Mencecap rasa di Kikugawa, restoran Jepang pertama di Indonesia
Malam itu, saya agak ragu saat masuk ke halaman sebuah rumah mungil bergaya Jepang di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Tempat ini tak terlihat sebuah restoran yang ingin saya tuju.
Usai bergeming beberapa saat, keyakinan saya menguat, saat melihat tulisan kecil “Kikugawa” di muka rumah mungil ini. Kukigawa merupakan restoran Jepang pertama, boleh jadi bukan hanya di Jakarta, tapi di Indonesia.
Saya bergegas masuk. Melewati hamparan bebatuan kecil tertata apik, yang ada di depan restoran. Ada pula kolam kecil dengan jembatan merah di atasnya.
Suasana Negeri Sakura
Tiga pelayan perempuan menyambut hangat, ketika saya masuk ke dalam restoran. Mereka baru saja membuka kembali restoran, setelah beberapa jam tutup. Restoran ini memang masih menggunakan tradisi Jepang, dalam hal jam operasional serupa restoran yang ada di Negeri Sakura.
Jam operasional pertama, buka pukul 11.30-15.00 WIB. Kemudian, tutup. Sore hari, pukul 17.30-22.00 WIB kembali buka.
“Kami memang buka di jam makan siang dan makan malam saja,” kata seorang pelayan.
Suasana di depan pintu masuk restoran Kikugawa. Jembatan merah yang terbentang di atas kolam menjadi perantara pengantar mencicipi kuliner di Kikugawa. (Alinea.id/Laila Ramdhini).
Suasana Jepang makin terasa di dalam restoran. Berbagai hiasan khas Jepang ditata rapi, seperti guci, patung, dan pohon anggrek bulan. Palang kayu bercat merah, yang disebut torii, membentang di salah satu dinding pemisah antarruangan.
Torii sendiri sebenarnya merupakan bangunan di kuil Shinto, yang menjadi pembatas antara kawasan tempat tinggal manusia dengan kawasan suci.
Restoran ini memiliki tiga ruangan. Tepat di depan pintu masuk, ada ruangan dengan alas dinding bergelombang hitam. Di ruangan sebelahnya, terlihat lebih besar, terdapat meja panjang dan hiasan dinding. Sementara di ruangan terakhir, belum dibuka, karena pengunjung masih sepi.
Kesan kuno pada restoran terlihat dari kursi berbahan rotan, yang dilapisi bantal merah di atasnya. Barangkali, sang pemilik membawa kursi berbahan rotan untuk memberi sentuhan Indonesia di restoran ini.
Pasangan Indonesia-Jepang
"Pak Kikuchi sudah wafat. Sekarang yang meneruskan (bisnis) restoran ini (adalah) anak lelakinya, turunan pertama dari Pak Kikuchi," kata salah seorang pelayan.
Kikuchi yang dimaksud adalah Kikuchi Surutake. Konon, pria Jepang ini ke Indonesia sebagai serdadu, saat Jepang menduduki Indonesia pada 1942. Kikuchi menikah dengan perempuan asal Manado bernama Amelia Paat.
Menurut artikel “Yakiniku Prasmanan” dalam majalah Tempo edisi 14 November 1987, sebelum mendirikan Kikugawa, pada 1957 pasangan suami-istri ini mendirikan sebuah restoran di daerah Roppongi, Tokyo.
Restorannya itu diberinama Bengawan Solo, mengadopsi judul lagu ciptaan Gesang yang sangat populer di Jepang. Modal yang dikeluarkan membangun restoran itu 30.000 yen.
Yakiniku udon, salah satu menu yang bisa dipilih di restoran Kikugawa, Cikini, Jakarta Pusat. (Alinea.id/Laila Ramdhini).
Restoran tersebut menjadi restoran pertama yang menyajikan masakan khas Indonesia di Jepang. Lantas, Amelia dan Kikuchi hijrah dan menetap di Indonesia. Restoran Bengawan Solo diwariskan ke anaknya. Pasangan suami-istri ini kemudian mendirikan restoran Jepang Kikugawa pada 21 April 1969.
Kunci sukses Kikugawa, menurut artikel dalam majalah Tempo tadi, adalah Amelia Paat. Dia rajin mengecek langsung ke dapur, dua atau tiga kali seminggu. Kikugawa, merujuk pada artikel dalam majalah Tempo tersebut, artinya Sungai Bunga Matahari.
Namun, menurut sejumlah informasi, Kikugawa merupakan gabungan nama Kikuchi dan lagu “Bengawan Solo”. Bengawan Solo sendiri merupakan nama sungai. Sungai dalam bahasa Jepang kawa atau gawa.
Makanan autentik
Alunan musik yang lembut mengantarkan saya untuk menikmati makanan khas Jepang. Saya melihat beberapa menu yang sudah akrab di telinga orang Indonesia, seperti sushi, udon, dan sukiyaki, di daftar menu yang disodorkan pelayan. Menu lainnya, tampak asing bagi saya.
Saya memilih ume set dan yakiniku udon. Satu set ume berisi salmon sashimi, sushi, yakitori, sukiyaki, dan tempura. Sedangkan udon, disajikan dengan kuah bening yang masih panas.
Dua menu tadi memang sangat nikmat dengan cita rasa asli Jepang. Salmon sashimi di Kukigawa ini masih segar. Untuk sushi, nasi yang digunakan juga sangat pulen dan lembut.
Sukiyaki yang berisi lembaran daging, telur, sayuran dengan kuah bening manis ini juga sangat nikmat. Sementara yakitori atau sate khas Jepang di restoran ini biasa saja.
Satu set ume berisi salmon sashimi, sushi, yakitori, sukiyaki, dan tempura. Pilihan menu lainnya di Kikugawa. (Alinea.id/Laila Ramdhini).
Yakiniku udon tidak ada tandingannya. Belum pernah saya makan udon dengan tekstur yang sangat lembut, tapi kenyal. Apalagi topping daging yakiniku di atasnya, terasa sangat enak. Sayangnya, rasa bawang putih dan bombai yang ada di sana terlalu menyengat.
Udon memang menjadi andalan di berbagai restoran khas Jepang. Bentuknya yang hampir mirip mie, dengan ukuran yang lebih besar, mungkin memang cocok dengan lidah orang Indonesia.
Di zaman kuno, udon dilafalkan sebagai "undon". Konon, orang Jepang mengenalnya pada abad pertengahan, sebagai makanan asal Tiongkok. Dalam kitab Engishiki, "undon" diperkenalkan sebagai salah satu jenis makanan dari Dinasti Tang. Tapi "undon" zaman itu mungkin lebih dekat dengan pangsit, karena berupa daging dibungkus lembaran tepung yang digilas tipis.
Udon yang dikenal sekarang ini dulunya disebut kirimugi, dan baru disebut "udon" sejak zaman Edo. Waktu itu, "udon" adalah nama untuk sejenis masakan berupa kirimugi yang dimakan dengan kuah hangat, atau didinginkan dengan air es setelah direbus.
Selain udon, tentu ada makanan khas Jepang lainnya yang menjadi menu utama di berbagai restoran. Pramusaji mengatakan, soba, yakitori, dan sukiyaki juga jadi menu favorit di Kikugawa.
Soba mirip udon, hanya saja penyajiannya dengan didinginkan memakai es batu. Sementara, yakitori dipercaya muncul sejak zaman Edo (1603-1867) di Jepang. Kata yakitori ini muncul pertama kali dalam sebuah literatur Jepang pada Zaman Edo.
Yakitori ini diresepkan ke dalam buku pada 1643. Berkat pengaruh dari misionaris Eropa, sate Jepang ini menjadi sangat populer pada 1960-an. Masyarakat Jepang berpendapat, yakitori akan terasa semakin nikmat, bila dipadukan dengan minuman, seperti bir atau sake.
Sebagai penutup, saya memesan es krim matcha. Seperti makanan lainnya, es krim ini pun disajikan dengan mangkuk dan tatakan khas Jepang.
Beberapa makanan di Kikugawa memang cocok di lidah saya. Meski makanan lainnya meleset dari harapan. Mungkin karena saya terbiasa makan di restoran waralaba ataupun rumah makan cepat saji ala Jepang, yang keberadaannya mengekor Kikugawa.