Membaca buku fiksi, ternyata bukan cuma hobi semata. Namun, ada manfaat kognitif kecil, tetapi bermakna. Terutama untuk keterampilan verbal, empati, dan kemampuan memahami sudut pandang orang lain. Hal itu yang ditemukan dalam penelitian yang diterbitkan Journal of Experimental Psychology: General (2024).
“Selama beberapa dekade terakhir, para sarjana dari sejumlah disiplin ilmu telah mengklaim manfaat yang luas dari membaca fiksi untuk kognisi. Saya ingin mendapatkan gambaran objektif dan kuantitatif dari bukti empiris yang relevan untuk memutuskan apakah asumsi ini didukung oleh studi empiris,” ujar peneliti dan dosen di Julius Maximilian University of Wurzburg, Lena Wimmer, yang menjadi salah seorang peneliti, dikutip dari PsyPost.
Para peneliti melakukan dua meta-analisis terpisah, yakni prosedur statistik yang menggabungkan data dari berbagai riset untuk mendapat kesimpulan dengan kekuatan statistik dan kemampuan generalisasi yang lebih besar. Setiap meta-analisis punya kriteria dan tujuan khusus untuk mengeksplorasi berbagai aspek tentang bagaimana membaca fiksi berdampak pada keterampilan kognitif.
Meta-analisis satu mencakup 70 studi eksperimental, yang secara kolektif melibatkan 5.640 peserta yang ditugaskan membaca fiksi dan 5.532 peserta yang ditempatkan dalam berbagai kondisi kontrol. Peserta secara acak ditugaskan membaca fiksi atau terlibat dalam aktivitas perbandingan, seperti membaca nonfiksi, menonton fiksi, atau tak melakukan apa pun.
Meta-analisis dua mencakup 114 penelitian, yang melibatkan total 30.503 orang. Analisis mencakup penelitian yang mengukur kebiasaan berinteraksi dengan fiksi sepanjang hidup dengan berbagai hasil kognitif.
“Temuan meta-analisis satu mengungkapkan, membaca fiksi memiliki dampak positif yang kecil, tetapi signifikan secara statistik terhadap keterampilan kognitif,” tulis PsyPost.
“Ketika melihat lebih detail pada kemampuan kognitif tertentu, penelitian ini menemukan manfaat paling menonjol pada bidang empati dan teori pikiran—kemampuan yang berkaitan dengan pemahaman dan hubungan dengan emosi, serta sudut pandang orang lain.”
Menariknya, analisis tersebut menyoroti, dampak membaca fiksi lebih besar dibandingkan dengan tak melakukan apa pun, menonton fiksi, dan membaca nonfiksi.
Hasil dari meta-analisis dua menunjukkan hubungan yang konsisten dan positif antara jumlah fiksi yang dibaca seumur hidup dan peningkatan keterampilan kognitif. Korelasi ini sangat kuat, terutama kemampuan verbal dan kemampuan kognitif umum, yang mencakup penalaran, berpikir abstrak, dan pemecahan masalah.
“Penelitian ini menunjukkan, orang yang banyak membaca fiksi memiliki keterampilan kognitif yang lebih baik dibandingkan orang yang sedikit atau tidak membaca fiksi sama sekali,” ujar Wimmer kepada PsyPost.
Dikutip dari Washington Post, seorang novelis dan psikolog kognitif di University of Toronto, Keith Oatley dalam jurnal Trends in Cognitive Sciences menyimpulkan, terlibat dengan cerita tentang orang lain dapat meningkatkan empati dan teori pikiran.
“Ketika kita membaca tentang orang lain, kita dapat membayangkan diri kita berada pada posisi mereka, dan kita dapat membayangkan bagaimana rasanya menjadi orang tersebut,” ujar Oatley, dikutip dari Washington Post.
Pada 2006, Oatley pernah membantu melakukan penelitian yang menghubungkan membaca fiksi dengan kinerja yang lebih baik dalam tes empati dan ketajaman sosial. Peserta pertama kali diuji kemampuannya dalam mengenali nama penulis untuk mengetahui berapa banyak buku yang mereka baca dan jenisnya.
Para peserta kemudian dinilai pada indeks reaktivitas interpersonal, yang dirancang untuk mengukur empati dan tes membaca pikiran di mata, yang mengukur kemampuan menafsirkan keadaan mental orang lain dengan meminta orang mengasosiasikan gambar lewat emosi.
“Orang yang membaca lebih banyak fiksi memiliki empati dan pemahaman yang lebih baik terhadap orang lain,” kata Oatley.