Layar tancap, antara nostalgia dan propaganda
Usia Timan masih 30 tahun kala film Pantang Mundur (1985) diputar di layar putih membentang di lapangan dekat rumahnya di kawasan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Layar itu dibentangkan di antara dua tiang bambu yang dipacak di tanah. Sorot lampu dari proyektor menghasilkan gambar tontonan hingga dini hari.
Dahulu, pengusaha film keliling membawa rol-rol film, proyektor, dan layar untuk menghibur para tamu undangan saat ada hajatan.
Kenangan indah menonton layar tancap
Sekitar 1970-an hingga awal 1990-an, mengundang pengusaha film keliling menjadi semacam pengerek gengsi si empunya hajat. Kalau sekarang, mirip-mirip mengundang kelompok organ tunggal.
“Dulu kan zaman susah. Hiburan satu-satunya yang dipunyai ya cuma nonton layar tancap itu. Ongkos ngundangnya pun dulu kan mahal, tapi ada aja tiap minggu orang yang punya hajatan dan ngundang layar tancap,” kata Timan, mengenang masa-masa indah menonton layar tancap, saat berbincang dengan reporter Alinea.id di gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta Selatan, Rabu (23/1).
Kini, usia Timan sudah menginjak 65 tahun. Namun, ingatannya masih tajam soal tontonan layar tancap.
“Itu kalau ada layar tancap, pohon pisang yang ada di sekitar pasti pada gundul, besok paginya yang punya pohon pasti nagih ganti rugi ke yang punya hajatan,” katanya, terkekeh.
Bagi Timan, menonton layar tancap kerap menjadi momen yang menyenangkan. Selain asyik menikmati film yang sedang diputar, dia dan para penonton lainnya bisa menikmati aneka jajanan yang ada di sekitar area tontonan.
Saking keranjingan menonton layar tancap, Timan ingat, anak-anak di masanya nekat menjual dandang milik ibunya untuk bisa sekadar jajan sewaktu menonton.
“Besok pagi emaknya pusing nyariin, dianya pura-pura enggak tahu aja. Sering tuh begitu,” ujar Timan, yang kini berprofesi sebagai supir pribadi.
Timan mengaku, tak sering menonton film di gedung bioskop. Dia hanya menonton di bioskop, bila filmnya benar-benar menarik. Selain itu, yang membuat dia jarang menonton bioskop adalah soal kebebasan.
“Di bioskop kan enggak bebas ya, kalau di layar tancap kita mau guling-guling juga enggak masalah. Selain itu, bioskop harus bayar, kita nonton layar tancap gratis, karena yang punya hajatan yang bayar,” katanya.
Menurut Timan, dahulu hiburan rakyat sangat terbatas. Layar tancap akhirnya jadi primadona rakyat kala itu.
“Semua orang berbondong-bondong tuh nonton, ada yang ngajak seluruh keluarganya nonton. Sampai-sampai kalau kemalingan pun rumahnya dia enggak tahu,” kata Timan, terbahak-bahak.
Usia Timan masih 30 tahun kala film Pantang Mundur (1985) diputar di layar putih membentang di lapangan dekat rumahnya di kawasan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Layar itu dibentangkan di antara dua tiang bambu yang dipacak di tanah. Sorot lampu dari proyektor menghasilkan gambar tontonan hingga dini hari.
Dahulu, pengusaha film keliling membawa rol-rol film, proyektor, dan layar untuk menghibur para tamu undangan saat ada hajatan.
Kenangan indah menonton layar tancap
Sekitar 1970-an hingga awal 1990-an, mengundang pengusaha film keliling menjadi semacam pengerek gengsi si empunya hajat. Kalau sekarang, mirip-mirip mengundang kelompok organ tunggal.
“Dulu kan zaman susah. Hiburan satu-satunya yang dipunyai ya cuma nonton layar tancap itu. Ongkos ngundangnya pun dulu kan mahal, tapi ada aja tiap minggu orang yang punya hajatan dan ngundang layar tancap,” kata Timan, mengenang masa-masa indah menonton layar tancap, saat berbincang dengan reporter Alinea.id di gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta Selatan, Rabu (23/1).
Kini, usia Timan sudah menginjak 65 tahun. Namun, ingatannya masih tajam soal tontonan layar tancap.
“Itu kalau ada layar tancap, pohon pisang yang ada di sekitar pasti pada gundul, besok paginya yang punya pohon pasti nagih ganti rugi ke yang punya hajatan,” katanya, terkekeh.
Bagi Timan, menonton layar tancap kerap menjadi momen yang menyenangkan. Selain asyik menikmati film yang sedang diputar, dia dan para penonton lainnya bisa menikmati aneka jajanan yang ada di sekitar area tontonan.
Saking keranjingan menonton layar tancap, Timan ingat, anak-anak di masanya nekat menjual dandang milik ibunya untuk bisa sekadar jajan sewaktu menonton.
“Besok pagi emaknya pusing nyariin, dianya pura-pura enggak tahu aja. Sering tuh begitu,” ujar Timan, yang kini berprofesi sebagai supir pribadi.
Timan mengaku, tak sering menonton film di gedung bioskop. Dia hanya menonton di bioskop, bila filmnya benar-benar menarik. Selain itu, yang membuat dia jarang menonton bioskop adalah soal kebebasan.
“Di bioskop kan enggak bebas ya, kalau di layar tancap kita mau guling-guling juga enggak masalah. Selain itu, bioskop harus bayar, kita nonton layar tancap gratis, karena yang punya hajatan yang bayar,” katanya.
Menurut Timan, dahulu hiburan rakyat sangat terbatas. Layar tancap akhirnya jadi primadona rakyat kala itu.
“Semua orang berbondong-bondong tuh nonton, ada yang ngajak seluruh keluarganya nonton. Sampai-sampai kalau kemalingan pun rumahnya dia enggak tahu,” kata Timan, terbahak-bahak.
Tak mati dimakan zaman
Di tengah gempuran era digital dan monopoli grup bioskop raksasa, tentu saja sekarang publik jarang menemukan layar tancap. Meski begitu, menurut Ketua Perusahaan Pertunjukan Film Keliling Indonesia (Perfiki) Sonny Pudjisasono, layar tancap masih terus eksis.
“(Layar tancap) hanya akan bergeser ke pinggiran, dari area perkotaan ke rural area,” kata Sonny ketika ditemui di gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta Selatan, Rabu (23/1).
Menurutnya, animo masyarakat di berbagai daerah masih tinggi dalam menyambut pemutaran film keliling. Alasannya, kata Sonny, karena jaringan bioskop hanya tersebar di perkotaan, tidak sampai menjangkau daerah-daerah yang ada di pinggiran kota.
Dia mengaku rutin membuat pemutaran film tiap akhir pekan di daerah Tanah Tidung, Kalimantan Timur. Untuk pemutaran film di sana, menurutnya, masyarakat sangat antusias.
Gedung serba guna kecamatan yang biasa dia pakai untuk pemutaran film selalu sesak oleh warga. Paling tidak, ada 200 orang yang datang untuk menonton.
“Orang nonton layar tancap itu kan bukan hanya menikmati filmnya, tapi juga membeli suasana, membangun silaturahmi dengan kerabatnya, dengan saudara dan juga tetangga. Hal yang tidak mungkin kita dapatkan ketika menonton bioskop,” ujar Sonny.
Anggota Perfiki saat ini 1.226 orang, tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Menurut Sonny, Perfiki merupakan wadah bagi orang-orang yang memutar film keliling di berbagai daerah, dan menjamin kelancaran mereka dalam memutar film.
Termasuk melakukan pendampingan jika ada anggotanya yang tersangkut masalah hukum, seperti soal royalti dengan sutradara atau pemilik film.
Alat penerangan rakyat
Saat ini, kata Sonny, anggotanya banyak dipakai oleh instansi pemerintah untuk membantu melakukan penyuluhan di berbagai daerah. Kampanye dari pemerintah, kemudian diselipkan di sela-sela pemutaran film, agar lebih efektif menjangkau masyarakat.
“Tak hanya instansi pemerintah, tiap pemilu kita juga sering digandeng oleh caleg dan bahkan capres-cawapres,” katanya.
Mereka, kata Sonny, melihat media film masih menjadi alat yang sangat efektif untuk menjangkau masyarakat. Praktis. Tak perlu izin surat-menyurat dengan kecamatan atau kelurahan, yang makan waktu dan biaya tak sedikit.
“Dengan pemutaran film warga akan ngumpul, dan dari situ baru agenda lainnya disisipkan,” ujar Sonny.
Saat ini, pihaknya sedang berupaya untuk melakukan kerja sama dengan menggandeng Bank Rakyat Indonesia (BRI). Tujuannya, membuat basis data film Indonesia yang bisa diakses oleh para pegiat film keliling di daerah.
Sonny mengatakan, tidak semua jenis film dapat diputar di tengah masyarakat. Baginya, harus dilihat dari permintaan masyarakat itu sendiri. Biasanya, film yang sering diputar adalah film bergenre aksi atau komedi.
“Dan, film-film ini harus sudah lulus sensor terlebih dahulu,” kata Sonny.
Lebih lanjut, Sonny mengatakan, film-film yang diputar itu film yang mendidik, sekaligus menghibur. Sonny sadar betul, film memiliki peran sebagai alat propaganda, pembentuk wacana, serta budaya masyarakat.
“Masyarakat kita itu sebagian besar adalah masyarakat agraris, yang mana masih melekat budaya melihat dan mendengar. Mereka capai baca koran, sudah capai kerja dari pagi sampai malam. Di sana lah kita harus pintar-pintar cekoki apa. Ideologi ini ideologi itu,” ujarnya.
Selain itu, kata dia, publik harus sadar, bila alat untuk merusak generasi itu juga datang dari film. Maka, menurut Sonny, tidak heran Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan invasi film.
Sonny mengatakan, orang Indonesia mengenal kebudayaan Korea Selatan dari industri K-Pop, dan mengenal budaya India juga melalui film-filmnya, yang masif di Indonesia.
“Dan, kita sendiri tidak pernah menjadikan film itu alat diplomasi politik kebudayaan di dunia internasional. Di negara-negara lain, film itu dipakai sebagai alat,” ujarnya.