close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi nyamuk./Foto Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi nyamuk./Foto Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 23 November 2023 15:49

Melawan demam berdarah dengan nyamuk Wolbachia

Wolbachia adalah bakteri yang sangat umum, terdapat secara alami pada 50% spesies serangga, termasuk beberapa nyamuk.
swipe

Dilaporkan dalam keterangan resminya di situs web Universitas Gadjah Mada (UGM), Rabu (22/11), rencana penyebaran jutaan nyamuk Aedes aegypti yang mengandung bakteri Wolbachia di Buleleng dan Denpasar, Bali, yang dilakukan World Mosquito Program (WMP)—organisasi milik Monash University, yang bekerja untuk melindungi masyarakat global dari penyakit yang ditularkan nyamuk, seperti demam berdarah, zika, demam kuning, dan chikungunya—Yogyakarta ditunda. Alasannya, warga khawatir terhadap dampak kesehatan yang ditimbulkan.

Padahal, menurut peneliti Pusat Pengobatan Tropis UGM dan anggota WMP, Riris Andono Ahmad—dalam keterangan itu—pelepasan jutaan nyamuk mengandung Wolbachia berpotensi menekan penularan penularan penyakit demam berdarah dengue (DBD).

Riris mengatakan, teknologi Wolbachia sudah dipelajari di Yogyakarta sejak 2011. Penelitian ini dimulai dari tahap kelayakan dan keamanan pada 2011-2012, pelepasan skala terbatas pada 2013-2015, pelepasan skala besar pada 2016-2020, dan implementasi pada 2021-2022.

World Health Organization (WHO), dalam laporan mereka menyebut, penyakit DBD telah meningkat secara signifikan di seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir. Pada 2000, kasus yang dilaporkan WHO sebanyak 505.430 meningkat menjadi 5,2 juta pada 2019. Jumlah ini diperkirakan lebih banyak karena ada kasus yang tak dilaporkan dan banyak pula yang salah didiagnosis sebagai penyakit demam lainnya.

“Salah satu perkiraan pemodelan menunjukkan, 390 juta infeksi virus dengue per tahun dan 96 juta di antaranya bermanifestasi secara klinis,” tulis WHO.

“Riset lain tentang prevalensi demam berdarah memperkirakan 3,9 miliar orang berisiko tertular.”

Penyakit itu menjadi endemik di lebih dari 100 negara di Afrika, Amerika, Pasifik Barat, dan Asia Tenggara. Sebagai negara beriklim tropis dan subtropis, Indonesia berisiko tinggi terhadap penularan virus dengue. Kasus DBD di Indonesia pun terus meningkat.

Laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pada 2019 ada 138.127 orang terinfeksi, sebanyak 919 di antaranya meninggal dunia. Tahun 2020, kasus DBD menurun menjadi 103.509, dengan 725 di antaranya meninggal. Tahun 2021, ada 73.518 kasus dengan angka kematian 705 orang. Pada 2022, terdapat 131.265 kasus dengan kematian 1.183 orang. Dan, Januari-Juli 2023 ada 42.690 kasus dengan 317 orang meninggal.

Seberapa efektif Wolbachia?

Penyebaran nyamuk Wolbachia adalah salah satu cara menekan penularan. Dikutip dari situs web World Mosquito Program, Wolbachia adalah bakteri yang sangat umum, terdapat secara alami pada 50% spesies serangga, termasuk beberapa nyamuk, lalat buah, ngengat, capung, dan kupu-kupu.

Wolbachia hidup di dalam sel serangga dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui telur serangga,” tulis World Mosquito Program.

“Nyamuk Aedes aegypti biasanya tidak membawa Wolbachia, namun banyak nyamuk lainnya yang membawa bakteri itu.”

Dalam risetnya bertajuk “Wolbachia-a foe for mosquitoes” di Asian Pacific Journal of Tropical Disease (Februari, 2014), tiga peneliti dari National Bureu of Agriculturally Important Insects dan Bangalore University, yakni Nadipinayakanahalli Munikrishnappa Guruprasad, Sushil Kumar Jalali, dan Hosagavi Puttegowda Puttaraju menyebut, Wolbachia pertama kali ditemukan pada jaringan reproduksi nyamuk Culex pipens oleh Hertig dan Wolbach pada 1924.

Strain bakteri Wolbachia, kata para peneliti, bisa menyerang dan mempertahankan diri dalam populasi nyamuk, mengurangi umur nyamuk dewasa, memengaruhi reproduksi nyamuk, dan mengganggu replikasi patogen.

Strain bakteri endosimbiotik tersebut dimasukkan ke dalam populasi nyamuk Aedes aegypti untuk mengurangi masa hidup mereka, sehingga menekan masa inkubasi ekstrinsik,” kata Guruprasad dkk.

“Prospek lain dari eksploitasi Wolbachia adalah menggunakan kemampuannya untuk mengganggu virus dan parasit. Wolbachia diketahui berinteraksi dengan patogen yang lebih luas pada nyamuk yang ditularkan, termasuk virus DBD dan chikungunya.”

Riris, dilansir dari situs UGM menjelaskan, mekanisme kerja utamanya adalah lewat persaingan makanan antara virus dan bakteri. Dengan terbatasnya makanan yang tersedia untuk mendukung virus, maka virus tak bisa berkembang biak. Melalui metode itu, Wolbachia dapat mengurangi replikasi virus demam berdarah pada nyamuk. Bakteri Wolbachia ditemukan pada inang asli Aedes aegypti, yakni Drosophila melanogaster.

Ia menerangkan, jika nyamuk ber-Wolbachia jantan kawin dengan nyamuk betina tanpa Wolbachia, maka telurnya tak akan menetas. Namun, jika nyamuk betina ber-Wolbachia berkembang biak dengan nyamuk jantan ber-Wolbachia, semua telurnya akan menetas.

“Selain itu, jika nyamuk betina positif Wolbachia kawin dengan nyamuk jantan positif Wolbachia, maka keturunannya akan menetas dan mengandung Wolbachia,” ujar Riris.

Adi Utarini dan 23 peneliti lainnya dari UGM, Monash University, London School of Hygiene and Tropical Medicine, serta University of California dalam penelitiannya “Efficacy of Wolbachia-infected mosquito deployments for the control of dengue” di The New England Journal of Medicine (2021) pernah meneliti terkait pemanfaatkan Wolbachia kepada 6.306 peserta di Yogyakarta. Sebanyak 2.905 peserta adalah kelompok yang diintervensi Wolbachia dan 3.401 kelompok yang tak diobati.

Usia rata-rata peserta adalah 11,6 tahun, dengan 48% perempuan. Sebanyak 295 dari 6.306 peserta dirawat di rumah sakit. Hasilnya, kasus demam berdarah secara siginfikan lebih rendah pada kelompok yang diintervensi dengan Wolbachia, dibanding kelompok yang tak diobati.

“Ini mewakili kemanjuran perlindungan sebesar 77,1%,” tulis para peneliti.

Pembentukan Wolbachia di nyamuk Aedes aegypti di Yogyakarta mengurangi kejadian demam berdarah bergejala pada kelompok usia 3 tahun hingga 45 tahun. “Kemanjuran melawan demam berdarah yang memerlukan rawat inap adalah 86%,” tulis Utarini dkk.

“Sebanyak 11 dari 12 kelompok yang diobati dengan Wolbachia memiliki proporsi kasus demam berdarah yang lebih rendah dibandingkan kelompok yang tidak diobati, menunjukkan replikasi biologis yang konsisten dari efek intervensi.”

World Mosquito Program, dalam situs resminya menerangkan, nyamuk pembawa Wolbachia juga bisa mengatasi zika, chikungunya, dan demam kuning. Organisasi ini menyatakan, Wolbachia aman bagi manusia, hewan, dan lingkungan.

World Mosquito Program akan melepaskan nyamuk setiap 50 meter ke seluruh area target. Masa pelepasan biasanya berlangsung selama 12 hingga 20 minggu. “Kami tidak akan melepaskan nyamuk ber-Wolbachia tanpa dukungan masyarakat,” tulis World Mosquito Program.

Di Indonesia, Yogyakarta adalah tempat pertama uji coba pelepasan nyamuk Wolbachia. Dalam tulisan di blog pribadinya GatesNotes, pendiri Microsoft, Bill Gates mengatakan, nyamuk-nyamuk Wolbachia sudah dilepaskan di 11 negara, antara lain Brasil, Kolombia, Meksiko, Indonesia, Sri Lanka, Vietnam, Australia, Fiji, Kiribati, Kaledonia Baru, dan Vanuatu.

“Dalam sebuah penelitian baru di Medellín (Kolombia), kasus demam berdarah telah menurun sebesar 89% sejak nyamuk Wolbachia mulai dilepaskan pada 2015,” ujar Gates.

“Hasil ini merupakan sebuah terobosan besar, memberikan bukti bahwa teknologi baru ini akan melindungi seluruh kota dan negara dari ancaman penyakit yang ditularkan oleh nyamuk.”

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan