close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ning (Amanda Manopo) dan Ihsan (Chicco Kurniawan) dalam film Kupu-Kupu Kertas./Foto tangkapan layar Instagram @kupukupukertasfilm
icon caption
Ning (Amanda Manopo) dan Ihsan (Chicco Kurniawan) dalam film Kupu-Kupu Kertas./Foto tangkapan layar Instagram @kupukupukertasfilm
Sosial dan Gaya Hidup - Hiburan
Jumat, 27 September 2024 06:11

Kupu-Kupu Kertas dan apa yang terjadi dengan PKI di Banyuwangi?

Sempat ditarik dari peredaran pada 10 Februari 2024, film Kupu-Kupu Kertas kembali tayang di bioskop pada 26 September 2024.
swipe

Film Kupu-Kupu Kertas kembali tayang di bioskop pada 26 September 2024. Film ini tayang perdana pada 7 Februari 2024, namun hanya bertahan selama tiga hari, film yang dibesut Emil Heradi tersebut tiba-tiba ditarik dari peredaran.

Mengisahkan tentang apa?

Film ini menyajikan kisah cinta dalam gejolak politik yang tak menentu pada 1965, ketegangan antara Nahdlatul Ulama (NU) dengan PKI. Dikutip dari Jakarta Globe, kisah cinta antara Ning (Amanda Manopo) dan Ihsan (Chicco Kurniawan) terhalang ideologi politik. Ning adalah putri dari pimpinan PKI Rekoso (Iwa K), sedangkan Ihsan adalah saudara seorang pimpinan GP Ansor—organisasi kepemudaan di bawah NU.

Ning dan Ihsan terjebak dalam peristiwa berdarah tahun 1965 di Banyuwangi, Jawa Timur. Keadaan menjadi genting, akibat kebrutalan anggota PKI merebut tanah-tanah milik warga hingga melakukan pembantaian terhadap anggota GP Ansor. Lalu, dibalas dengan Operasi Gagak Hitam, yang menghabisi anggota PKI dan mereka yang dianggap antek-anteknya.

Menurut Jakarta Globe, film ini menegaskan, dalam konflik berdarah, justru yang sering menjadi korban adalah mereka yang tak sadar masalah dan tak terlibat pertikaian. Film ini mengambil inspirasi dari peristiwa sejarah, seperti peristiwa Cemethuk yang menewaskan pemuda Ansor dari Muncar, pembuangan mayat petinggi militer di Lubang Buaya, dan Operasi Gagak Hitam menumpas PKI.

Mengapa ditarik dari peredaran?

Mengutip Suara.com, Kupu-Kupu Kertas ditarik dari peredaran pada 10 Februari 2024 karena terkait bakal diadakan Pemilu 2024. Mencuat pula rumor bahwa film itu ditarik karena dinilai bermuatan propaganda partai terlarang dan dugaan dana produksi dari hasil gratifikasi.

Isu itu mencuat karena komentar aktor sekaligus produser film Gandhi Fernando di TikTok, yang informasinya dia dapatkan dari grup WhatsApp perfilman. Film tersebut diproduseri Denny Siregar Production dan Maxima Pictures. Dugaan gratifikasi menyasar ke Denny Siregar. Namun, tak pernah ada konfirmasi dari Denny terkait rumor tersebut.

Terlepas dari itu, saat berbicara kepada Tempo, sutradara Emil Heradi mengatakan, Kupu-Kupu Kertas tak bermaksud memihak kelompok mana pun dan berusaha melihat sejarah dari perspektif orang biasa.

Apa yang terjadi di Banyuwangi 1965?

Menurut sejarawan Aminuddin Kasdi dalam artikel “Kasus Dukun Santet di Jawa Timur” di buku Bunga Rampai Sejarah Lokal; Kerawanan Sosial dalam Perspektif Sejarah (2006), menjelang September 1965, terjadi aksi sepihak dari PKI dan Barisan Tani Indonesia (BTI) di seluruh wilayah Banyuwangi untuk merebut tanah absentee—tanah yang dimiliki seseorang di luar daerah tempat tinggalnya—menduduki, dan menjarah perkebunan negara atau swasta, dengan teror hingga penculikan terhadap aktivis organisasi kemasyarakatan (ormas) atau organisasi politik (orpol) lain.

Lantas, terjadi peristiwa berdarah 30 September 1965 di Lubang Buaya, yang kemudian menjadi dalih penumpasan PKI—dan mereka yang dituduh PKI—serta pembunuhan massal di Indonesia.

Aminuddin melanjutkan, perlawanan terhadap komunis di Banyuwangi dilakukan ormas GP Ansor. Tanggal 18 Oktober 1965, sebanyak 65 orang anggota GP Ansor dari Muncar di bawah pimpinan Salimin, dengan menggunakan sepeda, menyerbut basis PKI di Yosomulyo, Gambiran. Celakanya, mereka buta strategi dan taktik. Akibatnya, di tengah hutan Cemethuk, anggota GP Ansor itu dicegat dan dibantai Pemuda Rakyat—yang terafiliasi PKI.

Serangan balasan terjadi. Bersama rakyat yang anti PKI dari berbagai ormas, GP Ansor menggalang serangan balik ke seluruh Banyuwangi. Basis-basis PKI di Tegaldlima, Gambiran, dan Glagah diserbu.

“Pengganyangan terhadap PKI selanjutnya menjalar ke Jember, Bondowoso dan sekitarnya hingga akhir 1966,” tulis Aminuddin.

Di sisi lain, sejarawan Ahmad Nashih Luthfi dalam buku Membangun Bersama Rumah Agraria (2019) menulis, Banyuwangi adalah salah satu daerah di Jawa Timur yang paling parah terjadi pembantaian.

Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pada 20 Oktober 1965 menyisir daerah ayng menjadi basis PKI, seperti Desa Karangsem, Lateng, dan Temenggungan. Dilibatkan pula milisi yang punya keahlian bela diri, dikenal sebagai pasukan Gagak Hitam.

“Milisi ini sering diasosiasikan dengan kalangan NU, di antaranya disebabkan persaingan dalam pemilihan Bupati Banyuwangi,” tulis Ahmad.

Berapa korbannya?

Menurut Aminuddin, dari laporan tim-tim pencari fakta yang dibentuk Presiden Sukarno, korban dalam aksi pengganyangan PKI di Banyuwangi lebih dari 2.000 orang. Mayoritas mereka yang terbunuh adalah para simpatisan, sedangkan pentolannya melarikan diri atau menyerah ke Kodim, kemudian dibuang ke Pulau Buru.

Namun, Ahmad Nashih menulis, pendataan korban itu hanya sampai Desember 1965. Tim sendiri mengakui, angka yang dilaporkan pejabat lokal terlalu kecil karena sengaja ditutup-tutupi. Saat penyelidikan, pembunuhan juga masih terjadi.

Dari laporan Komando Militer Banyuwangi kepada Komando Resort Militer di Malang tertanggal 20 Agustus 1966, sebut Ahmad, data anggota PKI di Banyuwangi yang tewas sebanyak 6.008 orang. Selebihnya, 1.040 orang wajib lapor, 115 ditahan, dan 49 melarikan diri. Pendataan berikutnya mencatat, jumlah keseluruhan penduduk Banyuwangi di semua kecamatan yang dituduh terlibat G30S sebanyak 50.727 orang.

“Laporan militer di Kecamatan Gambiran tanggal 2 Juli 1968 mencatat, 2.259 orang yang dinyatakan sebagai anggota PKI dalam kategori simpatisan, hampir seluruhnya penduduk biasa, terbanyak petani, tukang dokar, atau pedagang kecil simpatisan BTI, Gerwani, Sobsi, Lekra, atau Pemuda Rakyat,” tulis Ahmad.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan