Hari ini, 12 Agustus 2021, tepat 119 tahun yang lalu di Bukittinggi, Sumatera Barat, lahir calon Wakil Presiden pertama Republik Indonesia (RI), Mohammad Hatta atau yang disapa Bung Hatta. Dalam memperingati ulang tahun Hatta, Komunitas Bung Hatta Award (BHA) menyelenggarakan diskusi daring bertajuk Perihal Keberpihakan Negara: Mencontoh Bapak Kedaulatan Rakyat.
Dosen Universitas Telkom sekaligus Kawan Bung Hatta di Bandung, Catur Nugroho, memaparkan tiga pelajaran hidup yang dapat diambil dari seorang Bung Hatta, yaitu kejujuran, kesederhanaan, dan etika. Menurutnya, jikalau ketiga pelajaran hidup ini dipraktikkan, tidak akan terjadi kehidupan bernegara yang seperti saat ini terjadi.
Pelajaran pertama adalah perihal kejujuran. Catur memaparkan bagaimana setiap ucapan Bung Hatta menjadi tindakan, bukan sekedar omong kosong. Lebih lanjut dalam kehidupan digital saat ini, apabila ada kejujuran, maka tidak akan ada lagi berita bohong.
“Bahkan kalau kita lihat sekarang dalam kehidupan digital, berawalnya disinformasi, misinformasi, dan malinformasi serta segala yang berkaitan dengan berita bohong karena adanya ketidakjujuran dari berbagai pihak dengan berbagai alasan,” katanya dalam diskusi daring, Kamis (12/8).
Ada kecenderungan, baik masyarakat, maupun pejabat publik, tidak lagi menerapkan kejujuran. Misalnya apa yang telah dia rasakan pada pejabat publik yang perkataannya tidak sesuai dengan tindakannya.
Pelajaran selanjutnya, kesederhanaan. Catur mengatakan sepanjang hidupnya, Hatta hidup dengan sederhana dan apa adanya. Dirinya menyinggung soal pejabat publik saat ini yang saat ini bertolak belakang dengan Wapres pertama RI ini.
“Bahkan, mereka meminta fasilitas-fasilitas yang lebih. Yang wakil rakyat, kepala daerah, menteri, misalnya. Itukan kita lihat hampir tidak ada kita temukan pejabat publik yang bisa mencontohkan hal baik seperti hidup apa adanya,” ujarnya.
Berawal dari hidup apa adanya inilah yang dapat membuat pejabat publik tahan akan godaan korupsi. Disebutkan pula, korupsi bukanlah karena adanya kesempatan, tetapi karena adanya niat.
Terakhir, etika. Kalau mencontoh kehidupan Bung Hatta dari elemen ini adalah bagaimana beliau hidup santun dan bijaksana. Saat menjalani kehidupan bertitik tolak dengan Hatta, Catur mengatakan, orang-orang tidak perlu takut terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Jika telah memegang teguh etika sopan dan santun dalam bertindak serta berkomunikasi, orang-orang tersebut tidak perlu takut dijerat oleh UU ITE. Selain itu, memegang teguh etika juga berarti telah menyaring perilaku dan perkataan dari dalam diri.
Oleh karena itu, ketika seseorang telah memegang teguh etika, orang tersebut tidak perlu takut akan melanggar hukum, dan sebaliknya. Selain itu, pelanggaran bukan hanya soal hukum, melainkan pelanggaran etika yang dianggap kurang pantas.
Ketika demokrasi dan korupsi itu menjadi identik. Para pendiri bangsa kita sudah memilih demokrasi, karena sesuai dengan sifat budaya Indonesia. Namun, selama hampir 76 tahun Indonesia merdeka, korupsi dan kolusi tidak hanya dilakukan oleh pejabat dan aparat negara, tetapi masyarakat juga menjadi terbiasa pada perilaku ini.
“Sehingga demokrasi justru menjadi lahan subur untuk tumbuhnya perilaku-perilaku koruptif, seperti gratifikasi, suap, money politic yang seolah-olah menjadi biasa saja,” ungkapnya.
Selain itu, Catur menyebutkan, saat ini terjadi politik kekerabatan atau yang dikenal dengan Bahasa Jawanya, koncoisme. Politik kekerabatan ini menyoal tentang pejabat publik yang melibatkan kerabat dan keluarganya, dan bahkan menjadi bagian dari kekuasaannya. Hal ini bertolak belakang dengan Bung Hatta yang tidak melibatkan kerabatnya dalam lingkungan politiknya.
“Termasuk kalau saya boleh mengkritik, apa yang dilakukan Pak Jokowi ini menurut saya kurang etis. Kenapa harus melibatkan keluarganya untuk terjun ke dunia politik, ketika beliau masih menjadi orang nomor satu di Indonesia? Itu yang saya kritik sebagai politik kekerabatan,” tutupnya.