Lumpur saat pembukaan dan aksi para pencuri di Jakarta Fair 1968
Semasa kanak-kanak, Ali Sadikin kerap mendengar cerita ramainya pasar malam, seperti Pasar Gambir di Batavia, Jaarbeurs di Bandung, dan Jaarmarkt di Surabaya. Suatu hari, ketika menginjak usia remaja, pamannya berniat mengajaknya pelesir ke Batavia, mengunjungi Pasar Gambir. Dirinya senang bukan main.
Namun, apa mau dikata. Ia gagal berangkat karena Perang Dunia II pecah. Balatentara Jepang keburu menduduki Indonesia pada 1942. Pasar Gambir pun tinggal nama.
Mewujudkan acara pameran terbesar
Saat menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 1966, Ali teringat kenangan itu. Ia ingin mewujudkan kembali sebuah acara besar serupa Pasar Gambir yang sudah tiada. Niatnya itu mengemuka pada 1967.
Gagasan membuat acara semacam itu sesungguhnya sudah ada sejak 1961, tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 1961. Perpres tersebut, menurut buku Gita Jaya (1977), mengatur penyelenggaraan pekan raya yang pelaksanaannya dibebankan kepada Lembaga Pameran dan Pekan Raya Indonesia (LEPPRI), langsung di bawah Wakil Perdana Menteri III.
“Untuk keperluan pekan raya internasional waktu itu telah disiapkan tanah seluas sekitar 40 hektare di samping Museum Satria Mandala,” kata Ali dalam buku Gita Jaya.
“Persiapan yang dilakukan kemudian terhenti berkenaan dikeluarkannya Instruksi Presiden No.04/64 yang menyatakan tempat tersebut harus diserah terimakan kepada LPPRI.”
Akan tetapi, Gagasan membuat pekan raya di Jakarta tak terwujud lantaran LEPPRI dibubarkan. Ali, menurut penuturannya dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta, 1966-1977 (1993) yang ditulis Ramadhan KH, sempat mengutarakan niatnya membuat sebuah pekan raya kepada pemerintah pusat.
“Tapi, ide yang saya sampaikan ke pusat terkesan disambut melempem,” ujar Ali.
Bukan Ali namanya kalau tidak koppig alias keras kepala—salah satu alasan mengapa Bung Karno menunjuknya menjadi orang nomor satu di Jakarta. Ide itu ia wujudkan sendiri.
Demi menginisiasi ide itu, pada Juli 1967, Ali memanggil unsur pimpinan perusahaan swasta, koperasi, dan perusahaan negara untuk berdiskusi membentuk Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jaya. Pada Oktober 1967, Kadin Jaya terbentuk dengan Sjamsuddin Mangan sebagai pimpinannya.
Kadin Jaya inilah yang ditunjuk mengerjakan proyek besar even yang kemudian disebut Jakarta Fair. Kadin Jaya mulai bekerja sejak awal Januari 1968.
“Sjamsuddin menyulap sebuah padang rumput tak terawat di sudut tanah Lapangan Merdeka, diubah menjadi bakal arena pekan raya,” kata Ali dalam buku yang sama.
Takdir tak dapat dihindari. Dua bulan sebelum penyelenggaraan, tepatnya pada 13 April 1968, Sjamsuddin meninggal dunia. Rencana jalan terus. Posisinya digantikan Usmar Ismail. Terwujudlah Jakarta Fair pertama, yang digelar pada 15 Juni-15 Juli 1968, dengan harga karcis masuk Rp25.
“Untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia ke-II, suatu fair diadakan di pusat kota, yakni Lapangan Merdeka. Sebelum perang, semua mengenal adanya Pasar Gambir yang letaknya juga di Lapangan Merdeka sekarang,” tulis Mingguan Djaja, 8 Juni 1968.
Jakarta Fair itu diadakan untuk memeriahkan peringatan hari jadi Kota Jakarta ke-441. Acara itu, menurut Ali, digelar di lahan seluas 11 hektare. Namun, Mingguan Djaja menyebut, lahannya sekitar tujuh hektare.
Ali mengatakan, Jakarta Fair pertama tersebut diikuti 160 peserta, terdiri dari pengusaha nasional dan luar negeri, departemen-departemen, pemda-pemda, dan badan atau lembaga. Tapi, catatan Mingguan Djaja menyebut, Jakarta Fair diikuti 225 unit peserta, ditambah beberapa unit kecil, total 300 unit.
Selain pameran aneka produk, Jakarta Fair juga menghadirkan berbagai hiburan. “Setiap malam, tiga buah bioskop akan selalu memutar film, di ujung dekat Monas akan ada panggung joget untuk tua dan muda, serta panggung kesenian daerah,” tulis Mingguan Djaja, 8 Juni 1968.
Ada pula permainan ketangkasan berhadiah dan judi lotto. Terdapat juga arena khusus bagi mereka yang ingin menikmati hiburan musik, seperti Varia Sweet Corner dan Oriental Show.
“Umumnya (yang masuk area hiburan musik) hanya golongan berduit. Mereka harus membeli karcis (lagi) dengan tarif minimal Rp150,” tulis Kompas, 8 Juli 1968.
Disebutkan Kompas edisi 17 Juni 1968, Jakarta Fair menelan biaya tak kurang Rp45 juta. Biaya itu sebagian besar berasal dari hwa hwe, yang menurut Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018) adalah judi paling populer dimainkan warga kelas bawah. Nilai investasi Jakarta Fair perdana itu, sebut Ali dalam Mingguan Djaja edisi 22 Juni 1968, diprediksi mencapai Rp450 juta.
Menurut Ali, selain sebagai wadah pameran dan promosi perdagangan, Jakarta Fair dimaksudkan sebagai usaha Pemda DKI Jakarta untuk menambah dan mencukupi tempat-tempat hiburan serta rekreasi yang sehat dan murah.
Sementara menurut Arrahman Prayitno, Trubus Rahardiansah P. Harja, dan Chris Siner Key Timur dalam Ali Sadikin: Visi dan Perjuangan sebagai Guru Bangsa (2004), penyelenggaraan Jakarta Fair menekankan upaya Pemda DKI agar warga meningkatkan apresiasi hasil kebudayaan, kerajinan, dan kesenian secara lebih baik.
“Sebab, Ali menyadari selama ini warga sangat rendah dalam memberi apresiasi terhadap pengembangan nilai kebudayaan, kesenian, dan industri pariwisata budaya,” tulis Arrahman dkk.
Di kemudian hari, Ali mengganti nama Jakarta Fair jadi Pekan Raya Jakarta (PRJ). Alasannya, ia ingin mengurangi sebutan dalam bahasa asing di Jakarta. Maka, PRJ tersebut pun lekat sebagai nama lain Jakarta Fair.
Banyak pencoleng dan wartawan amplop
Meski menurut Bang Ali tanggapan pusat “melempem” kala ia mengemukakan niat menyelenggarakan Jakarta Fair, tetapi pemerintah pusat juga yang membuka helatan yang kemudian diadakan setahun sekali itu. Pada 15 Juni 1968, Jakarta Fair dibuka secara resmi oleh Presiden Soeharto. Pejabat-pejabat pusat dan perwakilan kedutaan pun datang sebagai tamu undangan.
Tanggapan pemerintah pusat yang sebelumnya tak antusias, sempat membuat Ali kesal. Ia mengungkapkan kekecewaannya lewat pers.
“Ambil oper kalau pemerintah pusat mau. Ambil! Ambil!” ujar Ali dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta, 1966-1977.
Menurut Kompas edisi 17 Juni 1968, dalam upacara pembukaan itu, para tamu dibuat risih dengan tanah becek mirip kubangan lumpur karena hujan mengguyur Jakarta dari siang hingga sore. Para pejabat yang hadir mesti rela duduk dengan kaki telanjang yang terbenam di dalam lumpur selama dua jam.
“Air hujan yang menggenangi tempat itu belum sempat meresap ke dalam tanah hingga menimbulkan lumpur tebal setinggi tumit kaki,” tulis Kompas.
Bukan hanya upacara pembukaannya yang sudah menimbulkan ketidaknyamanan para tamu undangan. Dalam perhelatannya selama sebulan, Jakarta Fair dicoreng berbagai kejadian.
Salah satunya, Jakarta Fair dijadikan bahan objek wartawan mata duitan. Kompas edisi 6 Juli 1968 menulis, ada seorang wartawan yang melakukan wawancara pada sebuah stan. Namun, keesokan harinya, wartawan itu datang lagi setelah hasil wawancara dimuat.
“Tahu-tahu si wartawan itu menyodorkan sebuah kuitansi Rp25.000 yang harus dibayar stan tersebut sebagai uang transportasi wawancara,” tulis Kompas.
Padahal, wartawan yang bertugas di Jakarta Fair sudah disediakan uang dari panitia sejumlah Rp54.000 untuk sepekan. Menurut Kompas, rinciannya Rp30.000 untuk wartawan DKI Jaya, Rp18.00 untuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) seksi ekonomi, dan selebihnya untuk humas Jakarta Fair.
Walau dikatakan pengamanan di arena Jakarta Fair ketat, tetapi tindak kriminal tetap terjadi. Yang mencengangkan, ada seorang pemain lotto dirampok hasil kemenangannya di dalam arena Jakarta Fair.
“Tentu saja hal ini membuat shock petugas keamanan,” tulis Kompas, 22 Juni 1968.
“Shock ini tentu bertambah lagi karena kemarin malam si tangan jahil yang rupanya sudah mulai aktif di dalam arena ini berhasil menggegerkan stan-stan si kaya.”
Beberapa penjaga stan mengaku kemalingan. Misalnya saja, dikutip dari Kompas edisi 22 Juni 1968, stan Honda yang memamerkan produk terbaru berupa mobil, sepeda motor, generator, dan alat-alat pertanian. Stan produk otomotif asal Jepang itu kehilangan generator kecil dan wiper kaca mobil yang dipamerkan, dicuri kawanan pencoleng.
Stan lainnya, seperti Sanyo dan Pertiwi juga mengaku barangnya dicuri maling. Pertiwi melaporkan kehilangan beberapa lembar kain batik yang mutunya cukup tinggi.
“Walaupun Kota Jakarta ini terkenal sudah aksi pencolengnya, namun di dalam arena Jakarta Fair, di mana terjadi pencurian-pencurian pada stan-stan asing dan mengingat mendapat penjagaan ketat, hal ini sangat memalukan,” tulis Kompas.
Akibatnya, di tengah masih berlangsungnya penyelenggaraan, dalam tubuh Jakarta Fair dilakukan pemecatan beberapa petugas. “Terutama mereka yang memegang fungsi penting,” tulis Kompas, 8 Juli 1968.
Pada 1970, Ali pernah menginginkan PRJ diadakan di Ancol, Jakarta Utara. Menurutnya, dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta, 1966-1977, ia sudah menyiapkan tanah seluas 40 hektare di dalam lingkungan daerah kerja proyek Ancol untuk kompleks PRJ.
“Pemindahan PRJ dari Lapangan Monas ke daerah itu, menurut perkiraan kami waktu itu, baru akan dilaksanakan sesudah tahun 1983 di mana sarana dan fasilitas untuk itu telah memungkinkan,” ujar Bang Ali.
Namun, dalam perkembangannya, PRJ akhirnya digelar di bekas Bandara Kemayoran, Jakarta Pusat—yang sekarang Jakarta Internasional Expo (JIExpo)—sejak 1992. Saat itu, pengelolaannya beralih dari Pemda DKI Jakarta ke swasta PT Jakarta International Tradefair Corporation (JITC).
Menurut Dirut JITC—sebuah perusahaan pemilik dan pengelola PRJ Kemayoran—Soekardjo Hardjosoewirjo, seperti dikutip dari tulisan Max Wangkar dan Bambang Sujatmoko dalam artikel “Boyong ke Kemayoran” di Tempo, 20 Juni 1992, alasan pemindahan karena fasilitas gedung baru yang sedang dibangun di Kemayoran jauh lebih baik ketimbang arena pameran dagang di Hong Kong dan Taipei.
Sedangkan bekas area PRJ di Lapangan Monas sudah diratakan untuk dihijaukan kembali. Soal pendanaan, pihak pengelola cenderung tertutup. Tulis Max dan Bambang, pembangunan kompleks PRJ Kemayoran ini diwarnai tiga isu besar di Jakarta dan Tokyo, yakni mengenai keterlibatan Pemda DKI Jakarta sebagai pemilik saham di JITC, soal Summa Group sebagai salah satu pemodal yang terancam bangkrut, dan isu dikaitkannya skandal korupsi Wakil Perdana Menteri Jepang M. Watanabe dengan JITC.
“Seperti diketahui, PRJ Kemayoran bukan lagi milik Pemda Jakarta, tapi milik suatu perusahaan konsorsium swasta. Para pemegang saham JITC juga terdiri dari suatu konsorsium pemerintah dan swata nasional, serta pemerintah dan swasta Jepang,” tulis Max dan Bambang.