Kurikulum Merdeka menyisakan masalah guru dan siswa
Kurikulum Merdeka resmi ditetapkan menjadi kurikulum nasional mulai tahun ajaran baru 2024/2025. Walau demikian, implementasinya bergantung pada kesiapan masing-masing satuan pendidikan dari jenjang anak usia dini hingga pendidikan menengah. Ada masa transisi untuk menerapkannya paling lambat tahun ajaran 2026/2027. Khusus sekolah di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) paling lambat pada tahun ajaran 2027/2028.
Penetapan Kurkulum Merdeka sebagai kurikulum nasional mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah.
Merujuk situs web Kemdikbud, sudah ada 309.149 sekolah terdaftar sudah menerapkan Kurikulum Merdeka hingga 2023. Sebanyak 6.200 sekolah di antaranya ada di daerah tertinggal. Kurikulum Merdeka adalah kurikulum yang pembelajarannya fokus pada materi esensial, fleksibel atau bisa disesuaikan dengan kebutuhan belajar dan minat siswa, serta fokus pada penguatan karakter.
Kepala bidang Advokuasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri mengatakan, meski Kurikulum Merdeka merupakan sebuah kurikulum yang lazim lantaran kurikulum memang harus mengikuti perubahan zaman, tetapi punya dampak yang variatif. Sebab, kurikulum tersebut punya persyaratan yang harus diterapkan.
“Pertama, persyaratan pemahaman gurunya,” ujar Iman kepada Alinea.id, Kamis (28/3).
“Ketika kurikulum ini dibuat dengan capaian pembelajaran tertentu, itu mensyaratkan guru untuk (membuat) tujuan pembelajarannya sendiri. Padahal di kurikulum sebelumnya tidak seperti itu.”
Kedua, ketika kurikulum ini diterapkan, maka bakal memunculkan pembelajaran terdiferensiasi. Hal itu juga membutuhkan kesiapan guru sebelum program berjalan. Ketiga, masalah fleksibilitas dari sisi keilmuan, yang memunculkan kelompok-kelompok belajar. Bentuknya nanti, jelas Iman, bukan lagi seperti IPA dan IPS, tetapi jadi IPAS.
“Ada gabungan,” kata dia. “Ketika di tingkat SD dan SMP itu tidak tinggi risikonya, tetapi ketika SMA itu menjadi masalah.”
Keempat, Kurikulum Merdeka dibuat secara terbalik. “Jadi, diimplementasikan terlebih dahulu, baru dibuat naskah akademiknya,” tutur Iman.
“Diterapkan tahun 2021, tapi naskah akademiknya baru terbit beberapa hari yang lalu di tahun 2024.”
Dalam implementasinya, sebut Iman, kurikulum tersebut juga kurang baik. Alasannya, kurikulum ini disebarkan secara tunggal. “Jadi, guru-guru men-download sendiri aplikasi Merdeka Belajar, lalu mengisi soal dan membaca modul di pelajarannya masing-masing guru itu,” ucap Iman.
“Tapi pelajaran lainnya, guru harus merogoh kocek sendiri.”
Kelima, karena pembelajaran terdifrensiasi, maka para guru harus memetakan satu per satu kebutuhan siswa. Hal itu bisa terlihat dari model penugasan dan pemberian beban kepada siswa yang berbeda-beda karena memperhatikan kondisi setiap siswa. Namun, guru yang belajar untuk program ini hanya mendapatkan satu cara belajar, yakni melalui aplikasi. Metodenya juga hanya video webinar sosialisasi di YouTube.
“Sedangkan ketika para guru ini ingin belajar mengenai Kurikulum Merdeka secara langsung, mereka harus mendatangkan narasumber dengan biaya sendiri,” ujar dia.
Dengan demikian, Iman mengakui Kurikulum Merdeka membebani guru. Mempraktikkan kurikulum tersebut, menurutnya, terlalu rumit.
“Sah-sah saja terlalu rumit, tetapi kita (harusnya) mendapat pelatihan dan kapasitas yang mumpuni,” kata Iman.
Iman pun mengakui, Kurikulum Merdeka adalah kurikulum yang sangat mewat dan mahal. Makanya, ketika diterapkan, butuh sosialisasi. “Untuk percobaan di sekolah penggerak saja, mereka itu mendapatkan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) tambahan sekitar Rp200 juta,” ujarnya.
Dana BOS yang digunakan adalah dana BOS kinerja, terpisah dari BOS reguler. Beban terhadap guru terlihat ketika membuat laporan yang rangkap-rangkap. Guru pun belum paham diperintahkan belajar mandiri.
“Kami juga suka terganggu ketika Kemendikbud dan dinas pendidikan ini untuk melakukan webinar dan sosialisasi dari Kurikulum Merdeka dan konten-kontennya itu saat jam mengajar,” ucap Iman.
Akibatnya, guru-guru banyak yang meninggalkan siswanya dan kelas menjadi kosong. Iman menambahkan, Kemendikbud dan dinas pendidikan juga melihat taraf pemahaman setiap guru hanya dari para guru yang sudah menonton video mereka lewat aplikasi.
“Bayangkan saja, kalau hanya dinilai dari situ. Hanya berdasarkan dari login saja,” tutur dia.
Masalah lainnya, guru-guru mengalami kebingungan, terutama untuk siswa yang dari segi kehadiran dan nilainya bermasalah. Jika mengikuti kurikulum sebelumnya, kata Iman, tak bisa dinaikkan.
“Sedangkan di Kurikulum Merdeka memang dibuat sebuah sistem, yang secara tidak langsung membuat sekolah susah untuk membuat anak tidak naik kelas,” ujar Iman.
Hal ini bisa menjadi masalah baru lagi. Misalnya, kata dia, pihak perguruan tinggi punya kekuasaan dan kendali untuk siswa tak bisa masuk ke universitas mereka. Sebab, ketika SMA ke jenjang kuliah, mereka memiliki standar yang berbeda.
“Jadi kami juga agak takut ketika standar dari SMA ke kuliah ini tidak sinkron,” tutur Iman.
Sementara itu, pendiri Pendidikan Karakter Education Consulting sekaligus pengamat pendidikan Doni Koesoema Albertus mengatakan, setiap kurikulum punya dampak negatif dan positif. Tergantung dari keseluruhan sistemnya. Namun, menurut Doni, karena sistem dalam Kurikulum Merdeka tak memiliki alat evaluasi objektif untuk mengukur kualitas lulusan, maka tak bisa dipakai pula untuk mengukur keberhasilan pendidikan.
“Akibatnya, kualitas ditentukan oleh sekolah dan ini bisa sangat subjektif,” ujar Doni, Kamis (28/3).
“Kalau subjektif, maka orang tua bisa tertipu karena bisa saja rapornya baik, tapi faktanya anak-anak tidak mampu.”
Ia mengingatkan, rapor pendidikan tak bisa menguji kualitas lulusan, yang sangat penting untuk mengukur kualitas sekolah. “Karena rapor pendidikan tesnya hanya survei,” ucap Doni.
Menurut Doni, tinggal kelas banyak memberikan unsur negatif dalam diri siswa. Oleh karenanya, dibuat sistem yang selalu naik, dengan fase yang memungkinkan anak yang seharusnya tak naik kelas menjadi tetap naik kelas.
“Setelah naik, dia akan memperoleh intervensi khusus. Tapi, selama tiga tahun implementasi anak-anak ini tidak terdampingi. Banyak guru jalan terus dan mengutamakan kelas besar, sehingga anak ini semakin tertinggal dari penguasaan materi,” ujar Doni.
Di sisi lain, guru-guru yang tak mendapatkan pelatihan program Kurikulum Merdeka secara langsung, mendapat materi dari aplikasi yang nyatanya banyak dimensi pengetahuan saja. Akibatnya, guru banyak yang tidak tahu bagaimana implementasi di kelas.
“Pelatihan daring banyak gagal paham karena hanya satu arah. Bagi guru yang gagap teknologi, hal ini hanya menambah beban bagi mereka,” kata Doni.
Doni berkesimpulan, Kurikulum Merdeka belum tepat dijadikan kurikulum nasional. Alasannya, banyak hal dalam sistem yang harus dikoreksi. Sedangkan Iman menilai, sebaiknya sebelum diresmikan sebagai kurikulum nasional, Kurikulum Merdeka harus ada evaluasi dari sejak tiga tahun ke belakang—2021 hingga 2023.
“Kalau ini tidak dilakukan, ya paling ketika di depan ada masalah, ya baru direvisi,” kata Iman.