close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi anak-anak dan media sosial./Foto geralt/Pxabay.com
icon caption
Ilustrasi anak-anak dan media sosial./Foto geralt/Pxabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Media Sosial
Selasa, 13 Agustus 2024 06:16

Membendung konten negatif tak ramah anak

Menurut riset Indonesia Indicator (1 Januari-21 Juli 2024), terdapat 24.876 unggahan percakapan soal kekerasan digital pada anak.
swipe

Media sosial punya dampak negatif yang serius pada anak-anak. Kondisi tersebut tak bisa dilepaskan dari masih banyaknya konten yang tak ramah anak. Lembaga riset Indonesia Indicator mencatat, walau kegiatan pendidikan masih mendominasi percakapan soal anak di media sosial, ternyata percakapan terkait kekerasan digital tak kalah ramai.

Total percakapan soal kekerasan digital pada anak mencapai 24.876 unggahan, dengan tingkat reaksi warganet sebesar 3.004.014 dalam periode 1 Januari hingga 21 Juli 2024. Rinciannya, bullying atau perundungan sebesar 75.963 unggahan, konten pedofilia 14.227, penipuan online 8.477, judi online 5.021, doksing 763, cyberstalking atau penguntitan dunia maya 611, grooming atau pemikatan seksual 603, dan revenge porn atau penyebaran konten pornografi 205.

Sementara tanggapan warganet terhadap bullying sebesar 5.962.909, penipuan online 912.325, pedofilia 145.730, judi online 65.255, doksing 55.463, revenge porn 27.273, grooming 14.930, dan cyberstalking 36.011.

Menanggapi hal ini, pakar keamanan siber Alfons Tanujaya menilai, sisi negatif media sosial memang mulai sulit dibendung. Beberapa yang mengkhawatirkan adalah judi online, prostitusi anak di bawah umur, pinjaman online, serta konten negatif berbau politik atau SARA.

Alfons memandang, pemerintah perlu melakukan upaya lebih dari sekadar menurunkan konten digital yang tidak ramah anak. Misalnya, meminta penyedia aplikasi guna melakukan penyaringan khusus untuk internet protocol (IP) yang berasal dari Indonesia.

“Seperti membatasi akses konten pornografi, kekerasan, dan konten berbahaya lainnya, contohnya konten radikalisme,” ucap Alfons kepada Alinea.id, Kamis (8/8).

Dia mengingatkan, penyedia konten digital jangan dibiarkan berdiam diri menyebarkan konten yang tidak ramah anak. Semestinya, pemerintah memberikan teguran atau melakukan take down. Selain itu, katanya, pemerintah juga jangan hanya berhenti melakukan blokir untuk menyelesaikan semua masalah. Jalan keluar lainnya, pemerintah harus menyusun solusi jangka panjang, misalnya meningkatkan literasi digital.

“Bekerja sama dengan instansi dan badan terkait untuk melakukan komunikasi dan penelusuran aktivitas negatif, seperti dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) atau kepolisian,” tutur Alfons.

Lainnya, Alfons menilai, orang tua perlu memberikan contoh proaktif mengawasi penggunaan gawai oleh anak agar tak telanjur terpapar konten negatif. Sayangnya, orang tua umumnya lebih gagap teknologi alias gaptek dari anaknya, sehingga sulit diharapkan untuk mengawasi anaknya yang secara teknis lebih paham.

“Jadi, harusnya pendidikan moral, etika, dan memberikan contoh kepada anak itu penting sekali dilakukan oleh orang tua,” kata Alfons.

Sementara itu, psikolog klinis dari Personal Growth, Maria Alyssia mengatakan, dampak konten yang memicu kekerasan digital terhadap anak memang sudah meningkat sejak semua orang beralih ke dunia digital, terutama setelah pandemi. Selain perundungan dan pelecehan, ada pula bentuk-bentuk kekerasan baru yang dimungkinkan oleh teknologi.

“Secara psikologis, ada banyak dampak negatif dari kekerasan digital terhadap kesehatan mental anak,” ujar Maria, Jumat (9/8).

“Hal ini mencakup peningkatan risiko depresi, kecemasan, agresif, penggunaan narkoba, dan banyak lagi.”

Untuk meminimalisir dampak negatif konten digital pada anak, Maria berpendapat, memerlukan peninjauan kembali hukum pidana. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa hukum tersebut mencakup semua bentuk kekerasan dan kejahatan digital terhadap anak-anak. Termasuk bentuk-bentuk bahaya baru yang terlihat sekarang dari siaran streaming dan grooming melalui media sosial.

“Ada baiknya mempertimbangkan bagaimana hukum pidana ini dapat ditegakkan di semua bisnis digital dan membuka jalur komunikasi yang lebih baik bagi anak-anak dan wali untuk melaporkan kekerasan digital apa pun,” tutur Maria.

Penting pula bagi anak-anak dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan untuk menjaga diri mereka, saat sedang menggunakan internet. Menurut Maria, upaya peningkatan literasi digital akan membantu anak-anak memaksimalkan sisi positif dari penggunaan internet.

“Sekaligus meminimalkan risiko bahaya,” ucap Maria.

Terpisah, psikolog klinis A. Kasandra Putranto menilai, konten kekerasan digital dan tak ramah anak dapat menyebabkan rentetan dampak negatif yang buruk pada anak, jika tidak dibendung dengan serangkaian formula pencegahan dan tindakan penanggulangan. Efek psikologis yang bisa ditimbulkan anak yang menjadi korban bullying dari kekerasan digital, di antaranya memicu stres bahkan depresi.

“Anak-anak mungkin merasa terisolasi dan kehilangan minat dalam aktivitas yang sebelumnya mereka nikmati,” kata Kasandra, Jumat (9/8).

“Selain itu juga bisa membuat anak merasa rendah diri. Bullying dan pelecehan online dapat merusak rasa percaya diri anak. Mereka mungkin mulai merasa tidak berharga, yang dapat berlanjut hingga dewasa.”

Lebih lanjut, Kasandra menuturkan, paparan kekerasan digital bisa membuat anak-anak berperilaku agresif terhadap diri sendiri atau orang lain. Karena itu, dukungan orang terdekat dan lingkungan sangat dibutuhkan.

“Edukasi tentang penggunaan media sosial yang aman dan cara melaporkan kekerasan digital juga perlu ditingkatkan,” kata Kasandra.

“Dengan pendekatan yang tepat, anak-anak dapat belajar untuk mengatasi dan melindungi diri dari kekerasan digital.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan