Melani Ika Purnata, 22 tahun, mengaku selektif soal pasangan. Hal ini dipengaruhi standar yang dibentuk lewat media sosial. Mahasiswi psikologi di sebuah perguruan tinggi di Jakarta ini, sering kali melihat konten di media sosial yang menunjukkan hubungan “ideal”, tetapi terkadang tidak realistis.
“Jadinya, generasi Z punya ekspektasi yang tinggi banget. Selain itu, kita juga lebih sadar sama value hidup kita, jadi kadang bingung sendiri mau cari pasangan yang benar-benar cocok,” kata Melani kepada Alinea.id, Minggu (29/12).
Menurut Melani, masalah sulit mencari pasangan bukan cuma terlalu selektif, tetapi juga ekspektasi yang dibentuk. Penyebabnya, kata dia, generasi Z hidup di dunia yang serba instan dan penuh dengan pilihan.
“Jadi, sering kali kita ngerasa enggak puas dan selalu cari yang lebih baik lagi,” ujar Melani.
“Padahal hubungan yang sehat itu butuh waktu dan usaha, bukan cuma sekadar ketemu orang yang klik dalam lima menit.”
Melani mengatakan, selektivitas itu penting untuk menjaga kesehatan mental. Terkadang, seseorang terjebak dalam hubungan yang tidak sehat, hanya karena takut dikatakan terlalu memilih atau kesepian.
“Itu yang akhirnya malah bikin kita enggak bahagia,” ucap Melani.
“Kalau enggak sesuai sama value atau prinsip kita, ya enggak akan bertahan juga kan?”
Pengaruh media sosial, yang kerap menampilkan hubungan terlihat sempurna, menurutnya turut membuat generasi Z punya ekspektasi lebih besar terhadap pasangan. Dia menekankan, ekspektasi tersebut menjadi tantangan. Di sisi lain, dia menuturkan, seseorang harus punya standar, tetapi juga harus realistis.
“Kadang kita terjebak sama gambaran ideal yang ada di media sosial,” tutur Melani.
“Hubungan itu bukan soal menemukan seseorang yang sempurna, tapi lebih soal bagaimana kita dan pasangan bisa tumbuh bareng, saling support, dan belajar dari satu sama lain.”
Pada kenyataannya, generasi Z tumbuh di era kemajuan teknologi digital. Kehidupan mereka tidak dapat dilepaskan dari media sosial, yang menjadi bagian integral dari aktivitas sehari-hari. Secara tak langsung, hal ini membentuk cara pandang mereka terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk memilih pasangan.
Menurut psikolog Tika Bisono, biasanya algoritma media sosial, seperti TikTok atau Instagram, memengaruhi preferensi dan ekspektasi generasi Z terhadap pasangan. Konten yang sering muncul di platform media sosial tersebut, kata Tika, cenderung mempromosikan pasangan ideal, dengan standar yang tidak realistis, seperti penampilan fisik sempurna, gaya hidup mewah, dan tanpa cela.
“Hal ini membuat sebagian dari mereka memiliki ekspektasi yang sangat tinggi, bahkan cenderung tidak realistis,” ujar Tika, Minggu (29/12).
Seturut itu, Tika menilai, dampak budaya digital terhadap ekspektasi dan preferensi dalam memilih pasangan sangat signifikan. Selain melihat unggahan perihal pasangan sempurna, generasi Z pun terpengaruh dari interaksi sosial yang lebih banyak dilakukan secara digital.
“Generasi yang tumbuh dengan teknologi, cenderung lebih selektif dan mengandalkan informasi yang disajikan secara visual, yang sering kali tidak mencerminkan realitas,” tutur Tika.
“Ini berbeda dengan generasi sebelumnya, yang lebih banyak berinteraksi secara langsung, di mana mereka bisa melihat dan menilai pasangan secara langsung.”
Menurut Tika, ekspektasi yang tinggi dan terkadang tidak realistis menyebabkan generasi Z lebih sulit merasa puas dalam suatu hubungan. Mereka cenderung memiliki daftar panjang kriteria yang dipengaruhi konten yang dikonsumsi. Misalnya, seseorang merasa pasangannya tidak cukup baik hanya karena tidak memenuhi standar yang terlihat di media sosial.
Selain itu, budaya digital juga memengaruhi cara generasi Z mendekati pasangan. “Dengan kehadiran aplikasi kencan, proses mencari pasangan menjadi lebih cepat, tetapi juga dangkal,” kata Tika.
“Swipe kiri atau kanan membuat mereka lebih mudah melewatkan seseorang, tanpa benar-benar mencoba mengenal lebih dalam.”
Meski begitu, ada pula dampak positifnya. Menurut Tika, selektivitas juga menunjukkan kalau generasi Z lebih sadar terhadap apa yang mereka inginkan dalam hubungan. Mereka cenderung memilih pasangan yang benar-benar cocok secara nilai dan tujuan hidup. Misalnya, kata Tika, mereka lebih peduli pada aspek emosional, kompatibilitas, dan kesamaan visi daripada sekadar penampilan.
“Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana mereka menyeimbangkan antara ekspektasi yang realistis dan keinginan untuk memenuhi standar pribadi,” tutur Tika.
“Jika mereka mampu mengelola hal ini dengan bijak, selektivitas tersebut bisa menjadi keuntungan.”