Media sosial menjadi alat berkomunikasi dan mengekspresikan diri bagi banyak orang. Namun, buat mereka yang rentan terhadap gangguan kejiwaan, media sosial bisa menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Sebuah penelitian yang dikerjakan para peneliti dari Universitas Simon Fraser di Kanada, yang terbit di jurnal BMC Psychiatry (Februari, 2025) menemukan, media sosial dapat menjadi pemicu pemikiran delusi, memperkuat persepsi diri yang terdistorsi, dan mendorong kognisi mentalistik yang berlebihan.
Gangguan delusi adalah jenis kondisi kesehatan mental saat seseorang tidak dapat membedakan antara kenyataan dan imajinasi.
Untuk menyelidiki hubungan antara pengguna media sosial dan gangguan kejiwaan, para peneliti melakukan tinjauan sistematis terhadap semua studi mengenai topik itu. Mereka menganalisis data dari 2.623 makalah akademis yang terbit antara tahun 2004 dan 2022.
Dari jumlah itu, sebanyak 155 studimemenuhi kriteria untuk dimasukkan. Tinjuan tersebut difokuskan pada gangguan kejiwaan ayng terkait dengan kognisi sosial, seperti skizofrenia, gangguan bipolar, dismorfia tubuh, gangguan makan, gangguan kepribadian narsistik, gangguan kepribadian ambang, dan erotomania.
Para peneliti mengidentifikasi studi yang meneliti bagaimana seseorang dengan gangguan tersebut menggunakan media sosial, termasuk frekuensi penggunaan, jenis keterlibatan—misalnya, mengunggah, mengintai, atau berkomentar—dan dampaknya terhadap gejala kesehatan mental. Mereka juga meninjau laporan kasus seseorang yang gejala psikotitknya dipicu atau diperburuk interaksi media sosial.
Dikutip dari PsyPost, penelitian itu menemukan, penggunaan media sosial sangat tinggi pada seseorang dengan gangguan kejiwaan yang melibatkan pemikiran delusi. Hubungan terkuat ditemukan pada seseorang dengan narsisme, dismorfia tubuh, dan gangguan makan, yang cenderung mengandalkan media sosial untuk membangun dan memvalidasi citra diri mereka.
Individu-individu tersebut berperilaku, seperti swafoto secara berlebihan, perbandingan obsesif dengan orang lain, dan pemantauan kompulsif terhadap umpan balik dari audiens daring. Seseorang dengan gangguan kepribadian narsistik misalnya, ditemukan lebih cenderung mengunggah konten yang mempromosikan diri sendiri, mencari kekaguman melalui like dan follower, dan menyusun versi ideal diri mereka secara daring.
Mereka yang mengalami dismorfia tubuh dan gangguan makan ditemukan menggunakan media sosial sebagai alat untuk pengawasan diri, sering kali terlibat dalam perbandingan yang berkaitan dengan penampilan yang memperkuat citra tubuh mereka yang terdistorsi.
Gangguan spektrum psikotik, termasuk skizofrenia, ditemukan berisiko mengalami delusi terkait daring, seperti paranoia karena diawasi atau dikendalikan melalui algoritma media sosial.
Lalu, erotomania, gangguan yang ditandai dengan keyakinan delusi tentang dicintai seseorang—sering kali seorang selebritas atau publik figur—ditemukan dapat difasilitasi oleh media sosial. Kemampuan untuk mengikuti, berinteraksi, atau mengirim pesan kepada seseorang yang berstatus tinggi secara daring dapat menciptakan ilusi hubungan pribadi, yang mengarah pada perilaku obsesif dan salah tafsir terhadap isyarat sosial.
Riset ini memperkenalkan model konseptual baru, yang disebut Delusion Amplification by Social Media, yang menjelaskan bagaimana lingkungan media sosial mendorong persepsi diri yang menyimpang.
Menurut model ini, seseorang dengan rasa diri yang tidak stabil dapat beralih ke media sosial untuk membentuk identitas yang lebih koheren atau ideal. Akan tetapi, lantaran interaksi media sosial tak punya landasan dan akuntabilitas di dunia nyata, persepsi diri ini dapat menjadi semakin terpisah dari kenyataan.
Intinya, dunia virtual memungkinkan pengguna untuk mempertahankan delusi mereka tanpa kontradiksi dalam kehidupan nyata, yang memperkuat keyakinan yang menyimpang dari waktu ke waktu.
“Media sosial menciptakan kondsi di mana delusi dapat lebih mudah dihasilkan dan dipertahankan akrena adanya platform dan aplikasi yang melayani penyebab gangguan tersebut, ditambah tidak adanya pemeriksaan realitas yang efektif,” kata profesor ilmu biologi dan Ketua Riset Genetika Evolusioner dan Psikologi di Universitas Simon Fraser, Bernard Crespi, dikutip dari situs Simon Fraser University.
Menurut para peneliti, media sosial pada dasarnya tidak bermasalah, tetapi dunia virtual—ditambah isolasi sosial dalam kehidupan nyata—menciptakan lingkungan tempat orang dapat mempertahankan rasa identitas diri yang delusional tanpa pengawasan.
Media sosial memang bisa memberikan manfaat positif lewat kemampuannya untuk menciptakan komunias dan membantu orang berkomunikasi. Namun, menurut Crespi dan koleganya Nancy Yang dalam penelitian itu, seseorang dengan risiko tinggi sering kali terkena dampak negatif oleh penggunaan media sosial yang tinggi.
Perbedaan mendalam antara interaksi sosial daring dan tatap muda—tempat orang lebih mungkin mengendalikan delusi mereka dengan realitas fisik dan emosional—memperburuk penyimpangan dari kesejahteraan mental.
“Studi tersebut menyimpulkan, orang dengan gangguan yang melibatkan tingkat delusi yang tinggi akan mendapat manfaat dari pengurangan penggunaan media sosial,” tulis situs Simon Fraser University.