Memutuskan masa depan calon karyawan dari media sosial
Andrean, 21 tahun, merasa sistem perekrutan karyawan di Indonesia saat ini sudah mulai membaik. Sebab, bersifat terbuka. Tak mengandalkan kekuatan “orang dalam” seperti dahulu. Ia berpendapat, riwayat pendidikan sangat berpengaruh dalam proses perekrutan, dibanding citra diri seseorang.
“Karena pribadi seseorang tergantung bagaimana pendidikannya, tetapi di era sekarang personal branding (citra diri) lebih penting dalam proses rekrutmen,” ujarnya kepada Alinea.id, Sabtu (21/10).
“Dikarenakan perusahaan sekarang lebih menginginkan karyawan yang dapat meningkatkan citra perusahaannya.”
Dirasa perlu
Oleh karenanya, Andrean menganggap proses penyaringan dilihat dari akun media sosial calon karyawan dirasa perlu. “Karena hal ini juga bisa menjadi jalan keluar dari sistem rekrutmen yang mengandalkan orang dalam,” ucap mahasiswa kelas karyawan yang tengah mencari pekerjaan ini.
“Dengan adanya sistem seperti ini akan membuat rekrutmen terbuka dan nyata.”
Ia menilai, proses penyaringan calon karyawan mengacu dari media sosialnya bisa menjadi sarana yang efektif untuk mengenal kandidat. “Era sekarang adalah era digitalisasi dan media sosial menjadi dunia baru tempat berkomunikasi atau menjalin hubungan,” kata dia.
Salsa, 22 tahun, seorang mahasiswa yang pernah bekerja paruh waktu pun menyebut, sistem penyaringan calon karyawan berdasarkan media sosialnya sangat penting. Sebab, kata dia, ada pelaku kasus pelecehan seksual yang masih bisa bekerja dengan nyaman. Terkait hal itu, bagi Salsa, media sosial bisa menjadi dasar perekrut kerja untuk memantau rekam jejak seseorang.
Menurutnya, penyaringan lewat media sosial dan citra diri ketika sedang wawancara kerja, bisa dijadikan penilaian dalam menerima atau menolak seorang calon karyawan. “Tapi setidaknya, suatu perusahaan juga mengenal terlebih dahulu (dari media sosialnya),” kata Salsa, Jumat (20/10).
“Mengenal secara langsung juga termasuk yang perlu dipertimbangkan ya, untuk yang bukan pelaku kejahatan di luar sana.”
Senada, Rapala, 22 tahun, yang juga pencari kerja sepakat perlu ada penyaringan dari perusahaan berdasarkan media sosial calon karyawan. Namun, menurutnya, tergantung posisi yang dilamar.
“Misalnya, kita melamar ke divisi media sosial, pastinya media sosial akan dicek, kira-kira personal branding apa yang sudah kita bangun,” ujarnya, Sabtu (21/10).
“Lain halnya kalau kita melamar di posisi akuntansi, itu pasti yang dicek pendidikannya dulu.”
Rapala mengatakan, saat ini sudah banyak human resource development (HRD) yang mengecek calon karyawan melalui media sosial, seperti Linkedln. Biasanya, yang dicek adalah pengalaman dan aktivitas calon karyawan di media sosial tersebut.
Bukan hanya di Indonesia. Perekrut calon karyawan di Amerika Serikat pun melakukan penyaringan calon karyawan berdasarkan media sosialnya.
Tahun 2020, perusahaan riset The Harris Poll—dari hasil survei yang dilakukan 21 April dan 6 Mei 2020 terhadap 1.005 perekrut calon karyawan di Amerika Serikat—menemukan 70% perekrut calon karyawan di Amerika Serikat sepakat bahwa melihat profil media sosial kandidat adalah cara efektif untuk menyaring pelamar kerja.
Sebanyak 67% perekrut menyatakan, mereka menggunakan situs jejaring sosial untuk meneliti calon pekerja yang potensial. Lalu, bagi perekrut yang memanfaatkan media sosial untuk meneliti kandidat, sebanyak 55% menemukan konten yang menyebabkan mereka menolak pelamar.
Boleh atau tidak?
Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Nur Effendi menilai wajar jika perusahaan mencari jejak masa lalu seseorang dari media sosial. “Siapa tahu ada orang yang terlibat permasalahan, seperti mantan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) atau residivis,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (22/10).
“Saya pikir wajar-wajar saja, agar orang yang mereka terima itu benar-benar bersih dari permasalahan.
Ia menyatakan, melalui media sosial, perusahaan bisa mengetahui segala hal yang negatif. Misalnya, menyangkut penyebaran atau pembuatan konten hoaks. Perusahaan juga bisa melihat komentar-komentar di unggahan orang lain dengan kata-kata tak baik.
“Itu harus di-screening. Mana mungkin sebuah perusahaan mau menerima orang yang menyebar ujaran kebencian,” tuturnya.
Tadjuddin tak melihat penyaringan calon karyawan dari media sosial sebagai hal yang merugikan kandidat. Alasannya, perekrut juga akan berhati-hati untuk menerima orang yang akan bekerja di perusahaannya.
“Pasti perusahaan juga menginginkan yang terbaik untuk menjaga kepentingan perusahaan,” kata dia.
Ia pun tak melihat ada pelanggaran terkait hal itu. “Media sosial bersifat terbuka dan siapa pun berhak untuk melihat,” ujarnya.
“Kalau Anda masih mau menggapai masa depan, jangan gunakan media sosial untuk hal-hal yang merugikan orang lain.”
Sementara itu, koordinator Divisi Advokasi Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Bimo Aria Fundrika mengatakan, proses perekrutan calon karyawan dari melihat media sosial kandidat tidak relevan. Apalagi digunakan untuk mengetahui identitas gender, keagamaan, atau kelompok tertentu sebagai bagian dari proses perekrutan.
“Media sosial itu kan terkadang ranah privasi bagi seseorang. Maksudnya, banyak orang menggunakan media sosial yang tidak ada hubungannya dengan ranah pekerjaan,” kata Bimo, Senin (23/10).
Menurut Bimo, seseorang membuat media sosial dengan alasan yang berbeda-beda. Semisal, hanya untuk mengunggah sesuatu, hobi, atau sekadar iseng. Maka, ketika perusahaan melakukan penyaringan lewat media sosial akan rentan diskriminasi.
“Apalagi kalau melakukan screening media sosial, tapi kita tidak meminta langsung (izin) kepada kandidatnya,” tutur dia.
“Misal kita mencari sendiri dengan bermodalkan nama (kandidat). Itu kan belum tentu media sosial milik kandidat. Bisa saja ada orang lain yang memanfaatkan identitasnya.”
Bagi Bimo, karena segala alasan tadi, maka proses penyaringan calon karyawan berdasarkan media sosialnya bisa merugikan. “Tentu ini akan menjadi sebuah pelanggaran,” kata Bimo.
Bimo menyarankan, sebaiknya dalam proses merekrut calon karyawan, perusahaan tak melihat media sosial untuk disaring. Lebih baik, katanya, melihat dari curriculum vitae (CV) dan portofolio sebagai latar belakang seseorang.
“Karena memang tidak semua orang membuat media sosial untuk mencari kerja,” ucap Bimo.