Kelompok seni pertunjukan asal Yogyakarta Teater Garasi/Garasi Performance Institute mengembangkan ide pertunjukan kolaborasi pertunjukan kolaborasi dengan lima seniman ternama Asia. Bertajuk Multitude of Peer Gynts, proses penciptaan melalui pertukaran budaya antarseniman akan dimulai di Larantuka, Flores Timur, pada 23 Juni–6 Juli 2019 mendatang.
Sutradara dan produser Teater Garasi Yudi Ahmad Tajudin mengatakan naskah drama karangan Henrik Ibsen berjudul Peer Gynt (1867) dijadikan kerangka proses kreatif dan kerja kolaborasi antarseniman. Menurut Yudi, struktur dramaturgi Peer Gynt memiliki relevansi dengan situasi dunia mutakhir yang lekat dengan faktor keterhubungan antarorang secara mengglobal dan kompleks.
“Kami melihat ada kesejajaran dari cerita Peer Gynt dengan situasi kehidupan belakangan, bagaimana keterhubungan-keterhubungan di antara masyarakat dunia sekarang. Itu ingin kami lihat dalam proses kolaborasi antarseniman ini,” tutur Yudi.
Dramaturg dan produser Teater Garasi, Ugoran Prasad menyebut ide kolaborasi ini didasari kebutuhan untuk menjalin kontak antarseniman dari latar belakang beragam. Selain bermacam bidang keahlian seni, kekayaan budaya asal seniman juga menarik untuk dipertukarkan dan diungkap. Hal ini, kata Ugoran, coba mereka terapkan sebagai pola baru dalam kreasi penciptaan pertunjukan oleh Teater Garasi.
“Kami menamakannya dengan modular. Apa yang dimiliki oleh satu kelompok seniman ditampilkan dan dibentuk lagi dari proses bertukar pikiran dengan seniman lainnya. Lewat lokakarya-lokakarya nanti para seniman akan bertukaran ide dan kecenderungan,” ucap Ugoran.
Dalam praktiknya nanti, para seniman bertukar cerita dan tafsir atas lakon Peer Gynt dari sudut pandang dan konteks sosial-politik mereka masing-masing. Sebagai kerangka dramaturgi, lakon tersebut diperlakukan sebagai sumber pengetahuan dalam membaca situasi terkini di negara-negara Asia.
Ugoran menuturkan, tokoh Peer Gynt memiliki karakter yang sangat bertentangan dengan etos masyarakat Eropa zaman itu yang lekat dengan disiplin, kaku, dan proindustri.
“Peer Gynt justru pemalas dan sikap-sikap anti-Eropa. Gambaran ini ternyata muncul sebagai subjek yang senada dengan stereotip bangsa Melayu,” kata dia.
Meski tergolong naskah drama kanon, Peer Gynt berbeda dengan dua lakon karangan Ibsen lainnya, An Enemy of the People (Musuh Masyarakat) dan Doll’s House (Rumah Boneka). Menurut Ugoran yang juga pengajar seni pertunjukan, belum ditemukan lakon Peer Gynt versi terjemahan dalam bahasa Indonesia.
“Ada yang menyebut Peer Gynt pernah diterjemahkan oleh Asrul Sani, tapi saya belum menemukan naskah terjemahannya, baik di koleksi KITLV (lembaga penelitian kajian Asia Tenggara) juga di PDS (Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin),” kata Ugoran.
Di samping itu, lakon Peer Gynt lebih dikenal sebagai closet drama yang berbentuk puisi-puisi liris. Peer Gynt baru dapat dimungkinkan pemanggungannya pada 1890-an, sesudah dua lakon Ibsen lainnya selesai ditulis.
Hal itu menurut Yudi menjadi salah satu keunikan dalam proses kolaborasi ini. Temuan yang didapat dalam proses di masing-masing kota sangat mungkin beragam dan menghasilkan bentuk pertunjukan yang berbeda.
Dari Larantuka hingga Shizuoka
Yudi menuturkan ide proyek ini terinpirasi setelah dia dan seniman Teater Garasi lainnya mengamati kehidupan masyarakat Larantuka dalam kunjungan beberapa bulan sebelumnya. Yudi ingin mengajak seniman Asia lain untuk merefleksikan situasi di negara-negara Asia dengan kondisi di Larantuka.
“Proyeknya dua minggu di Larantuka, dua minggu di Tokyo, dan lima minggu di Shizuoka. Di masing-masing tempat ini selalu diakhiri dengan pementasan hasil kolaborasi. Di Shizuoka itu semacam versi yang merangkum perjalanan proses kolaborasi selama setahun,” tutur Yudi.
Hasil kolaborasi akan dipentaskan pada 6 Juli 2019 di Taman Kota Larantuka. Setelah itu, kolaborasi dilanjutkan di Tokyo dan Shizuoka yang berujung pementasan Multitude of Peer Gynts secara internasional di Shizuoka, Jepang, 4–19 November 2019.
Selain Yudi dan Ugoran, seniman Teater Garasi yang akan juga terlibat dalam proyek kolaborasi ini adalah Gunawan Maryanto, Muhammad Qomarrudin, dan Arsita Iswardhani.
“Apa yang saya lihat di Larantuka, saya merasa juga berlangsung di belahan dunia yang lain. Maka saya mengajak teman-teman seniman dari Asia yang lain datang ke Larantuka untuk memantulkan gambaran atas dunia yang kompleks ini,” kata Yudi
Adapun kelima seniman Asia yang akan terlibat adalah Takao Kawaguchi (performance artist dan koreografer Jepang), Yasuhiro Morinaga (seniman bunyi dan komponis Jepang), Micari Fukui (aktor Jepang), Venuri Perera (koreografer dan penari Sri Lanka), dan Nguyen Manh Hung (perupa Vietnam). Mereka akan bertukar ilmu dan berkolaborasi dengan seniman Teater Garasi, sepuluh seniman Flores Timur, dan seniman dari Shizuoka Performing Arts Center (SPAC).