close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Calon Wakil Presiden nomor urut 01 Maruf Amin memberikan pidato politiknya kepada relawan Jokowi-Maruf Amin saat kampanye di Desa Cigugur Girang, Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Minggu (20/1). /Antara Foto.
icon caption
Calon Wakil Presiden nomor urut 01 Maruf Amin memberikan pidato politiknya kepada relawan Jokowi-Maruf Amin saat kampanye di Desa Cigugur Girang, Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Minggu (20/1). /Antara Foto.
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 21 Januari 2019 20:18

Makna di balik sarung Ma'ruf Amin

Sarung identik dengan kaum Nahdliyin sejak dahulu. Ma'ruf Amin menerapkan cara berpakaian seperti itu.
swipe

Di antara pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan bertarung pada pemilihan umum (pemilu) April 2019 mendatang, cara berbusana Ma’ruf Amin paling menonjol. Ke manapun dan di manapun, Ma’ruf tak melepaskan sarungnya. Bahkan, ketika debat capres-cawapres 17 Januari 2019 lalu, Ma’ruf tetap memakai sarung.

Dalam keseharian, kita pun kerap melihat orang memakai sarung. Bukan hanya untuk salat, tapi saat santai atau beraktivitas di lingkungan rumah.

Guru besar Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Sukron Kamil mengatakan, keberadaan sarung tak bisa lepas dari pengaruh budaya India yang masuk membawa agama Hindu sekitar abad ke-4.

Penggunaannya dalam tradisi agama Hindu bisa dilihat dalam masyarakat Hindu di Bali kini, yang sehari-hari masih mengenakan sarung.

“Coba lihat India, hingga detik ini (masyarakatnya) masih pakai sarung. Demikian juga kalau Anda lihat orang Hindu di Bali yang ke sawah, sembari mengurus anak babi pakai sarung,” kata Sukron saat dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (18/1).

Menurut Sukron, sarung sudah menjadi alat pelengkap hidup masyarakat yang mendiami Nusantara sejak lama. Lambat laun dikenakan juga kaum muslim, saat Islam masuk dan berkembang di Nusantara.

Kaum sarungan dan keseharian Ma’ruf

Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan Ma'ruf Amin mengambil undian pertanyaan saat debat pertama Pilpres 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1). (Antara Foto).

Di masa pergerakan nasional tahun 1920-an, menurut Sukron, sarung sempat dijadikan sebagai identitas politik para kaum Nahdliyin, untuk membedakan kelompok mereka dengan kaum nasionalis sekuler dan kolonial—yang kerap memakai jas dan dasi.

“Kaum Nahdliyin dari dulu dikenal sebagai kaum sarungan,” ujar Sukron.

Sukron mencontohkan, sarung melekat pada Hasjim Asy’arie (pendiri Nahdlatul Ulama) dan intelektual sekaliber Haji Agus Salim. Sukron melanjutkan, sarung hingga kini masih dikenakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU), seperti calon wakil presiden nomor urut 01 Ma’ruf Amin.

"Ma’ruf Amin yang dari NU itu, saya lihat memang tak ingin menghilangkan identitasnya. Dia mengisyaratkan ‘kalau saya jadi wakil presiden tak harus menghilangkan identitas saya’," katanya.

Meski begitu, Sukron tak sepakat anggapan yang mengatakan, Ma’ruf mengenakan sarung dipengaruhi kepentingan politik. Sebab, kata dia, mengenakan sarung oleh cawapres nomor urut 01 itu semata-mata dipengaruhi faktor budaya asal Ma’ruf.

Berbeda dengan Joko Widodo. Menurut Sukron, Jokowi mengenakan sarung, lebih dipengaruhi kultur Jawa.

"Jadi, bukan karena politik, untuk menunjukkan Jokowi pro-Islam, seperti hoaks yang belakangan beredar, yang menafsirkan Jokowi anti-Islam. Jokowi ataupun Ma'ruf Amin pakai sarung bukan untuk meng-counter itu, tapi lebih ke faktor budaya,” ujarnya.

Dalam keseharian, Ma’ruf pun mengenakan sarung. Hal itu diungkapkan salah seorang anak Ma’ruf, Siti Ma’rifah.

“Abah (Ma’ruf Amin) memang seperti itu (mengenakan sarung). Beliau akan berpakaian seperti itu, seperti kesehariannya,” kata Siti saat dihubungi, Jumat (18/1).

Hal senada pun disampaikan anak Ma’ruf Amin lainnya, Ahmad Syauqi. Dia mengatakan, busana yang dikenakan ayahnya saat debat capres-cawapres sangat cocok dan sesuai dengan karakter pasangannya, Jokowi.

"(Sarung) sangat menyesuaikan dengan apa yang dikenakan (pakaian) Pak Jokowi, saling menyesuaikan Abah dengan Pak Jokowi," ujarnya ketika dihubungi, Jumat (18/1).

Di antara pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan bertarung pada pemilihan umum (pemilu) April 2019 mendatang, cara berbusana Ma’ruf Amin paling menonjol. Ke manapun dan di manapun, Ma’ruf tak melepaskan sarungnya. Bahkan, ketika debat capres-cawapres 17 Januari 2019 lalu, Ma’ruf tetap memakai sarung.

Dalam keseharian, kita pun kerap melihat orang memakai sarung. Bukan hanya untuk salat, tapi saat santai atau beraktivitas di lingkungan rumah.

Guru besar Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Sukron Kamil mengatakan, keberadaan sarung tak bisa lepas dari pengaruh budaya India yang masuk membawa agama Hindu sekitar abad ke-4.

Penggunaannya dalam tradisi agama Hindu bisa dilihat dalam masyarakat Hindu di Bali kini, yang sehari-hari masih mengenakan sarung.

“Coba lihat India, hingga detik ini (masyarakatnya) masih pakai sarung. Demikian juga kalau Anda lihat orang Hindu di Bali yang ke sawah, sembari mengurus anak babi pakai sarung,” kata Sukron saat dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (18/1).

Menurut Sukron, sarung sudah menjadi alat pelengkap hidup masyarakat yang mendiami Nusantara sejak lama. Lambat laun dikenakan juga kaum muslim, saat Islam masuk dan berkembang di Nusantara.

Kaum sarungan dan keseharian Ma’ruf

Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan Ma'ruf Amin mengambil undian pertanyaan saat debat pertama Pilpres 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1). (Antara Foto).

Di masa pergerakan nasional tahun 1920-an, menurut Sukron, sarung sempat dijadikan sebagai identitas politik para kaum Nahdliyin, untuk membedakan kelompok mereka dengan kaum nasionalis sekuler dan kolonial—yang kerap memakai jas dan dasi.

“Kaum Nahdliyin dari dulu dikenal sebagai kaum sarungan,” ujar Sukron.

Sukron mencontohkan, sarung melekat pada Hasjim Asy’arie (pendiri Nahdlatul Ulama) dan intelektual sekaliber Haji Agus Salim. Sukron melanjutkan, sarung hingga kini masih dikenakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU), seperti calon wakil presiden nomor urut 01 Ma’ruf Amin.

"Ma’ruf Amin yang dari NU itu, saya lihat memang tak ingin menghilangkan identitasnya. Dia mengisyaratkan ‘kalau saya jadi wakil presiden tak harus menghilangkan identitas saya’," katanya.

Meski begitu, Sukron tak sepakat anggapan yang mengatakan, Ma’ruf mengenakan sarung dipengaruhi kepentingan politik. Sebab, kata dia, mengenakan sarung oleh cawapres nomor urut 01 itu semata-mata dipengaruhi faktor budaya asal Ma’ruf.

Berbeda dengan Joko Widodo. Menurut Sukron, Jokowi mengenakan sarung, lebih dipengaruhi kultur Jawa.

"Jadi, bukan karena politik, untuk menunjukkan Jokowi pro-Islam, seperti hoaks yang belakangan beredar, yang menafsirkan Jokowi anti-Islam. Jokowi ataupun Ma'ruf Amin pakai sarung bukan untuk meng-counter itu, tapi lebih ke faktor budaya,” ujarnya.

Dalam keseharian, Ma’ruf pun mengenakan sarung. Hal itu diungkapkan salah seorang anak Ma’ruf, Siti Ma’rifah.

“Abah (Ma’ruf Amin) memang seperti itu (mengenakan sarung). Beliau akan berpakaian seperti itu, seperti kesehariannya,” kata Siti saat dihubungi, Jumat (18/1).

Hal senada pun disampaikan anak Ma’ruf Amin lainnya, Ahmad Syauqi. Dia mengatakan, busana yang dikenakan ayahnya saat debat capres-cawapres sangat cocok dan sesuai dengan karakter pasangannya, Jokowi.

"(Sarung) sangat menyesuaikan dengan apa yang dikenakan (pakaian) Pak Jokowi, saling menyesuaikan Abah dengan Pak Jokowi," ujarnya ketika dihubungi, Jumat (18/1).

Politik sarung

Citra kalangan NU yang mengenakan sarung, tak bisa dilepaskan dari sosok para ulama di Indonesia dahulu. Sarung adalah identitas.

Tokoh NU Abdul Wahab Chasbullah pernah diundang ke Istana Merdeka oleh Presiden Sukarno. Sebelumnya, menurut aturan protokoler Wahab diminta datang ke istana memakai setelah lengkap jas, kemeja, dan dasi.

Saat tiba di istana, Wahab malah memakai setelan atas jas dan bawahan sarung, bukan celana. Penonjolan identitas sarung ini menunjukkan, dia ingin mengedepankan sarung sebagai identitas diri bangsa Indonesia. Sama halnya seperti Sukarno yang mempopulerkan peci sebagai warisan Indonesia di mata dunia.

Meski membenarkan sarung ulama dan santri tidak bisa dipisahkan, Redaktur NU Online Hamzah Sahal mengatakan, pemilihan sarung sebagai pakaian Ma’ruf tetap ada unsur politis.

“Saya kira jelas sekali, di Indonesia pemilih muslim terbanyak datang dari kalangan NU,” katanya saat dihubungi, Senin (21/1).

Bagi Hamzah, pemilihan sarung ini untuk menjangkau kalangan masyarakat yang lebih luas. Katanya, sarung ini lebih egaliter.

Capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin tiba untuk mengikuti debat pertama Pilpres 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1). (Antara Foto).

Pilihan busana Ma’ruf

Hamzah menyoroti corak sarung yang dikenakan Ma’ruf. Dari segi pemilihan warna, sarung yang dikenakan Ma’ruf cenderung lembut, berbahan yang tipis dan ringan, serta mengikuti motif yang lagi tren sekarang.

“Saya kira juga sarungnya Kiai Ma’ruf itu berbahan dasar tipis, sutra, dan lingkar pinggangnya juga pas,“ ujarnya.

Menurut Hamzah, sarung yang kerap dikenakan Ma’ruf merupakan merek BHS, diproduksi di Kediri, Jawa Timur. “Kisaran harganya Rp400.000 hingga Rp1 juta,” kata dia.

Hanya saja, kata Hamzah, cara berbusana Ma’ruf masih terbilang kaku. Aktivis NU ini mengatakan, seharusnya gaya berbusana Ma’ruf bisa digonta-ganti.

“Misalnya, dengan menggunakan sarung bermotif batik, dan kemeja putih lengan pendek, atau menggunakan kaus, seperti Gus Dur dulu, kayaknya cocok juga,” ujarnya.

Kombinasi berpakaian ini, lanjut Hamzah, bisa menghilangkan kesan kaku Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu di hadapan publik. Dia mengatakan, belum pernah melihat Ma’ruf memakai sarung bermotif batik. Menurutnya, motif batik juga bagus digunakan dalam acara-acara formal, agar tidak monoton.

Sementara itu, pengamat busana Franka Soeria berpendapat, gaya berpakaian Ma’ruf dengan sarungnya merupakan upaya yang jujur. Menurut dia, gaya berbusana Ma’ruf yang sekarang, sama dengan gaya berbusananya sebelum ikut dalam pertarungan memperebutkan kursi wakil presiden.

Franka mengatakan, sarung dan peci adalah identitas yang melekat dalam diri para ulama, seperti Ma’ruf. Dia menambahkan, penggunaan sarung oleh Ma’ruf diharapkan dapat mengangkat pakaian ini setara dengan kimono dari Jepang atau kaftan dari Maroko.

“Sarung sekarang sudah mulai dikembangkan menjadi item fashion yang stylish buat semua, agar Indonesia punya identitas fashion sendiri,” kata Franka saat dihubungi, Senin (21/1).

Pemilihan motif dan warna sarung yang dikenakan Ma’ruf, menurut Franka, juga terbilang bagus.

“Saya kira Pak Kiai (Ma’ruf) cukup pintar memilih. Terkadang kalau jas dan syal putih, sarungnya dipilih yang warna muda, dan sebaliknya. He knows hot to mix and match,” ujarnya.

Hanya saja, Franka memiliki sedikit catatan dari gaya berpakaian Ma’ruf. Menurutnya, sebagai calon wakil presiden, dia tetap harus mengikuti kaidah formal berpakaian. Terutama soal sandal. Untuk kegiatan kenegaraan, menurut Franka, jika terpilih menjadi wakil presiden nanti, Ma’ruf harus tetap menggunakan sepatu.

“Karena dalam hubungan internasional, sandal masih identik dengan gaya santai,” kata Franka.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Nanda Aria Putra
Reporter
img
Robi Ardianto
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan