Kepala Lembaga Eijkman: Kami belum dilibatkan penanganan coronavirus
Angka kematian akibat coronavirus jenis baru atau Covid-19 masih terus berjatuhan. Otoritas kesehatan di Provinsi Hubei, China, Jumat (21/2), melaporkan total kematian di wilayah ini akibat coronavirus jenis baru mencapai 2.144. Ini membuat total angka kematian di China daratan menjadi 2.236 orang.
Ditambah tiga kematian di Jepang, masing-masing dua korban tewas di Iran dan Hong Kong, serta masing-masing satu kematian di Taiwan, Filipina, Prancis, dan Korea Selatan, angka kematian global menyentuh 2.247. Virus yang belum ada penangkalnya ini telah merebak di 25 negara dan menginfeksi 76.775 orang di seluruh dunia.
Di kawasan sekitar Asia, sejumlah negara sudah memastikan positif coronavirus jenis baru. Seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Australia. Indonesia telah dikepung oleh negara-negara yang positif terjangkit coronavirus jenis baru. Sampai saat ini Indonesia masih nihil coronavirus jenis baru. Dengan jumlah wisatawan dari China 2 juta per tahun, sejumlah pihak meragukan "kesaktian" Indonesia dari coronavirus baru.
Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof. Amin Soebandrio memastikan Indonesia memiliki mekanisme pencegahan dari kemungkinan masuknya virus ini. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Senin lalu (17/2), Amin memastikan kapasitas penelitian lembaga yang dipimpinnya terkait penanganan coronavirus. Lembaga yang diambil dari nama peraih nobel kedokteran, Christiaan Eijkman, ini punya peran penting dalam pengendalian pandemik flu burung yang melanda Indonesia pada 2005 silam.
Saat itu, Lembaga Eijkman bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menjalankan tindakan preventif dan antisipasi penyebaran SARS-CoV2 beserta kajian virologinya. Kepada reporter Robertus Ronny Setiawan dan videografer Chevi Azmi dari Alinea.id, Kamis (20/1), Amin secara khusus mengatakan laboratorium Eijkman menyediakan sarana mutakhir untuk mendeteksi virus-virus molekuler yang berbahaya. Kemampuan semacam ini tak banyak dimiliki oleh lembaga lain.
Dengan sarana itu, kata Amin, Lembaga Eijkman bisa menguji langsung virus ataupun menguji respons pasien yang terinfeksi coronavirus. “Tak hanya mendeteksi virus-virus molekuler, kami juga bisa melakukan pembiakan virus di dalam sel dan melakukan berbagai pengujian serologi,” kata Amin di ruang kerjanya di gedung Lembaga Eijkman, Jalan Diponegoro, Senin, Jakarta Pusat, awal pekan ini. Berikut petikan perbincangan dengan Amin:
Apa langkah Lembaga Eijkman terkait penanganan pandemik coronavirus jenis baru?
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah berupaya sekuat mungkin sesuai kapasitasnya untuk mendeteksi penyebaran 2019-nCoV di Indonesia. Kami (Lembaga Eijkman) sampai saat ini belum dilibatkan dalam pemeriksaan itu. Tentunya sebagai lembaga penelitian yang terkemuka di Indonesia, kami ingin berperan aktif. Kami sudah bersurat dengan Kemenristek untuk disampaikan kepada Kemenkes bahwa kami siap membantu untuk mendeteksi ataupun konfirmasi apabila kami dibutuhkan.
Kami di bawah Kemenristekdikti. Jadi, koordinasi haruslah antarkementerian. Kami sudah mengirimkan surat ke Kemenristekdikti. Tinggal menunggu jawaban. Jadi belum membantu secara langsung. (Di Kabinet Indonesia Maju, Kemenristekdikti dibubarkan. Urusan ristek ada di Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN, sedangkan pendidikan tinggi disatukan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).
Mengapa Lembaga Eijkman belum dilibatkan?
Saya tidak dalam posisi untuk menduga-duga. Mereka (Kemenkes) punya kebijakan sendiri. Inisiatif (kerja sama) ini dari Lembaga Eijkman. Ya, prinsipnya kami siap terlibat.
Sebagai negara beriklim tropis, diduga coronavirus sulit berkembang di Indonesia. Bagaimana potensi virus corona dapat masuk dan menyebar di Indonesia?
Kami bekerja dengan virus corona sudah sejak lama, tetapi virus corona yang lain. Sebetulnya ada 200 lebih virus corona. Hanya enam yang bisa menyerang manusia, yang ketujuh itu corona dalam kasus di Wuhan, China. Sebelum 2019-nCoV belakangan ini, virus-virus corona jenis lain diketahui sebagai virus corona yang “tak tahan banting”. Artinya virus ini sensitif terhadap suhu-suhu ekstrem, misalnya kondisi kering, sangat lembab, suhu sangat tinggi atau terlalu rendah. Tetapi ukuran dari suhu itu didasarkan penelitian terhadap virus-virus corona lain.
Khusus terhadap coronavirus jenis baru ini, belum ada data ilmiah yang khusus menguji apakah virus ini tahan terhadap suhu tinggi, kelembaban tinggi atau sebaliknya tahan terhadap kekeringan dan sebagainya. Namun intinya adalah walaupun kita tinggal di daerah tropis, kita tidak bisa mengabaikan coronavirus jenis baru.
Bagaimana pengalaman Lembaga Eijkman menangani kasus pandemik virus, seperti flu burung, SARS, dan lainnya?
Kami terlibat dalam pengendalian pandemik flu burung tahun 2005. Antara lain dengan (laboratorium) bio safety level 3 di Lembaga Eijkman khusus untuk menangani spesimen yang diduga mengandung virus-virus berbahaya. Selain itu, kami juga dilengkapi dengan sarana-sarana mutakhir untuk mendeteksi virus-virus molekuler.
Tak hanya mendeteksi virus-virus molekuler, kami juga bisa melakukan pembiakan virus di dalam sel, dan melakukan berbagai pengujian serologi. Menguji langsung virus itu sendiri atau menguji respons pasien yang terinfeksi atau terpapar virus tersebut. Kami bekerja sama dengan Bio Farma, juga peneliti dari sejumlah universitas, seperti Fakultas Teknik Universitas Indonesia untuk membuat suntikannya. Juga dengan laboratorium dari Institut Teknologi Bandung dan Universitas Airlangga.
Sejak itu, Lembaga Eijkman menjadi laboratorium rujukan, pembanding atau pengonfirmasi terhadap tes yang dilakukan oleh lembaga lain. Jadi sebelum hasil pengumuman itu keluar diumumkan kepada publik, kami saling cross-check.
Apakah metode itu juga akan diterapkan untuk mengatasi penyebaran coronavirus kali ini?
Kami harapkan demikian juga. Kami sudah siap melakukan hal itu karena kami sudah punya semuanya. Alatnya sudah punya, metodenya sudah lengkap, orangnya (peneliti) ada. Kami juga sudah sampaikan kepada Menteri Kemenristekdikti bahwa kami siap bila dibutuhkan untuk menjadi laboratorium informasi yang memberikan konfirmasi.
Kapasitas apa lagi yang dibutuhkan Indonesia untuk menangani coronavirus jenis baru?
Pertama, kita harus punya kapasitas untuk bisa mencegah dengan cara membentengi seluruh wilayah negara Indonesia di pintu-pintu masuknya. Kedua, tentu juga perlu pencegahan pada diri setiap orang atau warganegara. Ketiga, ialah kemampuan mendeteksi, baik dengan deteksi di laboratorium atau pemantauan di pintu masuk pelabuhan atau bandara. Ini adalah upaya awal untuk mendeteksi dini secara spesifik. Keempat, ialah upaya merespons.
Kalau misalnya sudah ada yang terpapar coronavirus, kita harus siap menanganinya. Kita sudah lihat Kementerian Kesehatan yang mempersiapkan 100 rumah sakit di seluruh Indonesia yang didukung sekitar lebih dari 4.000 puskesmas di seluruh Indonesia. Apabila ada kasus yang memenuhi kriteria gejala atau riwayat kontak dengan orang yang terjangkit coronavirus jenis baru, termasuk di mana saja, diharapkan bisa terdeteksi. Memang wilayah Indonesia begitu luas, tetapi kita sudah punya perangkatnya untuk bisa mendeteksi secara tahapan awal.
Bagaimana upaya ini dapat dipraktikkan dan melalui peran pihak mana saja?
Pemeran utama tentu saja Kementerian Kesehatan yang berkoordinasi dengan sektor-sektor lain. Apalagi untuk ancaman pandemik yang disebabkan oleh mikroba yang bersifat zoonosis. Artinya suatu virus itu bisa menyerang hewan dan manusia, juga penularan virus dapat berlangsung dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Maka setidaknya kita juga harus berkoordinasi dengan lembaga di sektor pertanian dan peternakan untuk menangani pasien atau hewan yang terinfeksi.
Lalu karena ini masalah besar, maka kita juga perlu melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di pusat maupun daerah. Juga lembaga lain di sektor keamanan. Beberapa tahun lalu kita juga sudah membuat “Pedoman Antisipasi Koordinasi Kejadian Luar Biasa Lintas Sektoral”.
Apa saja gejala orang yang terjangkit coronavirus jenis baru?
Coronavirus jenis baru ini bisa menyerang manusia karena dia mengenali reseptor berupa HC2 yang sebagian besar berada di saluran pernafasan, tetapi juga ada di saluran pencernaan dan pembuluh darah, juga jantung. Apabila virusnya masuk melalui mulut lalu tertelan dan mengenai reseptor yang ada di saluran pencernaan, maka gejalanya adalah diare. Memang berdasarkan penelitian, coronavirus jenis baru bisa ditemukan dalam feses manusia. Jadi penularannya dimungkinkan melalui jalur atau siklus fecal-oral.
Fecal-oral itu jalur penyebaran dari feses atau kotoran masuk ke organ mulut. Misalnya, seseorang membuang air besar tetapi tidak mencuci tangan dengan bersih, lalu menyentuh barang-barang tertentu sehingga kumannya menyebar pada orang lain yang menyentuh alat-alat itu. Selanjutnya virus bisa masuk melalui mulut saat orang lain itu makan atau minum.
Namun, penularan coronavirus jenis baru ini dominan terjadi melalui kontak pada saluran pernafasan karena reseptor sebagian besar terletak di saluran pernafasan. Misal di bagian depan atau belakang organ hidung, saluran pernafasan atas ataupun bawah.
Berapa lama masa inkubasi coronavirus jenis baru?
Sampai saat ini masa inkubasi coronavirus jenis baru ialah sekitar 2–3 hari sampai maksimum 14 hari. Walaupun belakangan ada dugaan kuat bisa lebih panjang daripada jangka waktu itu. Pada umumnya masa inkubasi yang ditentukan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah 14 hari.
Sudah cukupkah langkah Pemerintah Indonesia menangani coronavirus jenis baru?
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan sudah mempersiapkan semuanya. Hanya saja langkah kita tidak seketat di luar negeri karena di Indonesia belum ada kasus positif coronavirus jenis baru. Tak ada satupun warga di Indonesia yang termasuk positif (terjangkit).
Tetapi bukan berarti kita tidak ada upaya. Kita lihat ada kesiapsiagaan, mereka selalu waspada, yaitu berupa penerapan thermal scanner (pemindai suhu tubuh) di pintu-pintu masuk pelabuhan atau bandara. Juga semua penumpang diidentifikasi berasal dari mana. Sudah ada pencegahan yang cukup oleh pemerintah dari pintu-pintu masuk pelabuhan dan bandara.
Itu salah satu bentuk kesiapsiagaan. Kementerian Kesehatan sendiri sudah menetapkan status Siaga I untuk coronavirus jenis baru ini. Namun, tentu kita belum bisa meminta seluruh masyarakat untuk, misalnya, dalam satu hari memakai masker. Kalau masyarakat sudah diimbau seperti itu, seolah-olah sudah ada kasusnya. Padahal, kita belum menemukan kasusnya.
Penelitian dari Harvard University menyebut ketiadaan kasus corona virus di Indonesia karena kemungkinan tidak terdeteksi. Riset itu juga menduga di Indonesia semestinya sudah muncul kasus penyebaran coronavirus di sini. Menurut Anda?
(Penelitian Harvard University memperkirakan terdapat kasus coronavirus dengan lebih dari penghitungan 95% interval prediksi [PI] di negara yang memiliki penerbangan langsung dari Wuhan, termasuk Indonesia.) Penelitian yang dilakukan Harvard University itu kan prediksi yang dilakukan pada pertengahan Januari 2020, ketika lalu lintas penumpang di bandara atau pelabuhan masih normal, dengan belum ada kebijakan penutupan jalur. Lalu satu-dua minggu setelah itu ada perubahan drastis, termasuk dilakukan Indonesia dengan pembatasan jalur masuk warga negara lain, terutama yang berangkat dari China. Termasuk juga (jalur penerbangan ke) Wuhan ditutup sama sekali, bahkan penerbangan dari Tiongkok dicegah. Maka kondisi dalam dua minggu kemudian sudah banyak berubah.
Selain itu, prediksi itu boleh saja. Prediksi itu diperlukan untuk membuat kita siap, membuat kita waspada. Sekali lagi, prediksi itu bukan dogma yang harus diyakini atau harus ada. Namanya juga prediksi. Prediksi itu ramalan, tak selalu ramalan itu sesuai dengan keadaannya.
Sudahkah ada penemuan vaksin untuk menyembuhkan penyakit akibat coronavirus jenis baru?
Saat ini belum ada obat atau vaksin spesifik untuk coronavirus jenis baru. Beberapa institusi di negara lain sudah berusaha membuatnya. Di Indonesia pun kita sudah mulai membahasnya, bagaimana kita harus menyikapi untuk membuat vaksin. Kita sudah melakukan pembicaraan dengan Bio Farma, misalnya. Membuat vaksin itu membutuhkan waktu cukup lama. WHO saja memprediksi sekitar 18 bulan untuk membuat vaksin ini.
Bio Farma itu BUMN yang mempersiapkan pembuatan vaksin, antara lain vaksin polio dan flu burung. Itu yang sedang kita coba kerjasamakan. Nanti kalau sudah di hilir, dari aspek industrialisasinya, harus ada perusahaan yang menampung untuk mendistribusikannya. Lembaga Eijkman berperan pada penelitian dasarnya saja.
Sebelum vaksin ini ada, kita bisa meningkatkan kekebalan tubuh, baik kekebalan tubuh spesifik maupun non-spesifik. Langkah spesifik ialah dengan menggunakan pemberian vaksin. Sementara itu, upaya kekebalan tubuh non-spesifik ialah menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh, dan mencegah kontak fisik. Artinya menjaga kebersihan dan kesehatan tubuh itu harus diterapkan. Contohnya rajin mencuci tangan.
Kalau bisa juga menghindari daerah-daerah yang tertular. Misalnya sekarang banyak pertemuan internasional ditunda, perjalanan wisata juga ditunda. Karena memang risiko bila masuk mengunjungi daerah yang sudah tersebar atau tertular akan lebih tinggi daripada berada di dalam wilayah Indonesia sendiri. Masyarakat perlu memahami itu. Upaya pencegahan nonspesifik ini perlu kita terapkan. Selama kekebalan tubuh kita bagus, Insyaallah risiko infeksinya kecil.