close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Jawa Timur berkumpul di rumah sewa mereka di Jalan Pasir Merah Batu 5 Klang Lama, Kuala Lumpur, Malaysia, Jumat (27/3/2020). Selama penerapan Perintah Kawalan Pergerakan atau pembatasan sosial karena pandemi mulai 18 Maret 2020 mereka tidak memperoleh gaji dan kesulitan mendapat bahan makanan./Foto Antara/Agus Setiawan
icon caption
Tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Jawa Timur berkumpul di rumah sewa mereka di Jalan Pasir Merah Batu 5 Klang Lama, Kuala Lumpur, Malaysia, Jumat (27/3/2020). Selama penerapan Perintah Kawalan Pergerakan atau pembatasan sosial karena pandemi mulai 18 Maret 2020 mereka tidak memperoleh gaji dan kesulitan mendapat bahan makanan./Foto Antara/Agus Setiawan
Sosial dan Gaya Hidup - Kemiskinan
Senin, 29 Juli 2024 06:08

Akar masalah perdagangan orang berkedok pekerja migran di NTT

“Mereka kebanyakan meninggalkan tempat tinggal karena semua pelayanan dasar sulit diakses di sana."
swipe

Sebanyak 66 orang pekerja migran Indonesia asal Nusa Tenggara Timur (NTT), meninggal dunia di luar negeri, dalam rentang waktu tujuh bulan belakangan. Mirisnya, dikutip dari Kompas.com, Kepala Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT Suratmi Hamida menjelaskan, dari 66 pekerja migran tersebut, hanya seorang yang bekerja di Taiwan memenuhi dokumen lengkap atau prosedural. Lainnya, yang bekerja di Malaysia, non-prosedural alias ilegal.

Kasus ini mengindikasikan perdagangan orang yang berulang di NTT. Berdasarkan data yang dihimpun Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada Maret 2024, ada 191 kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) tahun 2019, 382 kasus pada 2020, dan 624 kasus pada 2021.

Temuan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) NTT, dalam enam bulan pada 2023, ada 185 orang pekerja migran asal NTT menjadi korban TPPO yang direkrut secara tidak prosedural.

Dikutip dari Antara, menurut Kepala DP3A NTT, Lien Adriany, Provinsi NTT menjadi daerah sumber korban TPPO dengan modus yang sering digunakan, yakni rayuan kata-kata bohong kepada orang tua dan RT/RW bahwa jika korban bekerja di luar negeri akan mendapatkan gaji yang besar. Dalam merekrut pekerja dilakukan lewat pemalsuan dokumen kependudukan dan para korban disekap di penampungan sementara selama berbulan-bulan.

Di samping itu, menurut data Polri, sepanjang 2023 ada 3.363 korban TPPO di Indonesia. NTT masuk dalam urutan keenam TPPO tertinggi, dengan jumlah 255 kasus, di bawah Sumatera Utara (379), Kepulauan Riau (366), Riau (334), Jawa Tengah (273), dan Kalimantan Barat (272).

Apa penyebabnya?

Dosen administrasi bisnis di Universitas Nusa Cendana (Undana) Ricky Ekaputra Foeh menilai, banyaknya kasus pekerja migran ilegal yang meninggal dunia karena dilatar belakangi sulitnya tenaga kerja mengakses perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang resmi. Sementara, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) kesulitan memberi perlindungan yang maksimal.

“BP2MI harusnya bertanggung jawab,” ucap Ricky kepada Alinea.id, Kamis (25/7).

Mnurut Ricky, untuk menghentikan kasus pekerja migran ilegal di NTT perlu penanganan serius dalam menertibkan lembaga penyalur tenaga kerja agar bisa bekerja di bawah kontrol yang dilakukan pemerintah.

"Sanksi yang tegas harus diberlakukan agar memberikan efek jera bagi lembaga yang secara ilegal menyalurkan pekerja migran," ujar Ricky.

Sementara itu, Ketua Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi) Karsiwen, persoalan TPPO di NTT sangat pelik karena bertalian erat dengan kemiskinan dan pembangunan yang mengesampingkan kebutuhan masyarakat. Dengan kondisi itu, tak heran banyak warga NTT ingin bekerja di luar negeri untuk mengubah nasib yang lebih sejahtera.

Sayangnya, tingginya minat bekerja di luar negeri tidak dibarengi dengan ketersediaan PJTKI yang legal. Sementara wilayah NTT yang merupakan kepulauan, membuat warga lebih sulit mengakses PJTKI yang legal.

“Salah satunya (adalah) Pulau Lembata. Jika seorang warga asal Lembata ingin kerja ke luar negeri, dia harus pergi ke Kupang atau Manggarai, yang berarti harus naik kapal selama satu hari. Dan itu kapal enggak (ada) sewaktu-waktu. Kalau ada angin dan hujan sangat deras, tidak semua kapal bisa berangkat,” kata Karsiwen kepada Alinea.id, Kamis (25/7).

Sepanjang pengalaman Karsiwen menyelidiki perdagangan orang di NTT, para pekerja migran ilegal berangkat ke Malaysia menggunakan kapal yang seminggu sekali datang ke Larantuka untuk membawa mereka ke Batam, Kepulauan Riau. Selanjutnya menyeberang ke Malaysia.

“Hal ini dilakukan karena ketimbang bolak-balik untuk mengurus paspor di tempat yang jauh dan belum ongkosnya mahal. Kemudian harus mendaftar dan menunggu. Dia bisa saja naik dari Larantuka, turun di perbatasan Malaysia, dia buat paspor di Batam,” ujar Karsiwen.

Ongkos mengurus dokumen bekerja di luar negeri yang mahal dan memakan waktu lama inilah yang membuat pekerja migran asal NTT nekat menempuh jalur non-prosedural. Meski berisiko terjadi penyiksaan dan ancaman nyawa terhadap mereka.

Menurut Karsiwen, untuk menghentikan TPPO di NTT, pemerintah perlu memperbaiki pelayanan dasar di provinsi tersebut, seperti akses air bersih, pendidikan, dan fasilitas untuk meningkatkan kualitas hidup lainnya.

“Mereka kebanyakan meninggalkan tempat tinggal karena semua pelayanan dasar sulit diakses di sana,” ucap Karsiwen.

Di sisi lain, Karsiwen memandang, selama ini pemerintah hanya gembar-gembor mempromosikan keindahan alam NTT. Namun, abai terhadap kesejahteraan masyarakatnya yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.

“Saya lihat, pemerintah turut andil melakukan pembiaran karena mereka sendiri menikmati keuntungan buruh di luar negeri,” kata Karsiwen.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan