close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi susu./Foto Myriams-Fotos/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi susu./Foto Myriams-Fotos/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 06 Januari 2024 06:29

Memperkuat dukungan memberi ASI kepada bayi

“Ketika anak absen dan tidak menyusu kepada ibunya, ada risiko mortalitas, morbiditas luar biasa besar.”
swipe

Masifnya iklan dan promosi produk susu formula yang diklaim bisa menggantikan air susu ibu (ASI) dikhawatirkan dapat mengancam keberlangsungan dan keberhasilan ibu menyusui. Sebab, ibu menyusui dapat terpengaruh, sehingga lebih mudah memberikan susu formula sebagai pengganti ASI kepada bayi.

Padahal, World Health Organization (WHO) telah melarang pemasaran susu formula, termasuk produk makanan pengganti ASI melalui Code of Marketing of Breastmilk Substitutes dalam sidang World Health Assembly (WHA) pada 1981. Tak hanya itu, WHO beserta UNICEF juga telah merekomendasikan negara-negara anggotanya untuk mengadopsi Code ke dalam regulasi nasional.

Di Indonesia, Code diadopsi dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 39 Tahun 2013 tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi Lainnya, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Ekslusif.

Pasal 20 dalam permenkes itu menyebut, pemerintah hanya memperbolehkan iklan dan promosi susu formula pada media cetak khusus tentang kesehatan dan harus melalui izin Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebelum diterbitkan. Menurut pendiri PelanggaranKode, Irma Hidayana, susu formula tak boleh diberikan kepada bayi karena awal kehidupan bayi sangat rentan.

“Ketika anak absen dan tidak menyusu kepada ibunya, ada risiko mortalitas, morbiditas luar biasa besar,” kata Irma kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.

PelanggaranKode adalah platform yang punya perhatian terhadap kesehatan dan gizi anak. Sejak didirikan pada 2021, PelanggaranKode mencatat 1.233 laporan pemasaran susu formula komersial kepada ibu yang masih menyusui anak usia 0 hingga 36 bulan.

Dari jumlah tersebut, 443 promosi di antaranya dilakukan lewat iklan di media sosial dan 17 di televisi, radio, dan media cetak. Sementara 197 promosi dilakukan webinar atau Instagram live dengan tema kesehatan atau gizi ibu dan anak, yang disponsori produsen susu formula. Kemudian, 71 iklan dilakukan petugas pemasaran yang menghubungi ibu secara langsung, dari sosial media, surat, surat elektronik, maupun telepon.

“Ini jelas-jelas tidak boleh. Ini dilarang dalam Kode. Bahkan, ada faskes (fasilitas kesehatan) yang membagikan susu formula sebagai PMT (pemberian makanan tambahan) untuk mencegah stunting,” tutur Irma.

Masih masifnya promosi dan iklan susu formula di berbagai media, tampaknya mengharuskan pemerintah untuk kembali me-review dan memperketat aturan. Jika tidak, co-founder Ayah ASI, Rahmat Hidayat khawatir, kesehatan dan kecukupan gizi bayi akan terancam. Imbasnya, menyebabkan peningkatan angka stunting.

“Susu formula bayi dan anak tidak memiliki kandungan gizi selengkap ASI. Susu formula juga tidak mengandung zat kekebalan tubuh yang mampu melindungan anak dari berbagai penyakit,” ujar Rahmat, Jumat (5/1).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, sebanyak 95,79% proses persalinan dilakukan tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan. Sayangnya, inisiasi menyusui dini saat persalinan oleh tenaga kesehatan masih sebesar 65,74%. Selain itu, masih ada kesenjangan pemberian ASI angsung oleh ibu yang baru melahirkan kepada bayinya. Padahal, inisiasi menyusui dini berpotensi menurunkan risiko kematian bayi hingga 22%.

Data riset kesehatan dasar (riskesdas) Kemenkes pun menunjukkan, angka inisiasi menyusui dini turun dari 58,1% di 2018 menjadi 48,6% pada 2021. Begitu pula dengan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan yang turun, dari 64,5% pada 2018 menjadi 52,5% pada 2021. Namun, variasi makanan yang diberikan kepada bayi usia dua tahun justru meningkat dari 46,6% pada 2018 menjadi 52,5% pada 2021.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Nia Umar mengungkapkan, untuk mendorong keberlangsungan dan keberhasilan menyusui di Indonesia, dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Termasuk suami dan keluarga, yang mesti terlibat aktif dalam pengasuhan anak saat periode menyusui. Tenaga kesehatan juga harus punya komitmen dan kompetensi dalam memberikan dukungan menyusui kepada ibu sejak bayi lahir.

“Tenaga kesehatan perlu tahu cara ibu melekatkan bayinya ke payudara,” ujar Nia, Jumat (5/1). “Perlu tahu bagaimana cara mengatasi kalau ibu ada kesulitan saat menyusui.”

Pemerintah pun perlu menyiapkan, menggerakkan, dan membuat regulasi untuk mempromosikan ASI secara komprehensif. Di samping itu, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang mengatur tentang perlindungan hak ibu dan anak. Termasuk mengatur kemitraan terkait pihak-pihak yang memiliki konflik kepentingan dalam masalah ini.

“Kita lihat sekarang gelontoran miliaran atau triliunan rupiah untuk mempromosikan susu formula,” tutur dia.

“Ini tidak seimbang dalam promosi pemberian makan dan minum anak yang baik, termasuk menyusui.”

Selanjutnya, kata Nia, pemerintah mesti pula memastikan pihak-pihak yang bergerak dalam mendukung ibu menyusui. Terkait itu, regulasi soal pelarangan promosi susu formula ebagai pengganti ASI harus diperketat.

“Kita bukan minta susu formula tidak boleh dijual, yang kita minta peraturan untuk mengatur pemasarannya. Karena pemasarannya memang ugal-ugalan, sangat agresif,” ucap dia.

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan