

Memahami sungai yang bisa berubah-ubah

Banjir besar melanda Bogor pada Minggu (2/3), disusul Jakarta, Bekasi, Depok, dan Tangerang pada Senin (3/3). Saat meninjau lokasi pengungsian terdampak banjir di Desa Tugu, Cisarua, Kabupaten Bogor, Senin (3/3), Wakil Menteri Pekerjaan Umum (Wamen PU) Diana Kusumastuti mengimbau kepada warga untuk tak tinggal di bantaran sungai karena akan mempersempit badan sungai.
"Saya melihat bahwa sungai yang dulunya lebar, sekarang menjadi sempit karena banyak sekali rumah-rumah di bantaran sungai. Air itu tentunya mencari jalannya sendiri, sehingga harapan saya jangan dihuni," kata Diana, dikutip dari situs Kementerian Pekerjaan Umum.
Beberapa warganet pun berdiskusi soal perubahan sungai. Misalnya di X, akun @stravenues menulis, daerah aliran sungat (DAS) Ciliwung dalam 20 tahun terakhir berubah sangat drastis, dengan makin banyak permukiman yang dibangun di kawasan tengah dan hilir, yang seharusnya menjadi area perlindungan setempat dan menampung luapan air sungai.
Lalu, akun @serein_bleu menyatakan, sungai itu tidak diam, selalu bergerak, berubah. “Makanya, di pinggir sungai baiknya emang harus steril dari bangunan,” tulis @serein_bleu.
Benarkah sungai dapat berubah?
Bila kita berdiri di bantaran sungai, alirannya tampak tak bergerak. Namun, sebuah rangkaian gambar satelit Sungai Ucayali di Peru mengungkap sesuatu yang luar biasa.
Dikutip dari Vox, dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun, jalurnya merangkak maju-mundur, mengukir tikungan yang semakin dalam sebelum memotongnya, dan memulai lagi dari awal.
Sungai tersebut membentuk apa yang dikenal sebagai meander dengan kecepatan yang sangat tinggi karena kecepatan air, jumlah sedimen—material yang terangkat dan mengendap di sungai, berupa pasir, kerikil, atau butiran tanah—di dalamnya, dan lanskap di sekitarnya. Akan tetapi, faktanya semua sungai secara alami mengubah jalurnya seiring waktu.
Asisten profesor geografi di Universitas California, Vamsi Ganti dalam The Conversation, menyebut fenomena “perpindahan saluran” itu sebagai avulsi.

Dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal Science (2022), Ganti dan koleganya memetakan distribusi global avulsi menggunakan citra satelit lebih dari 100 sungai sejak 1973 hingga 2022. Riset mereka menemukan, ada 113 kejadian avulsi sungai di daerah beriklim sedang, tropis, dan kering.
Dari kejadian ini, 33 terjadi di kipas aluvial—endapan sedimen yang berbentuk kipas. Terbentuk ketika sungai mengalir keluar dari pegunungan atau ngarai ke dataran terbuka atau ke laut dan menyebar. Sebanyak 80 kejadian lainnya terjadi di delta sungai—daerah dataran rendah yang subur, tempat sungai mengalir lebih lambat dan bercabang, menjadi banyak saluran yang bermuara ke danau atau laut.
Avulsi, dijelaskan Ganti, terjadi karena pengendapan sedimen. Seiring berjalannya waktu, sungai mengendapkan sedimen di lokasi avulsi, sehingga sungai tersumbat sedimen. Air selalu mengalir ke bawah, sehingga saat alirannya semakin tersumbat, air akhirnya berpindah ke lokasi baru.
Avulsi bisa menyebabkan banjir yang mematikan. Misalnya, avulsi di Sungai Kuning di China yang menewaskan lebih dari 6 juta orang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Contoh lainnya, Sungai Kosi di India pada 2008 mengubah alirannya sejauh lebih dari 100 kilometer dalam hitungan hari, mengakibatkan lebih dari 3 juta orang mengungsi.
“Hasil penelitian kami menunjukkan, lokasi avulsi di delta dapat berpindah dari lokasi lamanya ke area baru. Kenaikan permukaan laut yang cepat dapat memindahkan lokasi avulsi ke daerah pedalaman di delta, sehingga masyarakat berisiko mengalami banjir besar,” tulis Ganti.
Bahkan, menurut penelitian dari Dartmouth College, yang diterbitkan di jurnal Science (Juni, 2022), dalam 40 tahun terakhir, manusia telah menyebabkan perubahan yang belum pernah terjadi secara signifikan pada sedimen sungai.
Dengan menggunakan citra satelit, para peneliti melihat perubahan jumlah sedimen yang dibawa ke lautan oleh 414 sungai terbesar di dunia dari tahun 1984 hingga 2020. Temuannya menunjukkan, pembangunan bendungan besar-besaran pada abad ke-20 di wilayah hidrologi utara global Amerika Utara, Eropa, dan Asia telah mengurangi pengiriman sedimen tersuspensi global dari sungai ke lautan hingga 49%.
Lalu, pengangkutan sedimen dari wilayah hidrologi selatan global, yakni Amerika Selatan, Afrika, dan Oseania meningkat di 36% sungai karena perubahan penggunaan lahan yang besar, yang sebagian besar terkait dengan penggundulan hutan.
Profesor madya bidang geografi fisik di Universitas Oxford, Louise Slater; asisten peneliti serta analis data iklim dan cuaca di Unviersitas Loughborough, Abdou Khoukhi; dan profesor pemodelan hidroklimat di Universitas Loghborough, Robert Wilby dalam The Conversation menulis, manusia sudah mengubah sebagian besar sungai di dunia dengan berbagai cara.
Dalam beberapa kasus, terjadi lewat pengaruh langsung, seperti pembangunan bendungan atau rekayasa sungai. Pengaruh yang bersifat tak langsung, seperti pembangunan di lahan di dekatnya yang mengurangi kapasitas tanah untuk menyerap air, pertanian mengambil air dari sungai, dan penggundulan hutan.
“Sungai juga bereaksi terhadap perubahan iklim. Selama musim kemarau, aliran air yang melewati sistem sungai berkurang. Ini berarti energi yang dibutuhkan untuk memindahkan sedimen di dasar sungai berkurang, sehingga permukaan dasar sungai bisa meningkat secara bertahap dan mengurangi kapasitas sungai,” tulis Slater, Khoukhi, dan Wilby.
“Pertumbuhan tanaman yang melimpah di dalam saluran juga dapat mengurangi kapasitas saluran sungai dengan memperlambat aliran.”
Sementara itu, dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature (September, 2024), para peneliti dari beberapa universitas di Amerika Serikat menggali lebih jauh soal avulsi sungai. Avulsi sendiri, menurut mereka, memerlukan pengaturan dan pemicu.
“Pemicunya bisa berupa banjir, gempa bumi, bisa juga kemacetan kayu di sungai,” kata ahli sedimentologi dari Universitas Indiana, Douglas Edmonds, dikutip dari Science News.
Sedangkan pengaturan mengacu pada bagaimana pengendapan sedimen telah menyiapkan sungai untuk dialihkan. Dan itu adalah penyebab mendasar avulsi. “Sungai mengalami banjir sepanjang waktu, tetapi tidak selalu avulsi,” ujar Edmonds.
Edmonds dan rekan-rekannya menggunakan data satelit untuk menyelidiki sekitar 170 avulsi, dengan mencatat seberapa jauh sungai cenderung menyimpang ke hilir. Mereka menemukan, avulsi kira-kira tiga kali lebih umum terjadi di dekat muara sungai dan daerah pegunungan daripada di antaranya.
Dengan fokus pada 58 alur sungai, para peneliti mengukur keunggulan superelevasi dan lereng sebelum avulsi. Mereka menemukan, superelevasi paling baik menjelaskan avulsi di dekat pegunungan, sedangkan keunggulan lereng paling baik menjelaskan avulsi di dekat muara sungai dan delta.
“Ada begitu banyak sedimen yang mengalir keluar dari pegunungan, sehingga sungai-sungai ini hanya menumpuknya hingga menjadi superelevasi dan meluap,” kata Edmonds.
“Sementara itu, di delta, terdapat banyak lumpur yang bersifat kohesif yang membentuk tanggul alami yang sangat curam di sekitar saluran dalam, dan avulsi membutuhkan keuntungan kemiringan yang curam untuk mulai menembus tanggul tersebut.”


Tag Terkait
Berita Terkait
IKA UII Peduli 2025, simpati alumni untuk korban banjir Jabodetabek
DKI tak bisa sendiri atasi banjir
Apa sebenarnya biang kerok banjir besar di Kota Bekasi?
Strategi mengatasi dampak banjir rob di utara Jakarta

