close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi anak bermain gawai. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Ilustrasi anak bermain gawai. Alinea.id/Oky Diaz.
Sosial dan Gaya Hidup
Minggu, 04 April 2021 06:30

Mencegah anak kecanduan gawai di masa pandemi Covid-19

Survei KPAI menunjukkan, ada peningkatan penggunaan gawai pada anak saat masa pandemi Covid-19.
swipe

Mata anak laki-laki Friska yang duduk di bangku SMP masih serius menatap layar gawai. Sesekali, ia berbincang dengan lawan mainnya di game PUBG. Perintah Friska untuk membereskan meja makan diabaikan.

Friska kesal. Ia mengaku anaknya itu bermain game online berjam-jam sejak pandemi Covid-19. Selain mengabaikan perintah Friska, anaknya juga terkadang tak perduli tugas sekolah.

“Susah ngaturnya sekarang. Ibu gurunya WhatsApp saya, katanya anak saya kadang tidak mengumpulkan tugas,” kata dia saat berbincang dengan reporter Alinea.id di Jakarta Pusat, Senin (22/3).

Sudah setahun para pelajar di Indonesia menjalani pembelajaran jarak jauh menggunakan gawai. Interaksi berlebih terhadap gawai di masa pandemi, menurut Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati, rentan membuat anak kecanduan.

Berdasarkan survei KPAI yang dilakukan terhadap anak dan orang tua di 34 provinsi pada 2020, ada tren peningkatan penggunaan gawai di masa pandemi. “Banyak aktivitas anak yang tidak produktif dalam penggunaan gawai,” kata Rita saat dihubungi, Jumat (2/4).

Hasil survei itu juga menunjukkan, sebanyak 79% anak tidak mendapatkan aturan terkait penggunaan gawai. Lalu, 34,8% anak bermain gawai dua hingga tiga jam per hari. Kemudian, 25,4% anak bermain gawai lebih dari lima jam di luar belajar.

Selanjutnya, sebanyak 70% anak diizinkan menggunakan gawai selain untuk belajar dan 71,3% anak memiliki gawai sendiri. Dari segi usia, anak umur 10-12 tahun sebanyak 48,3% menghabiskan waktu bermain game di gawai. Sementara anak berusia 13-15 tahun sebanyak 59,4% menggunakan gawai untuk menonton YouTube. Sedangkan anak berumur 16-18 tahun sebanyak 68% sibuk bermedia sosial dan 67,4% menonton YouTube.

Anak laki-laki lebih banyak menghabiskan waktu bermain game, yakni 65,7%. Sebesar 55% anak memilih game online. Dari jenis game online yang sering dimainkan, 26% adalah game perang, 16% petualangan, 12% edukasi, 6% olahraga, 3% kekerasan, dan 1% percintaan.

Menurut psikiater sub spesialis anak dan remaja Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, Lina Budiyanti, seperti dikutip dari situs web Rumah Sakit Jiwa Jawa Barat, Sabtu (3/4), pada Januari hingga Desember 2020 jumlah anak-anak yang kecanduan gawai dan ditangani RSJ Jawa Barat sebanyak delapan orang, rentang usia 9 hingga 15 tahun.

Lalu, pada Januari hingga 19 Maret 2021, jumlah anak yang kecanduan gawai mencapai 9 orang, rentang usia 13 hingga 16 tahun. Menurutnya, sepanjang 2020, sebanyak 104 anak dan remaja mengalami masalah kejiwaan dan terdampak kecanduan game di gawai.

Seorang siswa SD mengerjakan ulangan praktek mata pelajaran IPA tentang Identifikasi Sifat Campuran melalui media daring di rumahnya, Desa Laladon, Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (11/5/2020).Foto Antara/Arif Firmansyah.

Penyebab dan risiko

Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Nahar mengatakan, game online menjadi salah satu yang perlu mendapat perhatian serius semua pihak. Meski memiliki sisi positif, seperti sarana hiburan untuk menghilangkan stres, melatih koordinasi motorik, mengembangkan kemampuan berpikir, meningkatkan rasa percaya diri, dan membangun semangat kerja sama, tetapi ada pula dampak negatifnya.

“Orang tua sebagai pendamping utama perlu memahami bahwa tidak semua game bermanfaat dan baik dimainkan anak,” ujar dia saat dihubungi, Kamis (1/4).

“Ada beberapa game yang berbahaya, misalnya memuat adegan pornografi, kekerasan, hate speech, dan judi.”

Anak yang memiliki pola komunikasi kurang baik dengan orang tuanya, kata Nahar, lebih rentan menjadi korban adiksi game atau media sosial. Ia menambahkan, anak yang di rumah mengalami situasi bored, loneliness, angry, stress, and tired (BLAST) berpeluang menjadikan game dan media sosial sebagai pelarian.

"BLAST merupakan fenomena yang merujuk pada rapuhnya kondisi anak-anak di era digital akibat lemahnya sistem sosial yang paling utama dalam kehidupan mereka, yakni keluarga," kata dia.

Ia mengatakan, BLAST punya dampak serius terhadap proses tumbuh kembang anak. Anak dalam kondisi ini, ujar dia, lebih memilih membangun kelekatan emosional dengan dunia maya dibandingkan bersama orang tua.

"Celakanya, tidak sedikit anak-anak kita yang terjebak dalam situasi ini dan kemudian menjadi korban adiksi game online hingga kekerasan dan eksploitasi melalui media online," kata dia.

Direktur Pusat Pendidikan dan Perkembangan Anak Lentera Insan, Fitriani F Syahrul mengatakan, anak dan remaja cenderung kecanduan game online karena sifatnya yang bisa memicu adrenalin, dengan konten menarik dan adanya kompetisi.

“Itu kan ada unsur adiktif, memacu adrenalin, menimbulkan kesenangan. Karena kalau dihentikan, artinya dia kalah. Secara alami, orang kan enggak mau kalah,” ujar Fitriani saat dihubungi, Kamis (1/4).

Sifat adiksi pada game, menurut Fitriani, menyebabkan seseorang bertindak brutal. Selain game, anak yang sering menggunakan gawai juga menyebabkan kecanduan pornografi.

"Itu juga membuat orang adiktif. Karena ada tingkatan juga kan di pornografi," kata dosen Fakultas Psikologi dan Pendidikan Universitas Al-Azhar Indonesia itu.

Meski tak semua gamers jadi pecandu, namun kurangnya kontrol diri sangat riskan membuat anak dan remaja menjadi adiktif. Ia melanjutkan, adiksi game bisa mengakibatkan keluhan fisik hingga perubahan struktur dan fungsi otak.

"Saya punya klien itu jarinya benar-benar bengkok kayak stroke. Ketika ditanya, orang tuanya bilang karena main game enggak berhenti. Itu kan kondisi pada syaraf," tuturnya.

Sementara itu, psikolog Oriza Sativa menuturkan, kecanduan gawai membuat seorang anak melupakan kegiatan hariannya. Risiko paling parah, anak yang kecanduan game bisa menyebabkan kematian, seperti yang dialami seorang siswa SMP Subang, Jawa Barat bernama Raden Tri Sakti. Ia meninggal dunia pada Selasa (23/2) akibat gangguan saraf karena terlalu banyak bermain game online di gawai.

“Itu kalau menurut saya, gadget komorbid saja. Faktor penyerta. Jadi, dia mengabaikan faktor keselamatan,” ucapnya saat dihubungi, Kamis (1/4).

Ia tak menampik, di masa pandemi anak-anak sangat rentan menjadi pecandu gawai. "Pandemi ini anak-anak kekurangan aktivitas ya. Kalau sekolah, dia banyak aktivitas, capek, mungkin anak lebih nyenyak tidur," kata Oriza.

Peran penting orang tua

Ilustrasi anak bermain gawai./Pixabay.com

Nahar mengatakan, cara mengatasi anak kecanduan gawai atau game online adalah orang tua perlu introspeksi perihal hubungannya dengan anak, terutama dalam pola komunikasi. Ia memberikan beberapa contoh yang dapat dilakukan orang tua.

Pertama, memodifikasi cara berkomunikasi dengan anak tentang gawai, seperti mendiskusikan waktu bermain game. Kedua, mengalihkan dengan kegiatan lain yang lebih bermanfaat, dengan melibatkan orang tua. Ketiga, membuat kesepakatan agar dapat bermain game bersama atau ketika punya waktu luang.

“Bisa saja orang tua mengajak anak untuk berbincang bincang, ikut andil dalam membersihkan rumah, atau mengajak jalan-jalan,” katanya.

"Jika setelah melakukan berbagai cara, keinginan untuk bermain game masih sangat tinggi, maka akan sangat tepat untuk meminta bantuan pada tenaga ahli yang profesional."

Lebih lanjut, ia mengatakan, Kemen PPPA sudah melakukan beberapa upaya perlindungan anak terkait penggunaan gawai, seperti menerbitkan modul Aku Cerdas Berinternet yang bisa diunduh melalui situs web Kemen PPPA.

Di samping itu, kata dia, Kemen PPPA juga bekerja sama dengan End Child Prostituton, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia, mengadakan pelatihan internet aman bagi anak untuk menekan dampak negatif.

"Selain itu, Kemen PPPA juga bekerja sama dengan Instagram, Facebook, dan Google Indonesia untuk menciptakan internet yang aman bagi anak," katanya.

Di sisi lain, Rita Pranawati menekankan pentingnya literasi digital, yang membuat anak bisa punya aktivitas produktif dan mengerti bahaya menggunakan gawai. "Sekolah juga wajib melakukan literasi digital supaya tidak terperosok pada kecanduan gawai," kata Rita.

Sedangkan Fitriani menggarisbawahi peran penting orang tua, yang harus mengawasi ketat anaknya agar tak ketergantungan pada gawai. Fitriani menjelaskan, batas maksimal seorang anak menggunakan gawai adalah dua jam per hari. Seorang anak dikatakan adiktif jika lebih dari dua jam berturut-turut sibuk dengan gawai.

"Kalau anak-anak dibiarkan tiap hari, itu kan ada unsur adiktifnya. Nah, sebenarnya paling aman cukup di weekend. Dia enggak sekolah, santai," kata Fitriani.

Hal senada disampaikan Oriza. Menurut dia, orang tua harus menjadi teladan yang baik bagi anak, terutama dispilin menggunakan waktu.

"Kadang kita melarang, tapi tidak memberikan pemahaman tentang pentingnya prestasi, kemandirian, dan sebagainya," kata dia.

Seorang anak yang kecanduan gawai, kata Oriza, bisa diatasi dengan terapi perilaku, dengan cara mendisiplinkan jadwal keseharian anak. "Adanya punishment dan reward. Jadi bahasanya, misalnya, hanya pegang handphone selama satu jam sehari akan diberikan hadiah. Yang penting perilakunya terkontrol," kata dia.

Hal penting lainnya, menurut Oriza, adalah tidak mengenalkan gawai pada anak usia dini. Ia mengatakan, kemampuan psikologis anak bisa terlambat jika sudah menggunakan gawai sejak usia dini.

"Misalnya, dia enggak bisa bersosialisasi, jadi penakut ketemu orang," kata Oriza.

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan