Lapar berkisah tentang seorang pemuda yang bermimpi menjadi penulis, namun rela kelaparan, menjadi miskin, dan menggelandang di kota Kristiania (sekarang Oslo). Semua itu dilakukan hanya karena artikel yang ditulisnya tak kunjung selesai, dan ia tak memiliki cukup banyak uang untuk membayar sewa kamar serta membeli makanan. Untuk mendapatkan uang, tokoh ‘aku’ rela menggadaikan barang-barang miliknya ke tukang lelang yang disebutnya “Paman.”
Ketika ia berkeliling Kota Kristiania, ia menghisap dan menggigiti potongan kayu di mulutnya untuk mengurangi rasa laparnya dan memuntahkan makanan yang telah masuk ke mulutnya. Hamsun tak memberikan petunjuk soal identitas tokoh utamanya. Tokoh aku eksis tanpa nama, masa lalu, ataupun petunjuk lainnya.
Dalam keadaan kelaparan, tokoh aku terus berdelusi soal bakat artistik dan kehormatan dirinya. ‘Aku’ menaruh batas moral diri yang tinggi pada dirinya. Lapar mengikuti tokoh aku yang berkelana di kota. Ia kelaparan hingga histeris, tetapi, ia mudah tersentuh pada orang-orang yang menderita seperti dirinya.
Dengan patokan moral yang tinggi, pantang baginya untuk mencuri ataupun menggadaikan selimut yang dipinjamkan kepadanya. Ketika mendapatkan uang, ia memberikan uang tersebut kepada orang lain tanpa memedulikan dirinya yang sedang kelaparan.
Dalam konteks saat ini, kita bisa melihat tokoh aku tak ubahnya seperti seorang masokis yang senang menyiksa dan menghancurkan dirinya sendiri. Laku penghancuran diri ini dituliskan oleh Hamsun melalui sikap narator yang berpegang pada prinsipnya dan kelaparan itu sendiri yang perlahan mengambil alih akal sehatnya.
Lapar adalah salah satu novel yang menyajikan rasa horor dalam bentuk penderitaan narator, yang digambarkan oleh Hamsun melalui narasi gamblang.
Hamsun berfokus pada pergulatan psikologis tokoh aku dalam Lapar. Hamsun mengeksplorasi ide dan efek yang bisa ditimbulkan oleh kelaparan. Lapar tak hanya mengkritik alienasi yang dialami manusia-manusia modern saat ini, tapi juga kesengsaraan dan tragedi yang dialami oleh manusia. Novel ini tidak berbicara tentang aspek sosial atau politis dari lapar itu sendiri, melainkan ia berfokus pada kondisi manusia ketika didera kelaparan. Tentunya ini menjadi sangat subjektif.
Novel "Lapar" Knut Hamsun yang membawa pengaruh besar dalam kasusastraan setelahnya./ blogpress
Pergulatan psikologis dan monolog internal yang ditampilkan Hamsun membuat tokoh aku layaknya seorang anti-hero pada hari ini. Narator dalam Lapar bukanlah orang yang ditinggalkan dan diasingkan oleh masyarakat Kristiania, tetapi ia adalah orang yang sangat dipengaruhi oleh kebanggaan dan sikap yang menganggap diri penting. Oleh Hamsun, pembaca bisa dibuat lelah dan tidak bersimpati lagi pada narator.
Ia meletakkan dirinya lebih tinggi daripada orang-orang lain dan menolak untuk berdamai dengan kondisinya. Ia lebih memilih untuk mengasingkan dirinya sendiri. Pada akhirnya, sikap narator yang demikian hanya memperburuk keadaannya sendiri.
Lapar ditulis menggunakan sudut pandang orang pertama dan merupakan novel otobiografi dari Hamsun sendiri. Novel ini tak hanya berputar soal menjadi penulis yang gagal. Namun juga menguraikan proses pendewasaan, ketika akhirnya menyadari, kita butuh bekerja untuk bertahan hidup.
Lapar juga adalah soal bagaimana kita kehilangan idealisme dan prinsip-prinsip yang dibuktikan, ketika narator akhirnya melanggar prinsipnya untuk tidak mencuri. Ia akhirnya mencuri kue dari seorang nenek tua karena kelaparan.
Lapar menjadi salah satu karya sastra beraliran modern yang pengaruhnya begitu besar pada karya sastra yang muncul setelahnya. Di abad ke-19, ketika Hamsun menulis Lapar, hanya ada sedikit novel yang bisa mengeksplorasi sisi psikologis tokohnya seperti yang dilakukan Hamsun.