Menanti komitmen capres-cawapres dalam isu krisis iklim
Tiga calon wakil presiden (cawapres), yakni Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD, bakal melaksanakan debat keempat Pilpres 2024 pada Minggu (21/1) malam. Isu yang akan diangkat terkait pembangunan berkelanjutan, lingkungan hidup, energi, sumber daya alam, pangan, agraria, serta masyarakat adat dan desa. Namun, isu keadilan iklim tak masuk menjadi tema khusus dalam debat nanti.
Selain itu, dalam dokumen visi-misi tiga capres-cawapres tak ada satu pun yang menyinggung peta jalan atau roadmap untuk menyelesaikan akar persoalan krisis iklim. Seolah-olah, isu krisis iklim hanya dianggap sebagai isu kedua atau tempelan dari isu-isu lainnya.
“Padahal semestinya, isu krisis iklim harus menjadi pembahasan tersendiri karena telah menyebabkan kehilangan, kerusakan, dan kerugian yang tidak sedikit bagi Indonesia,” kata Decmonth Pasaribu dari Extinction Rebellion Indonesia saat dihubungi Alinea.id, Jumat (19/1).
Di Indonesia, krisis iklim telah memicu terjadinya cuaca ekstrem dan bencana. Termasuk gagal panen dan semakin banyaknya kebakaran hutan dan lahan. Bahkan, menurut Bank Dunia, kerentanan Indonesia terhadap dampak krisis iklim ada di posisi ke-3 tertinggi di dunia.
Ancaman kerentanan tersebut meliputi kerusakan ekosistem laut, serta hilangnya pulau-pulau kecil dan kampung-kampung pesisir. Kegagalan Indonesia mengantisipasi krisis iklim, menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) the Sixth Assessment Report (AR6) akan berdampak pada kerugian ekonomi nasional hingga 7% pada 2100.
“Pada akhirnya, dampak dari kegagalan menangani krisis iklim mesti ditanggung oleh kelompok rentan yang selama ini berkontribusi paling kecil atas peningkatan emisi gas rumah kaca,” ujar Decmonth yang juga pemuda Partai Hijau Indonesia itu.
Saat ini, solusi adaptasi yang diterapkan pemerintah untuk mengatasi krisis iklim tak berorientasi pada ekosistem dan manusia yang tinggal di pulau-pulau dengan kerentanan tinggi. Parahnya, alih-alih memulihkan kerusakan lingkungan, proyek reklamasi pantai justru merusak ekosistem asli. Bahkan, berbuntut penggusuran warga lokal.
Kemudian, pembangunan di sektor pangan yang semestinya bertujuan mengatasi dampak perubahan iklim yang berbeda-beda di kepulauan Indonesia, diseragamkan lewat proyek food estate. Hal ini justru menimbulkan kerentanan baru karena pembukaan lahan yang besar dan monokultur dari program itu. Food estate pun berpotensi menimbulkan risiko pada ketahanan dan kedaulatan pangan warga lokal.
“Adaptasi semestinya melindungi dampak perubahan iklim melalui ketahanan ekosistem dan keanekaragaman hayati lokal, serta melindungi hak komunitas sambil meningkatkan kapabilitas masyarakat lokal,” tutur Direktur Eksekutif Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (Pikul) Torry Kuswardono, Jumat (19/1).
Penanganan krisis iklim yang tak pas, lanjut Torry, dapat memperpanjang ketidakadilan yang sudah ada. Bahkan berpotensi membentuk ketidakadilan baru. Di sisi lain, minimnya regulasi yang mengintegrasikan prinsip-prinsip keadilan iklim juga bakal memperparah ketidakadilan iklim.
Hingga kini, masih sangat banyak peraturan yang tumpang tindih dan belum menjadi jawaban masalah kerusakan lingkungan.
“Harusnya solusi yang dijalankan untuk mitigasi perubahan iklim berbasis pada kebutuhan rakyat, dilakukan secara partisipatif dan inklusif,” tutur Torry.
Karenanya, menurut Torry, para kandidat harus menunjukkan komitmen mereka untuk mewujudkan keadilan iklim. Salah satunya melalui pembentukan regulasi yang menempatkan keadilan iklim sebagai inti. Selain itu, kebijakan berlandaskan keadilan iklim harus menjadi tawaran solusi untuk menangani perubahan iklim.
Dengan begitu, dapat mencegah pembuatan kebijakan iklim yang bersifat parsial, mengingat perubahan iklim adalah masalah struktural. Adanya undang-undang tentang keadilan iklim bisa jadi dapat membantu pengambil keputusan untuk melihat dan mewujudkan prakondisi, serta pendukung utama solusi krisis iklim.
Para kandidat juga perlu memastikan tak ada tindakan mitigasi dan adaptasi yang mengorbankan wilayah dan membuat rakyat menjadi korban, seperti yang terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Lalu memastikan pengakuan dan pelibatan masyarakat adat, kelompok disabilitas, nelayan, petani, perempuan, anak, dan kaum miskin kota dalam mengambil keputusan.
“Sebab, mereka yang paling tidak diuntungkan dalam krisis iklim dan sering kali memiliki posisi tawar politik yang lemah,” kata Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Eksekutif Nasional, Satrio Manggala, Jumat (19/1).
Lemahkan kerangka hukum terkait perubahan iklim dan tak dipertimbangkannya keadilan iklim, memunculkan model ketidakadian baru dalam penanganan perubahan iklim. Salah satu contohnya, kata Satrio, adalah dilanggarnya hak-hak pekerja dalam perwujudan transisi energi akibat lemahnya jaminan hak pekerja dan kondisi kerja yang tak layak.
“Ini terlihat pada banyaknya kecelakaan kerja di smelter nikel yang menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik,” tutur Satrio.
Komitmen yang kuat terhadap penegakan hukum soal lingkungan hidup adalah hal terpenting. Satrio bilang, hingga kini masih banyak industri dan korporasi yang belum patuh terhadap ketentuan perlindungan lingkungan hidup, serta belum punya rencana penanganan perubahan iklim dalam praktik usahanya.
Nyatanya, kondisi tersebut dibiarkan pemerintah karena usaha yang dijalankan perusahaan-perusahaan itu merupakan salah satu upaya untuk mencapai transisi energi, yang bertujuan mengurangi emisi.
“Para kandidat perlu menunjukkan komitmen yang kuat terhadap penegakan hukum kepada entitas yang merusak lingkungan dan tidak mengkriminalisasi pejuang lingkungan hidup,” ucap Satrio.