close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi: indianexpress
icon caption
Ilustrasi: indianexpress
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 11 September 2021 15:54

Masyarakat masih butuh literasi kesehatan mental

Topik kesehatan mental, terutama tentang kesehatan mental yang masih jarang diangkat, begitu pula dengan stigma-stigma yang beredar.
swipe

Pandemi nyatanya memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan kita. Tidak hanya kondisi fisik dan finansial yang terganggu, sejumlah isu kesehatan mental pun muncul di tengah masa pandemi. Sayangnya masih banyak dari masyarakat Indonesia yang tidak begitu memerhatikan masalah kesehatan. Topik kesehatan mental masih jarang diangkat dan di Indonesia sendiri masih sedikit penelitian soal itu. 

Dalam memperingati hari Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia atau World Suicide Prevention Day (WSPD), The Great Mind Indonesia bersama Change.org dan Into The Light, mengadakan bincang secara virtual bertajuk “Creating Hope Through Action” membahas mengenai kondisi kesehatan mental di Indonesia.

Sebelumnya pada Mei, salah satu komunitas orang muda untuk advokasi, kajian, dan edukasi pencegahan bunuh diri dan kesehatan jiwa orang muda, yaitu Into The Light bersama Change.org, melakukan survei untuk mengetahui bagaimana kondisi psikologis dan penggunaan layanan kesehatan mental masyarakat Indonesia.

Survei ini dilakukan secara daring, dengan peserta survei sebanyak 5.211 orang. Mayoritas berdomisili di enam provinsi di Pulau Jawa, peserta survei ini diikuti berbagai kelompok usia, dari segi jenis kelamin, kondisi disabilitas, ketertarikan seksual dan status HIV.

Literasi bunuh diri

Topik kesehatan mental, terutama tentang kesehatan mental yang masih jarang diangkat, begitu pula dengan stigma-stigma yang beredar di tengah masyarakat. Hal ini membuat pengetahuan tentang fakta dan penyebab bunuh diri masih minim. Hal ini dibuktikan dari tidak adanya partisipan survei yang menjawab dengan benar tentang fakta bunuh diri atau seputar literasi bunuh diri. 

Namun, yang lebih memperhatikan ada pada rendahnya golongan literasi pada golongan laki-laki. Tak hanya literasi bunuh diri, partisipan laki-laki yang mengakses layanan kesehatan juga tergolong rendah, yaitu hanya 18%. Adanya faktor penghambat internal yang meyakini diri bahwa orang tersebut dapat menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Rasa kesepian & pikiran menyakiti diri 

Pandemi saat ini membuat banyak dari masyarakat yang merasakan kesepian. Dari hasil survei menunjukkan bahwa rata-rata dari seluruh partisipan mencapai 98% untuk semua kalangan dan kelompok usia dengan beragam penghasilan. Angka ini cukup tinggi dan memprihatinkan, sehingga dapat diyakini bahwa sebagian besar partisipan mengalami rasa kesepian.

Sementara itu, pada bagian survei mengenai self harm atau menyakiti diri sendiri memperlihatkan adanya faktor penghasilan dan juga lingkungan yang tidak harmonis/sejahtera dari seseorang. Pemikiran untuk bunuh diri ataupun self harm paling banyak dijumpai, bahkan dua kali lebih besar pada golongan-golongan termarjinalkan seperti orang-orang disabilitas, orang terkena HIV, dan juga LGBT. Selain itu golongan orang berpenghasilan rendah juga banyak yang memiliki pemikiran untuk melakukan hal tersebut. 

Hal ini juga menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar partisipan merasa kesepian, tetapi yang memiliki pemikiran bunuh diri atau mengakhiri hidup lebih prevalent pada kelompok yang termarjinalkan atau disisihkan oleh masyarakat. Sebab itu, perlu adanya upaya yang lebih relevan sesuai dengan kelompok masing-masing.

“Perlu adanya dukungan dan intervensi sosial terutama ke kesepian dan pemikiran bunuh diri/melukai diri yang ditujukan pada masyarakat dengan status ekonomi menengah kebawah” ujar pendiri Into The Light Benny Prawira, Jumat (10/9) malam.

Aktivitas dan perawatan layanan kesehatan mental

Dalam membantu mengatasi ataupun mencegah sebagian besar partisipan yang memiliki kesehatan mental memilih untuk melakukan aktivitas seperti membaca kitab suci dan berdoa (61,9%). Sedangkan kegiatan seperti mengikuti sesi hipnosis dan mindfullness untuk membantu menyadarkan menjadi pilihan yang paling sedikit (2,8%). 

Hal ini pula yang menyebabkan akses layanan kesehatan mental lebih banyak diakses melalui app/website (68%) dibandingkan harus pergi ke fasilitas kesehatan seperti rumah sakit (23%). Banyak partisipan yang menganggap bahwa layanan kesehatan mental tersebut tidak terjangkau dan terbiasa untuk menyelesaikannya sendiri. 

“Faktor eksternal penghambat ke layanan terbesar adalah kesulitan finansial, sementara faktor internal penghambat adalah kebiasaan menyelesaikan masalah sendiri. Sehingga diperlukan intervensi struktural dan kultural untuk mengatasi ini semua,” ujar Benny.

Mereka akan mulai mempertimbangkan untuk pergi ke layanan kesehatan apabila biayanya terjangkau, dapat menyediakan informasi secara online, memiliki tenaga kesehatan dengan kemampuan berkomunikasi yang baik, dan juga mudah dijangkau oleh transportasi.

Sementara untuk orang yang dipercaya dapat membantu bila partisipan memiliki masalah kesehatan mental, mitra ITL, dan juga research fellow Monash University, Andrian Liem menyebutkan, orang tua/keluarga menjadi yang paling dipercaya (56,6%).

Kedua adalah teman dekat berjenis kelamin sama (52,2%). Namun, jika melihat kelompok tertentu, tidak selalu anggota keluarga dapat dipercaya. Hanya 30% dari orang-orang yang positif HIV dan LGBT yang memilih keluarga yang bisa dipercaya membantu. Padahal nyatanya tenaga kesehatan jiwa profesional lebih memiliki kemampuan dan dapat menjaga rahasia.

Dari hasil survei ini dapat disimpulkan bahwa masih banyak dari masyarakat Indonesia yang rendah literasi bunuh diri, begitu pula dengan ketersedian dan juga pelayanan dari layanan kesehatan mental yang masih belum optimal dan perlu ditingkatkan. Penggunaan telemental yang sudah cukup masif digunakan juga perlu diperhatikan terutama dalam aspek keamanan, kerahasian dan juga etika. Dengan bersama membenahi dan juga pemberian penyuluhan mengenai kesehatan mental, akan sangat membantu orang-orang yang memiliki kesehatan mental untuk menyelesaikan masalahnya. Begitu pula bagi masyarakat luas agar dapat lebih aware, paham dan tidak terpengaruh dengan stigma-stigma mengenai kesehatan mental.

img
Clarissa Ethania
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan