Pemprov Jawa Timur menetapkan kejadian luar biasa (KLB) menyusul adanya 11 anak di Jawa Timur terpapar virus polio, di antaranya di Kabupaten Pamekasan dan Sampang. Dari hasil surveilans, sembilan anak tak menunjukkan gejala, sedangkan dua anak lainnya sakit.
“Ada sembilan kasus positif tidak terdapat gejala, sehingga tidak disebut sebagai kasus polio,” ucap Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi kepada Alinea.id, Kamis (18/1).
Merujuk situs World Health Organization (WHO), polio (poliomielitis) adalah penyakit disebabkan virus yang sangat menular, sebagian besar menyerang anak-anak di bawah usia lima tahun. Virus polio ditularkan dari orang ke orang, terutama lewat jalur fekal-oral. Bisa pula melalui air atau makanan yang terkontaminasi. Virus ini dapat berkembang biak di usus, lalu menyerang sistem saraf dan menyebabkan kelumpuhan.
Mengutip situs Kemenkes, kebanyakan orang terinfeksi (90%) tak punya gejala atau gejala yang sangat ringan, biasanya tidak dikenali. Pada kondisi lain, gejala awal berupa demam, kelelahan, sakit kepala, muntah, kaku di leher, dan nyeri di tungkai.
Menurut Nadia, selain di Jawa Timur, akan dilaksanakan sub-pekan imunisasi nasional (PIN) polio di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sub-PIN polio merupakan program imunisasi tambahan yang dilakukan Kemenkes.
“Khususnya di Sleman, dan akan dilakukan dua putaran, (pada) 15 Januari dan 15 Februari (2024),” ucap Nadia.
“Agar daerah tidak terjadi (KLB) tentunya cakupan vaksinasi polio harus 95%, lengkap 4 OPV (vaksin polio oral) dan 2 IPV (vaksin polio inaktif).”
Vaksin polio OPV terbuat dari virus polio yang dilemahkan dan diberikan secara oral. Sedangkan IPV terbuat dari virus polio yang dimatikan dan diberikan melalui suntikan atau injeksi.
Terpisah, Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Hermawan Saputra memandang, KLB polio bukan fenomena baru. Sebelum terjadi di Jawa Timur, ia menyebut pernah terjadi di Garut, Jawa Barat.
Merujuk Kemenkes, setelah dilakukan PIN polio pada 1995, 1996, dan 1997, virus polio di Indonesia sudah tak ditemukan lagi sejak 1996. Namun, pada 13 Maret 2005 ditemukan kasus polio di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kasus polio tersebut berkembang menjadi KLB, menyerang 305 orang dari 2005 hingga awal 2006. KLB tersebar di 47 kabupaten/kota di 10 provinsi.
Saat itu juga ditemukan 46 kasus polio yang disebabkan virus dari vaksin, yang 45 kasus di antaranya terdaat di semua kabupaten di Pulau Madura dan satu di Probolinggo, Jawa Timur. Setelah dilakukan outbreak response immunization (ORI), dua kali mop up, lima kali PIN, dan dua kali sub-PIN, KLB dapat diatasi sepenuhnya. Kasus virus polio terakhir yang mengakibatkan kelumpuhan ditemukan pada 20 Februari 2006 di Aceh.
Untuk mengatasi menyebarnya virus polio, Hermawan mengatakan, kuncinya adalah penguatan vaksinasi dan skrining. Ia pun menekankan pentingnya vaksinasi DPT.
"Vaksin DPT adalah vaksin kombinasi untuk mencegah penyakit difteri, pertusis (batuk rejan), dan tetanus. Jadi selama ini penguatan vaksinasi ini yang harus jadi pekerjaan rumah pencegahan polio," ucap Hermawan, Kamis (18/1).
Hermawan mencermati, KLB polio yang berulang menandakan virus polio tak menjadi perhatian utama pada tingkat pemerintah daerah. Soalnya, kemunculan kasus polio terkait erat dengan laju vaksinasi yang rendah.
“Ini menjadi tantangan pasca-pandemi Covid-19,” ujar Hermawan.
“Kalau (polio) ini berulang di daerah lain, itu tandanya ada yang loss focus untuk polio, terutama kaitannya dengan vaksinasi dan deteksi awal.”
Bagi Hermawan, tak ada cara lain untuk mencegah penyebaran polio, selain meningkatkan laju vaksinasi. “Saya berharap, mudah-mudahan ke depan bisa ditingkatkan (vaksinasi) agar tidak kembali terjadi (KLB polio),” ucap Hermawan.
Sementara itu, Ketua Riset dan Kebijakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda menduga, KLB polio di Jawa Timur adalah dampak dari pandemi Covid-19, yang menyebabkan banyak kemunduran capaian target kesehatan, terutama vaksinasi rutin.
“Dari survei puskesmas yang dilakukan CISDI, ini bisa akibat berhentinya layanan (vaksinasi), berubahnya metode dan jadwal layanan (vaksinasi), takut terinfeksi, serta minimnya petugas yang melakukan vaksinasi karena layanan dialihkan ke vaksinasi Covid-19 dan upaya pengendalian Covid-19 lainnya,” kata Olivia, Jumat (19/1).
Kemudian, begitu kasus Covid-19 mulai mereda, cakupan vaksinasi rutin belum pulih sepenuhnya. Ia mengatakan, bisa jadi masih ada dampak dari pandemi, yang menyebabkan masyarakat masih ragu atau menolak karena persepsi dan misinformasi yang beredar selama proses vaksinasi Covid-19.
“Butuh perbaikan layanan dan penjangkauan khusus dari pemerintah untuk mengejar cakupan vaksinasi wajid dan rutin, serta dukungan untuk penguatan fungsi layanan esensial lainnya,” tutur Olivia.