Setiap tahun 18-24 November adalah peringatan World Antimicrobial Awareness Week atau Pekan Kesadaran Antimikroba Dunia. Peringatan ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran ketahanan antimikroba secara global dan mendorong praktik nyata para pemangku kepentingan, termasuk sektor kesehatan, perikanan, dan peternakan, untuk mencegah bahaya kesehatan pada manusia akibat resistansi antimikroba. Istilah antimikroba, bukan antibiotik dipilih untuk merepresentasikan cakupan obat yang lebih luas. Golongan antimikroba mencakup obat-obatan antibiotik, antivirus, antiparasit, dan antijamur.
Resistansi antimikroba menjadi ancaman global karena dapat menurunkan mutu pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien, meningkatkan biaya pelayanan kesehatan, dan meningkatkan angka kesakitan dan kematian akibat infeksi.
Direktur Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan, Kalsum Komaryani, menyebutkan pentingnya pengendalian dan mitigasi dampak dari Antimicrobial Resistance (AMR) di seluruh dunia. Tercatat, terjadi 700 ribu kematian setiap tahun di seluruh dunia akibat AMR. Jika fenomena ini terjadi berlarut-larut, pada 2050 diperkirakan bakal terjadi pandemi AMR dengan ancaman kematian sepuluh juta jiwa dalam setahun.
“Secara ekonomi, AMR bisa mengakibatkan penurunan GDP 2-3,5% dan membebani dunia hingga 100 triliun dolar Amerika,” ungkap Kalsum dalam Media Briefing Antimicrobial Awareness Week 2021 yang disiarkan langsung di saluran Youtube Kementerian Kesehatan, Kamis (18/11).
Beberapa penyebab resistansi antimikroba jika ditinjau dari segi kesehatan antara lain lantaran pemilihan antimikroba yang tidak tepat, pemberian dosis yang salah, tidak mempertimbangkan parameter pharmacokinetic/pharmacodynamic (PK/PD) dalam pemberian obat, serta waktu pemberian yang tidak tepat. Strategi pengendalian resistansi antimikroba dilakukan dengan meningkatkan kesadaran individu mengenai bahaya AMR yang dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan berbasis ilmiah.
Di samping itu, otoritas kesehatan perlu memberlakukan pengawasan dan penerapan sanksi pelanggaran peredaran dan penggunaan antimikroba yang tidak sesuai standar. Sejumlah peraturan yang sudah diteken untuk mencegah resistansi antimikroba adalah Permenkes Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistansi Antimikroba di Rumah Sakit, Permenkes Nomor 28 Tahun 2021 tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik, dan Permenkes Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
Fasilitas kesehatan perlu menerapkan indikator nasional mutu pelayanan rumah sakit. Indikator ini meliputi kepatuhan terhadap formulasi nasional yang bertujuan untuk pengobatan efektif dan efisien sehingga tercipta penggunaan obat yang rasional. Kedua adalah kepatuhan terhadap alur klinis dengan tujuan menjamin kepatuhan dokter dan tenaga kesehatan lain dalam memberi pelayanan.
Tak hanya pada manusia, resistansi antimikroba juga berdampak buruk kepada hewan. Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Haeru Rahayu, menjelaskan resistansi antimikroba yang berkelanjutan bakal mempengaruhi ketersediaan pangan bagi sembilan juta penduduk dunia pada 2050 mendatang. Apalagi, kini perikanan budidaya atau peternakan bakal secara signifikan menggantikan perikanan tangkap dalam tiga dekade ke depan, di mana campur tangan manusia atas perkembangbiakan hewan, termasuk pemberian obat, akan semakin besar.
Haeru menyebutkan perikanan budidaya akan bersinggungan langsung dengan resistansi antimikroba. Untuk itu KKP meneken peraturan agar penggunaan obat dalam mengembangbiakkan ikan dilakukan dengan lebih bijaksana oleh para nelayan. KKP juga membentuk unit kerja khusus untuk menangani resistansi antimikroba ini yakni Direktorat Pakan dan Obat Ikan, serta Direktorat Kawasan dan Kesehatan Ikan. “Kami membuat regulasi tentang cara budidaya ikan yang baik, mulai dari pembenihan dan pemberian obat yang baik. Pelaksanaannya pun tidak hanya di KKP tetapi juga sinergi lintas sektor termasuk Kementerian Kesehatan,” ujar Haeru.