close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi seorang anak digendong ibunya di Tibet./Foto liming0759/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi seorang anak digendong ibunya di Tibet./Foto liming0759/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 28 Oktober 2024 06:19

Manusia berevolusi dengan cepat di Tibet yang punya kadar oksigen rendah

Adaptasi fisiologis yang luar biasa memungkinkan perempuan Tibet bereproduksi dengan baik di ketinggian.
swipe

Beberapa pendaki gunung, mungkin bakal terserang penyakit ketinggian, yang gejalanya sesak napas, mual, dan pusing, sebagai reaksi terhadap penurunan tekanan atmosfer yang signifikan—lebih sedikit oksigen yang dihirup setiap kali bernapas. Akan tetapi, di dataran tinggi Tibet yang memiliki kadar oksigen di udara jauh lebih rendah, manusia malah bisa melanjutkan keturunan dengan baik.

Sebuah penelitian baru yang dikerjakan para peneliti dari Case Western Reserve University dan George Mason University, terbit di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) (21 Oktober, 2024) mengungkap, adaptasi fisiologis yang luar biasa memungkinkan perempuan Tibet bereproduksi dengan baik di ketinggian—tempat kebanyakan orang bakal kesulitan bernapas. Penelitian ini memberikan gambaran menarik terkait evolusi manusia.

Para peneliti melakukan riset terhadap 417 perempuan Tibet berusia antara 46 dan 86 tahun yang tinggal di Upper Mustang, Nepal, pada ketinggian 12.000-14.000 kaki. Di ketinggian tersebut, udara hanya mengandung sekitar 40% oksigen.

Peserta penelitian memberi informasi tentang riwayat reproduksi mereka, termasuk jumlah kehamilan dan kelahiran. Selain itu, tim peneliti mengumpulkan data tentang fisiologi mereka, termasuk fungsi jantung, paru-paru, kadar oksigen, dan sampel genetik.

Tujuannya untuk melihat apakah ciri fisik tertentu—terutama yang terkait dengan pengiriman oksigen dan kesehatan kardiovaskular—berhubungan dengan jumlah anak yang dimiliki perempuan tersebut selama hidup mereka. Penelitian ini menggunakan statistik tradisional dan teknik modern, seperti pembelajaran mesin untuk menganalisis hubungan antara ciri-ciri ini dan keberhasilan reproduksi.

Hasilnya, penelitian tersebut menemukan, perempuan dengan jumlah melahirkan terbanyak punya kadar oksigen yang lebih baik dan kesehatan kardiovaskular yang lebih kuat. Perempuan-perempuan ini memiliki keseimbangan antara hemoglobin (bagian darah yang membawa oksigen) dan saturasi oksigen (seberapa banyak oksigen yang dibawa darah). Terlalu banyak atau terlalu sedikit dari keduanya, dapat menurunkan jumlah anak yang dimiliki seorang perempuan. Kombinasi yang terbaik adalah jumlah hemoglobin sedang dan saturasi oksigen tinggi.

Selain itu, perempuan dengan fungsi jantung yang kuat, terutama mereka yang jantungnya memompa darah secara efisien, memiliki lebih banyak anak. Hal ini menunjukkan, pengiriman oksigen yang baik dan kesehatan jantung merupakan kunci keberhasilan reproduksi di dataran tinggi.

Dengan kata lain, perempuan Tibet sukses mempertahankan kadar hemoglobin rata-rata sambil mencapai saturasi oksigen yang lebih tinggi dalam darah mereka. Kompromi biologis yang cerdas ini memungkinkan tubuh mereka untuk menyalurkan lebih banyak oksigen ke jaringan vital, tanpa membuat darah mereka lebih kental yang akan memaksa jantung mereka bekerja lebih keras.

“Ini adalah kasus seleksi alam yang terus berlangsung. Perempuan Tibet telah berevolusi dengan cara menyeimbangkan kebutuhan oksigen tubuh tanpa membebani jantung,” ujar antropolog di Case Western Reserve University yang juga bagian dari tim peneliti, Cynthia M. Beall, dikutip dari StudyFinds.

Menurut Science Alert, selama lebih dari 10.000 tahun wilayah itu dihuni, tubuh orang-orang yang tinggal di sana telah berubah sedemikian rupa, sehingga memungkinkan para penghuninya memanfaatkan atmosfer sebaik-baiknya, yang bagi kebanyakan manusia akan mengakibatkan tidak cukupnya oksigen yang dikirim lewat sel-sel darah ke jaringan tubuh. Hal ini merupakan suatu kondisi yang dikenal sebagai hipoksia.

Keberhasilan reproduksi merupakan salah satu penanda dari “kebugaran” evolusioner. Ciri-ciri yang memaksimalkan keberhasilan individu dalam lingkungan tertentu, kemungkinan besar ditemukan pada perempuan yang mampu bertahan dari tekanan kehamilan dan persalinan.

Para perempuan ini punya kemungkinan lebih besar melahirkan lebih banyak bayi. Bayi-bayi tersebut mewarisi sifat-sifat kemampuan bertahan hidup dari ibu mereka, juga memiliki kemungkinan lebih besar untuk bertahan hidup hingga dewasa dan mewariskan sifat-sifat itu ke generasi berikutnya.

Science Alert menyebut, faktor budaya juga berperan dalam hal reproduksi. Para peneliti menemukan, perempuan yang mulai bereproduksi di usia muda dan telah menikah dalam jangka waktu yang lama, memiliki peluang lebih lama untuk hamil, yang juga meningkatkan jumlah kelahiran. Namun, ciri-ciri fisik tetap berperan. Perempuan Nepal dengan fisiologi yang paling mirip dengan perempuan di lingkungan dataran rendah, cenderung punya tingkat keberhasilan reproduksi tertinggi.

Menurut Earth, adaptasi fisiologis yang luar biasa terhadap oksigen rendah yang diamati pada perempuan Tibet, didukung oleh variasi genetik unik yang sudah dipilih secara alami selama ribuan tahun.

Salah satu gen penting, yakni endothelial PAS domain-containing protein 1 (EPAS1), yang sering disebut “gen atlet super”, telah disorot karena perannya dalam memungkinkan populasi di Tibet berkembang biak di lingkungan yang kekurangan oksigen. Perbedaan genetik ini, disebut Earth, merupakan bukti bagaimana populasi manusia dapat mengembangkan sifat biologis yang berbeda sebagai respons terhadap tekanan lingkungan.

Gen tersebut diwariskan dari Denisova—subspesies manusia purba dari era Paleolitik. Menurut Earth, pada 2019 tim peneliti interdisipliner dari Case Western Reserve School of Medicine dan lainnya berkolaborasi dengan masyarakat lokal di Himalaya, Nepal dan mempekerjakan perempuan lokal sebagai asisten peneliti. Investigasi tim peneliti, tulis Earth, difokuskan pada sifat genetik yang kemungkinan diwarisi dari Denisova, yang hidup di Siberia sekitar 50.000 tahun lalu.

Keturunan Denisova ini kemudian bermigrasi ke dataran tinggi Tibet. Sifat yang diteliti adalah varian gen EPAS1, yang unik bagi penduduk asli dataran tinggi Tibet.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan