close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi seseorang membuat konten. Alinea.id/Enrico PW
icon caption
Ilustrasi seseorang membuat konten. Alinea.id/Enrico PW
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 21 Juni 2022 06:09

Mencegah aksi bodoh berulang demi konten

Belakangan ini muncul fenomena seseorang melakukan hal berbahaya demi konten media sosial.
swipe

Kurnia, 16 tahun, mengaku kerap datang ke Jalan Daan Mogot, Cengkareng, Jakarta Barat menjelang tengah malam untuk merekam bus dari luar kota dengan kamera ponselnya. Usai mengambil gambar yang ia kehendaki, rekaman video itu diunggah di akun Instagram pribadinya. Ia berdiri di sisi jalan, ketika merekam bus yang melintas.

Kadang kala ia melakukan aksi yang bisa mengancam nyawanya, berkejaran dengan bus menggunakan sepeda motornya.

“Tapi, itu kalau ada yang bagus banget dan belum pernah saya lihat,” kata Kurnia kepada reporter Alinea.id, Rabu (16/6).

Tak jarang, ia harus menyalip hingga tepat di depan bus demi mendapat video yang bagus. “Kalau kita (ambil) video, biasanya sopirnya juga tahu, dan enggak akan kencang banget kalau ada kita,” ujarnya.

Aksi nekatnya itu bukan tanpa risiko. Ia mengaku pernah nyaris tertabrak bus yang hendak direkamnya karena ban sepeda motornya pecah, sehingga lajunya jadi tak stabil.

“Waktu itu deg-degan saya. Kita oleng, bus udah klakson-klakson,” tuturnya.

Beruntung nyawanya tak melayang karena ia dan rekannya bisa menepi dan bus mengerem mendadak. Sejak kejadian itu, ia berusaha hati-hati.

“Kalau sekarang, biar pun (merekam) di depan busnya, tapi jaga jarak aja agak jauh,” katanya.

Demi viral

Ilustrasi viral di media sosial./Foto Pixabay.com

Kurnia mengatakan, gemar mengoleksi video bus untuk diunggah di Instagram—walau didapat dengan cara berbahaya—karena bisa memperluas pergaulan dengan sesama pecinta bus.

“Teman jadi banyak. Jadi belajar juga soal bus,” katanya.

Perilaku mengundang bahaya demi konten di media sosial, seperti yang dilakukan Kurnia seringkali terjadi. Misalnya, aksi bodoh seorang pemuda yang mendekat ke kandang orangutan di Kebun Binatang Kasang Kulim, Kampar, Riau, Senin (6/6).

Demi konten video untuk TikTok, pemuda itu melanggar aturan karena melintas pagar pembatas kandang dan menendang orangutan. Akibatnya, ia ditarik orangutan hingga bajunya robek. Kaki pemuda itu pun diangkat orangutan hingga hampir terbanting.

Lebih tragis peristiwa yang menimpa seorang remaja di Jalan Otto Iskandardinata, Karawaci, Kota Tangerang, Jumat (3/6). Saat itu, remaja berusia 18 tahun tersebut tewas terlindas truk karena mengadangnya untuk membuat konten media sosial.

Kejadian serupa menimpa seorang bocah di Jalan Lingkar Selatan, Cisaat, Sukabumi pada Jumat (1/4). Bocah tersebut tewas terlindas truk saat berusaha menyetopnya untuk keperluan konten YouTube.

Lalu, apa yang diperbuat pihak media sosial terhadap banyaknya aksi berbahaya demi konten tersebut?

Public relation Instagram Indonesia, Shima Parawathy, mengatakan Instagram punya pedoman komunitas yang mengatur apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan dan dibagikan di media sosial itu.

“Jika ada konten yang melanggar pedoman komunitas, maka Instagram akan menurunkan konten tersebut,” kata Shima, Senin (20/6).

“Kami juga sangat merekomendasikan pengguna untuk melakukan report pada konten-konten berbahaya, berisi intimidasi, ujaran kebencian, atau mungkin mengandung kekerasan.”

Lebih lanjut, Shima menuturkan, Instagram terus meningkatkan sistem pengawasan seakurat mungkin.

Sementara itu, pengamat media sosial sekaligus pendiri Drone Emprit dan Kernels Media, Ismail Fahmi menilai, fenomena pembuatan konten berbahaya di media sosial merupakan imbas dari model bisnis digital yang memerlukan banyak atensi demi dapat keuntungan.

Viralitas itu tercapai lewat hal yang sifatnya kontroversial,” kata Fahmi saat dihubungi, Kamis (16/6).

Menurutnya, konten kontroversial, mengandung informasi bermanfaat, dan unik adalah konten yang gampang dapat atensi publik. Selain mendapat perhatian publik, konten yang viral dianggap bisa dimonetisasi untuk mendapat keuntungan finansial.

“Akhirnya, ada yang mencoba membuat konten berisiko karena itu menarik perhatian,” ujarnya.

Padahal, kata Fahmi, konten berisiko tak bisa dilakukan secara amatir. Namun, ada pertimbangan dan pelatihan berulang.

"Untuk melakukan aksi berbahaya perlu ilmu, infrastruktur, alat, dan pelatihan. Tapi kalau memberhentikan truk, itu konsekuensi dia meniru yang profesional, akhirnya jadi petaka,” ucapnya.

Solusi

Ilustrasi seseorang melihat video./Foto Pixabay.com

Di sisi lain, peneliti sosial dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan, tren konten berbahaya yang merebak di media sosial sesungguhnya didominasi sikap remaja, yang secara biologis tengah doyan tebar pesona demi pengakuan. Sikap itu diperburuk dengan aksi nekat yang terpengaruh algoritma konten berbahaya di media sosial.

“Remaja itu punya empat hal yang ingin mereka dapatkan, yakni penghargaan, pengakuan, pujian, dan penasaran,” ucap Devie, Rabu (15/6).

“Sayangnya, sekarang ada ‘tsunami’ rangsangan karena pengaruh kuat dari media sosial.”

Remaja yang gandrung dengan konten digital, ujar Devie, cenderung nekat mencari kepuasan membuat konten berbahaya karena ada semacam anggapan “hebat” bila kontennya itu menuai banyak like dan viral.

"Bagi mereka itu penting sekali," ujar Devie.

Ia memandang, rata-rata remaja dan anak yang melakukan aksi berbahaya dilandasi karena ia tak mendapat perhatian dan penghargaan dari keluarga. Maka, media sosial menjadi tempat pelarian bagi remaja yang berusaha mendapat pengakuan.

“Enggak mungkin dong negara, platform, atau siapa pun mengawasi jutaan handphone orang Indonesia," ucap Devie.

Pencegahan dari ranah keluarga, dianggap Devie lebih manjur untuk menangkal remaja nekat membuat konten berbahaya. Caranya, keluarga bisa memberikan ruang penyaluran sesuai minat dan bakat.

“Dia suka gambar, bikin video, atau suka masak, ya kasih (dukungan). Dukung dia, kasih alatnya,” tutur Devie.

Selain itu, Devie menyarankan sekolah tak tutup mata dengan arus perubahan digital yang begitu cepat. Alangkah baiknya, kata Devie, sekolah menyusun pembelajaran yang kreatif bagi anak, sembari memberikan pemahaman mengenai pembuatan konten yang baik.

“Agar siswa tidak sembrono membuat konten,” kata dia.

Senada dengan Devie, Fahmi juga memandang keluarga dan institusi pendidikan penting mencegah remaja membuat konten berbahaya. Ia melihat, konten berbahaya rata-rata dibuat remaja yang kurang mendapat panggung di sekolah akibat pendidikan terlalu fokus mengejar nilai akademik.

“Ada tiga tahapan yang mesti dibangun, enggak bisa kasus per kasus,” tuturnya. “Jadi (bisa) lewat kurikulum atau pendidikan.”

Tahap pertama, jelas Fahmi, adalah remaja harus tahu apa yang boleh dan tidak, berbahaya dan tidak, serta bagaimana mencari informasi di media sosial. Kedua, mengajarkan warga agar bisa memanfaatkan ekosistem digital secara baik dan memberi nilai tambah.

Ketiga, bagaimana membuat ekosistem bisnis digital agar konten berbahaya ditinggalkan perlahan. Karena ada banyak karya digital yang punya nilai jual, selain konten berbahaya.

“Jadi, peran sekolah menjadi krusial. Perlu dicatat, karya digital itu bukan hanya konten, bisa bikin software,” ujar Fahmi.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan