close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi prostitusi online. Alinea.id/Bagus Priyo.
icon caption
Ilustrasi prostitusi online. Alinea.id/Bagus Priyo.
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 30 November 2024 06:02

Mencegah main hakim sendiri dalam memberantas prostitusi

Penggerebekan sering terjadi di tempat-tempat yang diduga sebagai lokasi praktik prostitusi.
swipe

Sebuah ruko di daerah Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, pada Sabtu (16/11) digerebek warga karena diduga menjadi tempat praktik prostitusi online. Dikutip dari Kompas.com, saat penggerebekan, warga menemukan tujuh orang perempuan yang diduga tengah menunggu pelanggannya. Mereka lantas diminta bubar dan tempat itu ditutup.

Di Bekasi, tepatnya di beberapa rumah kontrakan di Desa Ciantra, Cikarang Selatan pada Kamis (14/11) anggota Polsek Cikarang Selatan, Satpol PP, Karang Taruna Desa Ciantra, tokoh agama, dan warga melakukan penggerebekan. Beberapa rumah kontrakan itu diduga menjadi tempat praktik prostitusi online. Dalam penggerebekan itu, diamankan 10 perempuan yang diduga terlibat dalam praktik open BO dan empat pria yang diduga berperan sebagai joki.

Di daerah Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten, pada Senin (4/11) petugas kepolisian menggerebek sebuah rumah kontrakan yang diduga dijadikan tempat prostitusi. Petugas mengamankan empat perempuan, yang tiga di antaranya diduga pekerja seks komersial (PSK) dan seorang lainnya muncikari.

Kemudian di daerah Lebak Pasar, Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Sabtu (3/8) sekitar 20-an santri salah satu pondok pesantren menggerebek rumah kontrakan yang diduga dijadikan tempat prostitusi online.

Deretan penggerebekan, yang merupakan aksi main hakim sendiri, terhadap praktik yang diduga prostitusi masih terus terjadi. Perempuan yang disangka pelaku prostitusi menjadi sasaran penggerebekan itu.

Mengapa aksi penggerebekan kerap terjadi?

Menurut seorang pendamping di tempat prostitusi di daerah Ciracas, Jakarta Timur, Mirna, aparat pemerintah daerah dan kepolisian sering menggunakan pendekatan razia koersif—pengendalian permasalahan sosial dengan cara kekerasan atau paksaan—saat pekerja seks dibawa ke tempat rehabilitasi milik dinas sosial di Ciracas atau Kedoya, Jakarta Barat.

“(Pekerja seks) dipersulit saat bertemu pendamping atau diberi pembinaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan, seperti dilatih masak atau bikin kue. Sementara bakat atau passion-nya enggak sesuai,” ujar Mirna kepada Alinea.id, Kamis (28/11).

Mirna mengatakan, pendekatan razia, penggerebekan, dan penertiban yang mengandung unsur paksaan atau kekerasan mesti ditinggalkan perlahan. Sebab, perempuan yang dilacurkan atau pedila merupakan korban.

“Jadi, jangan lihat sebagai PMKS (penyandang masalah kesejahteraan sosial) atau mendekatinya dengan cara paksaan,” kata Mirna.

Mirna sepakat bila pendekatan kepada komunitas pedila lebih manusiawi untuk mencari solusi dari masalah prostitusi. Pendekatan komunitas yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) lebih memposisikan pedila sebagai subjek yang merancang solusi, bukan objek yang dipaksa menuruti kebijakan. Menurut Mirna, banyak kebijakan antiprostitusi, mulai dari level undang-undang hingga peraturan daerah, yang dibuat tanpa tahu aspirasi pedila.

“Oleh karena itu, pendekatan komunitas itu penting untuk mencari solusi bagaimana cara yang berprikemanusiaan untuk pekerja seks,” ujar Mirna.

Dihubungi terpisah, Koordinator Pelayanan Hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta Uli Pangaribuan menilai, aksi main hakim sendiri yang menyasar pedila sering dilakukan aparat pemerintah daerah atau kepolisian karena masih ada anggapan mereka sebagai PMKS.

“Padahal, mereka perempuan yang semestinya ditangani dengan pendekatan berbasis hak asasi manusia,” kata Uli, Kamis (28/11).

Apalagi, dia menilai, penertiban juga hanya menyasar prostitusi kelas bawah. Sedangkan yang terjadi di hotel berbintang, jarang tersentuh aparat.

Maka dari itu, Uli berpendapat, cara-cara penertiban seharusnya ditinggalkan oleh aparat agar tidak ditiru masyarakat. Kemudian, mulai beralih ke cara yang lebih manusiawi, berbasis HAM.

“Jadi, dekati komunitasnya, bukan merazia atau melakukan penertiban dengan cara yang kurang manusiawi,” ujar Uli.

Menurut Uli, aturan hukum yang saat ini berlaku, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), belum sepenuhnya mengakomodir untuk merangsang transformasi pendekatan yang jauh lebih manusiawi keapda pedila.

Akibatnya, sering kali yang terjadi adalah penertiban dan pedila dibawa ke dinas sosial untuk dibina. Namun, tidak ada solusi yang pasti untuk memastikan agar pedila tak lagi kembali ke dunia prostitusi.

“Sebab, yang terjadi, pembinaan yang dilakukan adalah model pemaksaan. Harusnya ditanya, apa kebutuhan pekerja seksnya agar tidak kembali ke prostitusi,” tutur Uli.

Aturan hukum dan perkembangan prostitusi

Sementara itu, anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi mengatakan, penanganan prostitusi memang cukup pelik. Tak jarang, pihak yang tidak memahami masalah prostitusi berbasis HAM, mengambil tindakan main hakim sendiri.

Aksi penggerebekan dan penangkapan sepihak terhadap pelaku prostitusi, kata Aminah, masih sering menyasar pedila. Padahal, pedila merupakan korban dari TPPO dan kekerasan berbasis gender.

“Sehingga upaya pencegahan agar perempuan tidak masuk dalam prostitusi harus sejalan dengan upaya penghapusan kekerasan berbasis gender, penegakan hukum TPPO, peningkatan status ekonomi perempuan, dan literasi atas bentuk-bentuk atau modus prostitusi yang potensial menjerat anak perempuan,” tutur Aminah, Kamis (28/11).

Aminah menuturkan, terdapat empat pihak yang terlibat dalam praktik prostitusi, antara lain pedila, muncikari, penghubung atau calo, dan pelanggan atau pengguna jasa. Adapun pihak yang dapat dikriminalisasi terkait praktik prostitusi adalah muncikari dan penghubung atau calo.

“Dalam pasal 296 dan 506 KUHP terdapat perbedaan yang jelas di antara kedua pihak tersebut. Pasal 296 KUHP menyebutkan, pihak yang menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain (calo) akan diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak lima belas ribu rupiah,” ujar Aminah.

“Sementara itu, Pasal 506 KUHP menyebutkan, pihak yang menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita (muncikari) akan diancam dengan kurungan paling lama satu tahun.”

Penghubung diberi sanksi lebih tinggi dibandingkan muncikari karena mempunyai peran yang lebih penting dalam terjadinya kegiatan penyaluran prostitusi. Perannya adalah mencari pelanggan atau pengguna jasa prostitusi. Di sisi lain, tak ada dasar hukum yang mengkriminalisasi perempuan yang dilacurkan dan pengguna jasa prostitusi.

Seiring waktu, prostitusi berkembang karena difasilitasi teknologi informasi dan komunikasi lewat aplikasi. Aminah memandang, bukan perkara mudah memberantas prostitusi daring. Soalnya, ketika akun maupun situs terkait diblokir, pelaku akan dengan mudah membuat yang baru.

Dalam prostitusi daring, muncikari sangat berperan sebagai perantara atau atasan dari pedila. Muncikari menggunakan media sosial untuk memperluas jaringan dan pasar dalam memperjualbelikan pedila.

“Prostitusi online mencakup transaksi booking out, video call sex, phone sex atau call sex, live show, dan streaming live yang dilakukan melalui penyebaran nomor telepon, membuat grup, bahkan menggunakan tagar khusus untuk mempermudah pencarian dalam media sosial,” kata Aminah.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan