Memutus ketagihan mengadu nasib lewat judi online
PA, 22 tahun, mengaku sudah terbebas dari candu judi online. Dia mengatakan, awalnya mengenal judi online dari beberapa temannya, yang mengatakan mudah mendapatkan uang dari permainan haram itu. PA tergoda. Dia iseng ikutan main judi online. Apalagi, saat itu tengah pandemi.
“Saya butuh penghasilan tambahan karena waktu itu saya kehilangan pekerjaan part-time,” kata PA yang berstatus mahasiswa tersebut kepada Alinea.id, Rabu (20/11).
Mulanya, dia coba taruhan dalam nominal rupiah yang kecil. Lalu, sekali menang. Dari sini, dia berpikir judi online adalah cara cepat untuk mendapatkan uang. Lama-lama, PA terus main karena selalu ingin balik modal, setiap kali kalah.
“Dari yang cuma iseng, akhirnya jadi kebiasaan harian,” ucap PA.
Bagi PA, dampak keranjingan judi online sangat besar. Keuangannya mulai berantakan. Sebab, setiap kali ada uang, selalu habis untuk taruhan. Karena candu judi online, PA jadi sering berbohong pada keluarga dan temannya. Dia meminjam uang, tanpa memberi tahu untuk berjudi.
“Hubungan saya dengan mereka jadi renggang karena saya sering bohong dan enggak bisa bayar utang tepat waktu,” kata PA.
“Saya juga lebih suka menyendiri, sibuk main (judi) di hp, dan sering enggak fokus kuliah karena mikirin hasil taruhan.”
Segala dampak yang dia rasakan itu, menjadi titik balik baginya untuk berhenti main judi. “Orang tua saya nangis, itu rasanya kayak tamparan keras. Dari situ, saya mulai cari bantuan dan bergabung dengan komunitas pendukung,” ujar PA.
Dari sana, PA mulai pelan-pelan belajar mengendalikan diri dan menghindari semua hal yang memicunya buat bermain judi lagi. Menurut PA, tantangan terbesarnya untuk berhenti adalah melawan rasa ketagihan dan keyakinan palsu kalau bermain lagi pasti menang.
Terlebih, godaan dari iklan-iklan judi online di media sosial, yang menurut dia, tak kalah berat. Dia juga kerap ragu, apakah bisa hidup tanpa peluang cepat kaya seperti yang dijanjikan judi online.
“Selama ini, saya terbiasa berharap pada keberuntungan. Jadi, sulit banget untuk berhenti,” tutur PA.
Termasuk gangguan kejiwaan?
Saat ini, Indonesia termasuk negara darurat judi online. Berdasarkan data intelijen yang diungkap Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Budi Gunawan, selama 2024 ada 8,8 juta orang Indonesia terlibat judi online. Sebanyak 80% di antaranya berasal dari masyarakat ekonomi kelas bawah dan anak muda.
Mirisnya, dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR di Gedung DPR/MPR, Jakarta beberapa waktu lalu, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana bahkan mengungkap, umur pemain judi online di Indonesia sudah merambah kurang dari 10 tahun. Dari 2017 hingga 2023, kelompok pemain judi online berusia kurang dari 10 tahun mencapai 2,02%. Kemudian, kelompok usia 10-20 tahun sebesar 10,97%, 21-30 tahun sebanyak 12,82%, kurang dari 50 tahun 33,98%, dan rentang 30-50 tahun mencapai 40,18%.
Di antara para pemian judi online tersebut, banyak pula yang pergi mencari bantuan. Salah satunya ke rumah sakit. Kepala Pelayanan Departemen Psikiatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kristiana Siste, seperti dikutip dari laporan Tempo, mengungkapkan dari Januari hingga Oktober 2024 total pasien rawat jalan akibat kecanduan judi online mencapai 126 orang. Jumlah tersebut meningkat dua kali lipat dibanding 2023.
Sedangkan pasien rawat inap korban judi online hingga Oktober mencapai 46 orang. Rata-rata pasien pecandu judi online yang dirawat di RSCM termasuk usia produktif, sekitar 18 hingga 35 tahun.
Menurut psikiater dari Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Lahargo Kembaren, kecanduan judi adalah gangguan kejiwaan yang disebut pathological gambling atau judi patologis. Gangguan psikologis ini terjadi ketika seseorang tidak mampu mengendalikan dorongan untuk berjudi, meski menyadari ada konsekuensi negatif yang mungkin timbul.
“Gejala klinis dari kondisi ini meliputi dorongan yang kuat untuk berjudi, kesulitan menghentikan aktivitas berjudi, meningkatnya gangguan emosional saat tidak berjudi, serta menggunakan judi sebagai mekanisme untuk mengatasi masalah atau stres,” kata Lahargo, Rabu (20/11).
Kecanduan judi, lanjut Lahargo, merupakan kondisi medis yang termasuk pada adiksi perilaku, sama dengan adiksi zat seperti rokok, alkohol, dan narkoba. Dalam adiksi perilaku, sirkuit saraf di otak mengalami gangguan, serupa dengan adiksi zat.
“Inilah yang menyebabkan orang yang mengalami adiksi judi sulit untuk berhenti karena ada keseimbangan saraf otak yang terganggu,” ujar Lahargo.
Dia menjelaskan, di otak seseorang yang kecanduan judi, terjadi gangguan berupa keseimbangan neurokimia atau neurotransmitter otak serta gangguan regio otak. Gangguan otak ini menimbulkan gangguan mental dan perilaku, seperti mengontrol pikiran, kesuitan membuat keputusan, terlalu berani mengambil risiko, sulit menemukan alternatif, kemampuan menunda dan menghitung kemungkinan, serta kemampuan mengolah situasi menang, kalah, atau hampir menang.
“Hal ini lebih berbahaya bila terjadi pada masa anak dan remaja karena pertumbuhan dan perkembangan otaknya belum cukup matang, sehingga dapat menyebabkan gangguan yang lebih serius pada struktur dan fungsi otak,” tutur Lahargo.
Bagaimana mengobatinya?
Lahargo menyebut, banyak sekali dampak dari kecanduan judi. Pertama, menyebabkan gangguan mental emosional dan psikologis, seperti gangguan kecemasan, depresi, psikotik, hingga tindakan ingin mengakhiri hidup. Kedua, kerugian finansial karena habisnya tabungan dan aset untuk berjudi atau membayar utang akibat pinjaman. Ketiga, hubungan dalam keluarga menjadi terganggu dan rusak. Keempat, masalah hukum.
“Kecanduan judi memunculkan perilaku manipulatif, agresif, berbohong, mencuri, dan tindak kriminal karena sulit menahan dorongan berjudi,” kata Lahargo.
“Bahkan, tidak jarang melakukan perilaku kekerasan.”
Mengutip Diagnostic Statistical Manual (DSM V), Lahargo mengatakan, seseorang bisa disebut mengalami gangguan kompulsif judi patologis bila memenuhi paling tidak lima kriteria gejala, antara lain keinginan untuk berjudi dalam jumlah yang semakin bertambah besar untuk mendapat kenikmatan; gelisah, sensitif, dan mudah tersinggung saat berusaha mengurangi atau berhenti berjudi; selalu gagal dalam mengurangi atau berhenti berjudi.
Lalu, selalu berpikir untuk bermain judi karena ada sugesti pengalaman berjudi; berjudi saat sedang stres, cemas, gelisah, dan tertekan; usai kehilangan uang yang banyak karena berjudi, kembali lagi melakukannya dengan harapan mendapatkan uangnya lagi; berbohong dan manipulatif; mengalami masalah dalam relasi, pekerjaan, akademik, dan karier; serta bergantung pada orang lain untuk mengatasi masalah finansial akibat judi.
“Gejala ini (bisa diamati) selama minimal 12 bulan,” tutur Lahargo.
Lahargo menerangkan, ada beberapa cara menekan kecanduan judi, yakni promotif dan preventif, pengobatan, dan psikoterapi. Promotif dan preventif, menurut dia, dilakukan dengan cara melakukan edukasi soal risiko berjudi, promosi gaya hidup sehat, serta memantau dan mengatur waktu yang dihabiskan untuk berjudi.
Pengobatan bisa dilakukan dengan memberikan obat antidepresan dan mood stabilizer untuk membantu pemulihan. Sementara teknik psikoterapi, seperti cognitive behavior therapy (CBT), kata dia, dapat membuat seseorang yang mengalami adiksi judi mengenali distorsi kognitif dan berlatih membuat alternatif pikiran serta perilaku.
Di sisi lain, Lahargo menekankan, rehabilitasi bisa dilakukan secara rawat jalan atau inap, dengan melakukan detoksifikasi—mengambil jarak dari pemicu yang saat ini menyebabkan munculnya ketagihan berjudi.
“Dukungan keluarga dan orang terdekat amat dibutuhkan oleh orang yang mengalami adiksi judi,” kata Lahargo.
“Tidak memberikan penghakiman, label negatif, pengucilan, dan pengabaian, tetapi hadir bagi mereka yang mengalami adiksi judi, memberikan perhatian, kehangatan, dan kasih sayang.”