Manusia silver: Menyambung hidup di tengah ancaman razia
Ardian duduk di trotoar Jalan Sultan Agung, Manggarai, Jakarta Selatan ketika lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Gitar kecilnya ia letakan di sebelahnya. Sembari beristirahat sejenak, ia merogoh saku celana. Menghitung lembaran uang Rp2.000 dan pecahan koin Rp500.
“Sudah Rp20.000,” katanya saat berbincang dengan reporter Alinea.id, Jumat (31/7).
Uang tersebut hasil mengamennya di sekitar lampu lalu lintas Jalan Sultan Agung, sejak sore hingga menjelang magrib. Berbekal gitar kecil, ia tawarkan suaranya kepada para pengendara kala lampu lalu lintas bernyala merah.
Berbeda dengan pengamen lainnya, seluruh tubuh pemuda berusia 18 tahun itu diwarnai cat perak. Baru seminggu ini ia memoles tubuhnya dengan cat perak. Usaha ini, secara tak langsung diakuinya membawa keberuntungan.
"Alhamdulillah, saya sudah bisa tampung sejuta," katanya.
Beralih profesi
Awalnya, Ardian tak tertarik menjadi manusia silver—sebutan bagi orang-orang yang seluruh tubuhnya dilumuri cat berwarna perak. Akan tetapi, mendengar penghasilan manusia silver lebih besar dari hasil mengamen, ia pun mencoba peruntungan menjadi manusia silver sekaligus mengamen.
"Saya baru menjadi manusia silver, tadinya cuma ngamen biasa. Ternyata hasilnya begini," ujar perantau asal Subang, Jawa Barat itu.
Sejak sore hingga tengah malam, ia mencari rezeki di kawasan Jalan Sultan Agung. Ardian mengatakan, sore hingga malam merupakan waktu yang tepat mengamen di jalanan. Selain tak terpapar terik matahari, ia mengaku bisa menghindar dari razia Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
"Kalau mereka datang, kita lari aja. Kabur ke rumah warga," kata Adrian, yang sehari-hari tidur di sebuah masjid di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan.
Selama delapan jam mengamen, cat perak itu menempel di sekujur tubuhnya. Ia mengaku, tak ada akibat buruk akibat adonan cat tersebut. “Cuma dingin karena enggak pakai baju,” tuturnya.
Tak jauh dari lokasi Ardian mangkal, lima pemuda lainnya terlihat mendatangi satu persatu pengendara. Berbeda dengan Ardian, mereka hanya meminta-minta bermodal cat perak yang melumuri seluruh tubuh, tanpa bernyanyi dan memetik gitar. Wajah mereka pun ditutup topeng, yang juga berwarna perak.
“Biar muka enggak kelihatan,” ujar salah seorang manusia silver bernama Febriansyah.
Usianya 18 tahun. Ia mengaku, belum lama menjadi manusia silver. Sebelumnya, ia bekerja menjadi petugas kebersihan di Apartemen Bassura City, Jakarta Timur. Namun, akibat pandemi SARS-CoV-2 penyebab Coronavirus disease 2019 (Covid-19), Febriansyah masuk ke dalam salah seorang karyawan yang dirumahkan. Karena kesulitan mendapatkan pekerjaan baru, ia memilih beralih profesi menjadi manusia silver.
"Saya sempat ngamen, tapi gara-gara Corona ini penghasilan menurun," ucap warga Manggarai Selatan, Jakarta Selatan itu.
Menurut Febri, sebelum pandemi, penghasilannya mengamen tak jauh berbeda dengan gaji petugas kebersihan. Sehari, ia mengaku bisa mendapat uang Rp150.000.
“Karena Corona saya hanya dapat Rp60.000 sekali turun,” kata dia.
Rekan Febriansyah, Budi, juga mengaku belum lama menjadi manusia silver. Pemuda berusia 17 tahun itu terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari salah satu apartemen di bilangan Kota Kasablanka, Jakarta Selatan. Bersama seorang adiknya, warga Bukit Duri, Jakarta Selatan itu bergantian menjadi manusia silver untuk membantu perekonomian keluarganya.
"Ayah sudah tidak ada, sedangkan ibu sudah tua. Saya laki-laki yang paling tua," ujar Budi.
Menurut Budi, total jumlah anggota kelompok manusia silver mereka ada delapan orang. Mereka mengais rezeki dari siang hingga tengah malam. Di siang hari, yang turun ke jalan masih berusia anak-anak.
Budi mengatakan, mereka patungan untuk membeli cat sablon dan minyak goreng. Ia mengaku tak khawatir terjadi iritasi pada kulit karena adonan cat sudah dicampur dengan minyak goreng.
"Ini aman kok. Biasanya kalau sudah kena air langsung hilang," kata Budi.
Meski tergabung dalam sebuah kelompok, tetapi sistem kerja mereka tetap masing-masing. Setiap manusia silver berusaha sendiri mengumpulkan rupiah.
Budi mengatakan, tak ada yang mengkoordinir mereka. Lokasi itu, sebut dia, bebas bagi siapa saja yang hendak mencari nafkah dari belas kasih pengendara.
"Sesama orang susah pasti saling membantu," kata Budi.
Ia mengatakan, bekerja menjadi manusia silver tidak dilakukan setiap hari. “Saya juga kerja serabutan, jadi kuli bangunan. Kalau tidak ada kerjaan, ya jadi manusia silver,” ujarnya.
Budi pernah ditangkap petugas Satpol PP saat menjadi manusia silver di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, dua tahun lalu. Ia lalu dibawa ke panti sosial di Cipayung, Jakarta Timur. “Rasanya tidak enak, seperti di penjara,” tuturnya. Namun, kini ia mengaku belum ada razia dari petugas.
Butuh kehadiran pemerintah
Bayang-bayang razia memang menghantui Budi dan kawan-kawan saat mengais rupiah di jalanan. Menurut Kepala Satpol PP Jakarta Barat, Tamo Sijabat manusia silver bukan fenomena baru. Namun, ia mengaku, di tengah pandemi terjadi peningkatan. Mereka yang mengamen pun alih profesi menjadi manusia silver.
"Anak-anak ini coba cara baru," kata Tamo ketika dihubungi, Jumat (31/7).
Kehadiran manusia silver yang atraksi berdiam diri di jalanan, sempat menyita perhatian publik. Akan tetapi, kata dia, belakangan manusia silver yang meminta-minta di sekitar lampu lalu lintas, malah menyebabkan kemacetan.
"Awal-awal, termasuk saya tertarik, kayak ada upaya mereka untuk mencari uang. Tapi lama-lama mengganggu, makanya ditertibkan," ujarnya.
Ia mengatakan, upaya menertibkan manusia silver bersama dengan petugas Pelayanan, Pengawasan, dan Pengendalian Sosial (P3S) Suku Dinas Sosial (Sudinsos) DKI Jakarta terus dilakukan. Namun, kini konsentrasi untuk menertibkan manusia silver terpecah karena petugas Satpol PP lebih fokus merazia pelanggar pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi.
"Karena ini yang paling utama fokus kami, terutama pengguna masker. P3S kan yang tangani, kalau mereka jalan (razia) kami siap bantu, kita dukung," tuturnya.
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Lidya Triana mengatakan, pandemi Covid-19 merupakan salah satu penyebab munculnya banyak manusia silver di jalanan. Orang yang terimbas perekonomiannya karena pandemi pun memilih menyambung hidup menjadi manusia silver.
"Jadi, mengalami eskalasi. Pandemi memberi dampak pada bermunculan banyaknya aksi semacam ini," kata Lidya saat dihubungi, Jumat (31/7).
Lidya menjelaskan, kemiskinan hanya salah satu penyebab. Banyak faktor yang mendorong seseorang turun ke jalan, seperti kondisi keluarga yang berantakan dan eksploitasi.
Ia menyarankan pemerintah agar lebih serius menyikapi keberadaan manusia silver, terutama mereka yang masih berusia anak-anak dan remaja. Ia menduga, ada pihak yang memanfaatkan mereka untuk mencari keuntungan.
"Pemerintah harus hadir sebagai pihak yang memberikan perlindungan terhadap anak-anak ini," katanya.
Di samping perhatian pemerintah, kata Lidya, perlu juga dukungan masyarakat. Keberadaan manusia silver di jalanan, menurutnya, juga tak lain karena warga kerap memberikan uang.
“Artinya, selama masih banyak orang di lampu merah yang kasih (uang) maka selama itu juga akan ada terus. Ketika mereka ada di jalanan, lalu banyak orang yang mengasih, bersimpati terhadap mereka akan tetap selamanya ada," tuturnya.