingan-kepentingannya. Tanpa terkecuali dalam dunia politik.
“Mungkin saja seorang politikus sebenarnya mendengar masukan, saran, atau kritik yang baik, namun pura-pura tidak mendengar agar kepentingannya tidak terganggu,” tulis Adi.
“Dia tidak mempedulikan rasa malu terhadap dirinya.”