close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi tangan seorang anak dan orang tua./Foto Myriams-Fotos/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi tangan seorang anak dan orang tua./Foto Myriams-Fotos/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Mental Health
Jumat, 09 Agustus 2024 06:05

Memulihkan trauma psikis anak korban kekerasan

Kejadian kekerasan fisik kepada anak-anak kerap menyisakan trauma psikis bagi korban. Bagaimana mengatasinya?
swipe

Daycare atau tempat penitipan anak Wensen School di Depok, Jawa Barat viral usai terjadi penganiayaan terhadap satu balita berusia dua tahun dan seorang bayi berusia delapan bulan beberapa waktu lalu. Buntutnya, pelaku penganiayaan yang juga ketua yayasan daycare itu, Meita Irianty ditetapkan sebagai tersangka.

Walau kasus kekerasan itu sudah terungkap pelakunya, tetapi anak-anak korban penganiayaan yang diduga dilakukan Meita—dengan cara ditendang dan dipukul berdasarkan bukti rekaman video CCTV yang tersebar—belum pulih dari trauma.

Misalnya, ibu dari balita berusia dua tahun korban kekerasan Meita, berkisah di podcast kanal YouTube Denny Sumargo bahwa anaknya sempat melakukan visum secara psikis di Rumah Sakit Polri, Jakarta. Menurutnya, anaknya kalau malam tiba sering mengigau dan menangis tanpa ada alasan yang jelas. Anaknya pun menjadi ketakutan bila berada di ruangan tertutup.

Diketahui dari rekaman video CCTV yang beredar, anaknya sempat disekap di dalam ruangan bersama bayi berusia delapan bulan, yang juga menjadi korban kekerasan. Sedangkan ayah dari bayi delapan bulan korban kekerasan itu, yang juga bercerita di siniar Denny Sumargo, mengaku anaknya sekarang menjadi takut dengan air.

Kejadian memilukan di daycare tersebut adalah salah satu contoh kekerasan terhadap anak, yang membuat trauma. Terbaru, seorang anak berusia satu tahun di Pinrang, Sulawesi Selatan menjadi korban kekerasan ayahnya sendiri, dengan cara dibanting dan digantung.

Menurut psikolog anak, remaja, dan keluarga sekaligus Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani, Sani Budiantini Hermawan, perhatian dari orang tua perlu diberikan lebih karena hal itu merupakan langkah pemulihan. Sudah sepatutnya perlindungan terhadap anak yang aman diberikan.

Sani mengatakan, dampak dari peristiwa kekerasan dapat menyebabkan keraguan atau ketakutan anak-anak terhadap orang dewasa. Perhatian, kata dia, bisa dilakukan dengan waktu bermain anak.

“Pantau apa kebutuhannya, misalnya bermain, sehingga anak tumbuh trust kepada orang dewasa,” kata Sani kepada Alinea.id, Kamis (8/8).

Sani menerangkan, pemetaan terhadap tempat penitipan anak harus dilakukan, sebelum orang tua menitipkan anaknya. Bahkan, harus diselisik lebih jauh, seperti soal perizinan daycare. Jika orang tua kapok menitipkan anaknya, maka dapat menitipkannya pada anggota keluarga yang bisa dipercaya dan mampu mengasuh.

“Yang terpenting, harus jeli dan peka juga terhadap anak,” ucap Sani.

Sementara itu, psikolog forensik klinis A. Kasandra Putranto menjelaskan, perlu asesmen psikologis dengan tenaga profesional, seperti psikolog demi memulihkan kondisi mental anak korban kekerasan. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah psikologis yang muncul akibat kekerasan.

Kemudian, ada konseling dan terapi pemulihan psikologis, yang diharapkan dapat mengatasi perasaan dan kenangan yang menyakitkan. Tujuannya, memulihkan kondisi psikologis anak dan orang tua, agar dapat kembali ke kondisi normal.

“Berbagai metode dapat dilibatkan, termasuk terapi bermain, yang memungkinkan anak mengekspresikan perasaan mereka melalui permainan,” ujar Kasandra, Rabu (7/8).

Kasandra menyebut, diperlukan juga dukungan emosional dari keluarga dalam proses pemulihan. Orang tua pun perlu mendapatkan dukungan psikologis untuk membantu mereka mengatasi perasaan cemas atau bersalah, yang mungkin muncul setelah kejadian kekerasan.

Selanjutnya, pemberdayaan dan komunikasi yang baik antara orang tua dan anak sangat penting. Orang tua, kata dia, harus berusaha mendengarkan dan memahami perasaan anak, serta memberikan dukungan yang diperlukan.

“Penyediaan lingkungan yang aman dan nyaman di rumah dapat membantu anak merasa lebih tenang dan terlindungi,” tutur Kasandra.

Hal ini termasuk menghindari situasi yang dapat memicu ingatan buruk tentang trauma. Proses hukum dan perlindungan yang dilakukan anggota keluarga, konselor, dan psikolog pun sangat penting. Termasuk penyintas sendiri yang punya keinginan pulih seperti sediakala.

Kasandra mengingatkan pula, trauma dapat muncul dari berbagai pengalaman, seperti kehilangan, kecelakaan, atau situasi stres lainny. Tidak selalu melibatkan kekerasan fisik. Tak lupa, Kasandra menyarankan, agar orang tua meluangkan waktu yang berkualitas untuk anak.

“Seperti waktu bermain, membaca, atau melakukan aktivitas bersama. Pastikan waktu ini tidak terganggu oleh pekerjaan,” tutur Kasandra.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan