Generasi alfa, yang lahir tahun 2010-2024, merupakan kelompok pertama yang tumbuh di dunia yang sangat bergantung pada teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Sejak lahir, mereka dikeliling perangkat digital, mulai dari ponsel pintar, tablet, TV pintar, kecerdasan artifisial, dan robotika.
Ketika generasi alfa mencapai usia sekolah, banyak yang sudah terbiasa menggunakan perangkat digital untuk mengakses informasi, bermain gim, atau berinteraksi. “Keberlimpahan” terhadap teknologi membuat generasi alfa keunggulan signifikan dibandingkan generasi sebelumnya dalam hal literasi digital.
Berdasarkan Sensus Penduduk 2020 Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah generasi alfa di Indonesia sebanyak 35.320.089 orang atau 10,88%.
Dalam riset yang diterbitkan Quest Journals (2018) Thompson Augusto dos Reis mengungkap generasi alfa merupakan individu yang punya karakteristik perilaku berfokus pada kreativitas, dinamis, dan kepemimpinan. Pengaruh mereka bakal menjadi faktor penentu dalam pemilihan karier di masa depan, yang sebagian besar terarah pada profesi berbasis kepemimpinan, otoritas dalam pengambilan keputusan, dan dalam banyak hal berkaitan dengan teknologi.
“Profesi seperti digital influencer, blogger, dan youtuber menjadi di antara yang paling diminati oleh generasi ini,” tulis Augusto dos Reis.
Dia menyimpulkan, lingkungan keluarga dan sekolah sedang mengalami perubahan signifikan untuk dapat mendukung dan menyampaikan pengetahuan kepada generasi alfa. Sebab, mereka memahami kalau mereka bertanggung jawab atas pembentukan dan perkembangan generasi baru itu.
Menurut psikolog Tika Bisono, meski kemajuan teknologi membawa banyak manfaat bagi generasi alfa, seperti akses informasi yang cepat, kemudahan belajar, dan berbagai inovasi yang mendukung kreativitas, tetapi terdapat risiko besar yang tidak boleh diabaikan.
Tika mengatakan, generasi alfa yang sudah terpapar teknologi sejak usia dini, memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan lingkungan. Bahkan, cara mereka berpikir.
“Anak-anak ini tumbuh dalam lingkungan di mana segala sesuatu tersedia dalam sekejap, sehingga muncul kekhawatiran bahwa mereka mungkin kehilangan kesempatan untuk mengembangkan sifat-sifat penting, seperti kesabaran, empati, dan kemampuan berkomunikasi secara mendalam,” ujar Tika kepada Alinea.id, Minggu (29/12).
Tika menuturkan, orang tua dan masyarakat memiliki peran besar dalam menyeimbangkan pengaruh teknologi terhadap tumbuh kembang generasi alfa. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah memberikan pengalaman langsung di luar teknologi. Semisal, bermain di luar, merasakan alam, dan berinteraksi secara langsung dengan orang lain.
“Hal ini membantu mereka mengembangkan keterampilan sosial, empati, serta pemahaman yang lebih dalam tentang dunia nyata,” ucap Tika.
Tika mengungkapkan, tantangan terbesar dalam membesarkan generasi alfa adalah menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan pengembangan karakter, juga nilai-nilai kemanusiaan. Teknologi memang menawarkan kenyamanan yang luar biasa.
Namun, kata dia, bisa juga menjadi pisau bermata dua, jika digunakan tanpa pengawasan. Misalnya, terlalu banyak waktu yang dihabiskan di depan layar, bisa mengurangi aktivitas fisik, yang berdampak buruk pada kesehatan dan menghambat kemampuan anak untuk menjalin hubungan emosional yang mendalam dengan orang lain.
Orang tua pun menghadapi tantangan dalam memberikan batasan yang sehat terhadap penggunaan teknologi.
“Dengan kesibukan orang tua yang sering kali memanfaatkan perangkat sebagai ‘penjaga’ anak, ada risiko bahwa anak-anak menjadi terlalu bergantung pada teknologi untuk hiburan, pembelajaran, atau bahkan kecerdasan emosional,” ucap Tika.